Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Vaksin merupakan salah satu penemuan terhebat sepanjang masa. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pemberian vaksin atau imunisasi telah berhasil membuat jutaan manusia terhindar dari berbagai penyakit menular yang berbahaya dan mematikan.
ADVERTISEMENT
Vaksin sendiri berisi mikoorganisme yang telah dilemahkan. Fungsinya untuk menimbulkan kekebalan pada tubuh dan mencegah manusia terinfeksi dari suatu penyakit berbahaya.
Lantas, bagaimana mikroorganisme itu diolah hingga akhirnya bisa menjadi vaksin?
Mengutip laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk membuat vaksin dibutuhkan jangka waktu yang panjang dan diperlukan suatu rangkaian penelitian yang cukup lama. Ya Moms, vaksin adalah produk biologis yang melewati banyak tahap dalam proses pengembangannya.
Perkembangan ilmu dan kemajuan bioteknologi menghasilkan proses pembuatan vaksin yang semakin kompleks untuk memastikan keamanan produk akhir vaksin. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan masa-masa awal vaksin dibuat.
Dokter Spesialis Anak, dr. Arifianto, SpA, kepada kumparanMOM menjelaskan, proses pembuatan vaksin yang panjang bukannya tanpa alasan.
ADVERTISEMENT
"Proses pengembangan vaksin sangat panjang, karena mencakup tiga tahap uji klinis yang sangat ketat dan menjamin vaksin yang digunakan nanti aman dan efektif," jelas dr. Apin--sapaan akrabnya, kepada kumparanMOM Rabu (29/1).
Lebih lanjut, dalam bukunya berjudul ‘Pro Kontra Imunisasi’, dr. Apin juga menjelaskan beberapa tahap pengujian yang perlu dilakukan untuk mengembangkan suatu vaksin.
Tahap 1: Uji Praklinik
Uji praklinik dilakukan untuk mengetahui keamanan dan efektivitas vaksin dalam menghasilkan antibodi untuk melindungi tubuh dari bakteri atau virus penyakit berbahaya. “Jika terbukti aman, proses pengembangan vaksin dilanjutkan ke tahap uji klinik, yaitu uji coba pada manusia,” jelas dr. Arifianto dalam bukunya.
Tahap 2: Uji Klinik
Uji klinik dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan vaksin yang diteliti apabila digunakan pada manusia. Pada prosesnya uji klinik harus melewati 4 tahap.
ADVERTISEMENT
Pada uji klinik tahap 1, ditentukan cara pemberian vaksin yang tepat (misalnya, suntik atau oral), serta jadwal pemberiannya. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mengetahui efek samping pada organ tubuh dan kadar imunoglobulin pascaimunisasi.
Kemudian uji klinik tahap 2 adalah tahapan untuk menentukan dosis dan jadwal imunisasi, yang kelak akan diterapkan pada masyarakat. Tahap ini melibatkan jumlah responden yang cukup banyak sebagai subjek penelitian. Misalnya saja, 100 orang dan menghabiskan waktu cukup lama--bisa bulanan atau tahunan.
Setelah itu uji klinik tahap 3 dilakukan untuk meneliti suatu populasi masyarakat. Adapun populasi masyarakat yang diteliti adalah mereka yang sehat, tidak terinfeksi penyakit terkait, tetapi tetap berisiko terpapar kuman penyakit tersebut.
Penelitian ini dapat memakan waktu hingga bertahun-tahun. Variabel yang dinilai adalah insiden penyakit di masyarakat atau yang disebut dengan attack rate, Moms.
Efektivitas vaksin kemudian dinilai pada uji klinik fase 4, yaitu setelah vaksin beredar dan dipasarkan di masyarakat umum. Biasanya, efektivitas vaksin di masyarakat lebih rendah dibandingkan saat penelitian. Hal ini disebabkan, masyarakat umum lebih heterogen dibandingkan dengan populasi penelitian, sehingga banyak parameter yang bisa mengurangi tingkat perlindungan vaksin.
ADVERTISEMENT
Uji klinik fase 4 juga dilakukan untuk melihat efek samping atau KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) berdasarkan laporan masyarakat yang mendapatkan imunisasi.
Lalu, mengapa proses pengembangan satu jenis vaksin harus melewati semua tahapan itu?
Moms, salah satu alasan utamanya adalah menyangkut efektivitas dan keamanan vaksin sebagai produk biologis yang akan dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Sepanjang sejarah dunia medis, tercatat ada beberapa ‘kecelakaan’ yang terjadi, salah satunya terkait pengembangan vaksin. Itulah yang menyebabkan pengembangan vaksin harus melewati rangkaian proses yang lama dan rumit.
Untuk pengembangan satu jenis vaksin saja, rata-rata dibutuhkan waktu 10-15 tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat satu juta vaksin juga terbilang fantastis, yaitu bisa mencapai 100 juta hingga 1 miliar dollar AS.
ADVERTISEMENT
Proses Produksi Vaksin
Setelah dipastikan aman, proses produksi vaksin pun akan diperbanyak sesuai kebutuhan. Menurut WHO, vaksin adalah preparat biologis yang bisa meningkatkan imunitas terhadap penyakit tertentu. Itulah kenapa, dalam proses pembuatannya, virus atau bakteri harus terjaga kualitasnya agar bisa memberikan perlindungan efektif.
