Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Sleep Foundation, para pakar menyebut frekuensi tingkat keparahan dan dampak mendengkur pada anak bisa sangat bervariasi. Sering kali, mendengkur bersifat ringan dan berlangsung singkat tanpa menimbulkan penyakit lain. Tetapi, ketika mendengkur semakin sering dan mengganggu tidur, hal itu dapat menandakan adanya gangguan pernapasan saat tidur.
Tingkat keparahan gangguan pernapasan saat tidur berbeda. Salah satu penyebabnya adalah dengkuran primer alias dengkuran sederhana atau dengkuran kebiasaan. Ketika seorang anak mendengkur lebih dari dua kali seminggu, namun tidak menunjukkan menunjukkan tanda penyakit lainnya.
Ada pula mendengkur karena Obstructive Sleep Apnea (OSA), yakni suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya napas anak secara terus-menerus di malam hari.
Biasanya OSA terjadi puluhan kali dalam semalam karena saluran napas tersumbat. OSA dapat menyebabkan tidur terfragmentasi dan berhubungan dengan dampak negatif pada kesehatan fisik, kesehatan mental, pembelajaran dan perilaku anak.
ADVERTISEMENT
Seberapa Umumkah Mendengkur pada Anak?
Mendengkur ringan dan terjadi sesekali diyakini dialami 27% anak-anak. Jenis dengkuran ringan dan sementara ini biasanya tidak menimbulkan masalah kesehatan.
Di sisi lain, mendengkur primer tanpa gejala lain diperkirakan mempengaruhi antara 10 dan 12% anak-anak. Studi memperkirakan bahwa 1,2-5,7% anak-anak mengalami apnea tidur obstruktif.
Kabar baiknya, dari anak-anak yang didiagnosis dengan gangguan pernapasan saat tidur, sekitar 70% menerima diagnosis mendengkur primer.
Apa Penyebab Mendengkur pada Anak?
Mendengkur terjadi ketika udara tidak dapat mengalir dengan bebas melalui saluran napas di bagian belakang tenggorokan. Saat seseorang menarik atau membuang napas, jaringan di sekitar saluran napas bergetar dan menciptakan suara yang terdengar.
Berbagai faktor dapat menyebabkan penyumbatan saluran napas dan membuat seseorang mendengkur. Pada anak-anak, faktor risiko mendengkur yang paling umum meliputi:
ADVERTISEMENT
-Amandel dan Kelenjar Gondok yang Besar atau Bengkak
Amandel dan kelenjar gondok ditemukan di dekat bagian belakang tenggorokan dan merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Jika amandel dan kelenjar gondok secara alami membesar atau bengkak karena infeksi, amandel dan kelenjar gondok dapat menghalangi jalan napas sehingga menyebabkan dengkuran. Ini adalah penyebab paling umum gangguan pernapasan saat tidur pada anak-anak.
-Obesitas
Penelitian menemukan bahwa anak-anak yang kelebihan berat badan lebih cenderung mendengkur. Obesitas dapat mempersempit saluran napas dan meningkatkan risiko SDB termasuk apnea tidur obstruktif.
-Flu
Gejala seperti pilek dapat menyebabkan kemacetan yang menghalangi kelancaran aliran udara. Di sisi lain, infeksi dapat menyebabkan peradangan pada amandel dan kelenjar gondok.
-Alergi
Alergi yang kambuh dapat menyebabkan peradangan pada hidung dan tenggorokan yang membuat anak Anda lebih sulit bernapas dan meningkatkan risiko mendengkur.
ADVERTISEMENT
-Asma
Seperti halnya alergi, asma dapat menghambat pernapasan normal. Jika menyebabkan penyumbatan sebagian pada saluran napas dapat memicu dengkuran.
Apakah Mendengkur pada Anak Berbahaya?
Mendengkur yang jarang terjadi pada anak-anak biasanya tidak berbahaya, tetapi mendengkur yang teratur atau parah, bisa menandakan gangguan pernapasan saat tidur dan dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan yang signifikan.
Yang paling memprihatinkan adalah kondisi OSA yang bisa menyebabkan gangguan tidur yang parah dan mempengaruhi jumlah oksigen yang diterima anak saat tidur.
Hal ini telah dikaitkan dengan gangguan perkembangan otak, penurunan kinerja akademik, masalah kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi, perubahan metabolisme, dan masalah perilaku.
Secara keseluruhan, OSA dapat berdampak serius terhadap kualitas hidup anak. Dampak OSA telah dipelajari terutama pada anak-anak yang lebih besar, namun para peneliti percaya bahwa dampak tersebut juga meluas pada anak berusia 2-3 tahun.
ADVERTISEMENT