Sebagai produk biologis, proses pembuatan vaksin melibatkan komponen sel hidup, baik dari manusia atau hewan, untuk dapat mengembangkan virus dan bakteri. WHO pun telah membuat panduan lengkap terkait penggunaan kultur sel dari hewan dan manusia, serta prosedur standar yang harus dipenuhi oleh semua negara yang membuat produk biologis ini.
Di Indonesia sendiri, pembuatan vaksin dilakukan oleh Biofarma. dr. Apin menjelaskan, produk vaksin buatan Biofarma terjamin aman, sehingga orang tua tak perlu khawatir.
ADVERTISEMENT
"Biofarma selaku BUMN sekaligus produsen vaksin di Indonesia memenuhi seluruh kebutuhan vaksin dalam negeri, khususnya untuk program imunisasi nasional yang diberikan secara cuma-cuma di Posyandu dan Puskesmas. Vaksin ini juga diekspor ke berbagai negara, karena memenuhi standar kualitas WHO," jelas dr. Apin.
Anda juga tak perlu ragu lagi memberikan anak vaksin buatan lokal, Moms. Sebab, menurut dr. Apin, vaksin buatan lokal punya kualitas yang sama baiknya dengan vaksin impor.
"Vaksin impor memenuhi kebutuhan vaksin yang tidak diproduksi oleh Biofarma. Khususnya untuk vaksin yang tidak masuk dalam program imunisasi nasional tapi tetap penting dan memberikan manfaat untuk mencegah penyakitnya. Jadi dari segi kualitas, vaksin lokal dan vaksin impor sama baiknya," tambah dr. Apin.
Ya Moms, vaksin merupakan produk yang dibuat dengan kendali kontol yang sangat ketat, karena langsung digunakan di tubuh manusia. Setiap jenis vaksin memang punya alur yang berbeda-beda, sesuai dengan jenis antigen yang digunakan. Namun secara umum, proses produksi vaksin terdiri atas beberapa tahap berikut ini.
ADVERTISEMENT
Di antara proses produksi vaksin, persiapan benih (seed) sering kali mengundang kontroversi. Hal ini terkait dengan penggunaan berbagai jaringan biologis hewan dan manusia, termasuk bahan yang bersumber dari babi, seperti tripsin.
Beberapa waktu lalu misalnya, pemberian vaksin MR sempat menuai pro dan kontra di Indonesia. Alasannya karena penggunaan tripsin babi yang dipertanyakan kehalalannya bagi sebagian umat Muslim.
ADVERTISEMENT
Koalisi Dokter Muslim Peduli Imunisasi, turut menyambut baik fatwa ini. Dalam rilis resemi mereka mengatakan, bukan hanya Vaksin MR yang dalam proses produksinya menggunakan bahan dari enzim babi.
Ya Moms, perlu diketahui bahwa vaksin polio injeksi/suntik atau Injection Polio Vaccine (IPV) yang dalam proses pembuatannya juga masih menggunakan enzim tripsin babi sebagai katalisator, namun di hasil akhir vaksin sudah tidak ada.
IPV juga sudah lebih dulu dan sejak lama digunakan bahkan diwajibkan di berbagai negara termasuk negara-negara Islam seperti Saudi Arabia.
Sebelum memahami peran dan fungsi tripsin, ada baiknya Anda memahami dulu istilah kultur sel atau cell banking, yaitu proses pembuatan subkultur sel agar lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Cell banking ini sangat penting karena vaksin diberikan kepada jutaan orang.
ADVERTISEMENT
“Cell banking terdiri dari proses melipatgandakan sel dan membagi hasil biakan ke dalam wadah baru yang lebih kecil, sebagai persediaan induk sel yang akan digunakan untuk membuat vaksin,” tulis dr. Arifianto dalam bukunya.
Dalam proses ini, tripsin dapat digunakan untuk permanenan virus. Salah satu sumber tripsin adalah pankreas babi. Meski begitu, Anda sebenarnya tidak perlu cemas akan hal ini.
Tripsin merupakan substansi yang telah diproses sedemikian rupa dan bertransformasi jadi molekul yang tentunya tidak sama dengan babi sebagai hewan utuh. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tripsin sendiri bersifat katalisator, sehingga jika tidak dibersihkan dapat merusak tahap-tahap pembuatan vaksin berikutnya. Oleh karena itu, pada tahap-tahap selanjutnya, dilakukan penambahan larutan dengan volume besar sebagai proses pemurnian, sehingga tripsin tidak terdeteksi lagi di produk akhir vaksin.
Jika dianalogikan, peran tripsin dalam vaksin layaknya sabit rumput, Moms. Ya, tripsin digunakan untuk menyabit virus dari sel pembiakannya. Setelah virus dipisahkan dari tempatnya tumbuh, akan dicuci sampai tidak ada lagi molekul tripsin yang tersisa, karena jika masih ada, tripsin akan mengganggu proses berikutnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bukan berarti tidak ada usaha untuk membuat vaksin yang halal dan tidak menggunakan enzim dari babi atau hewan lainnya. Para ilmuwan, menurut Koalisi Dokter Muslim Peduli Imunisasi, hingga kini masih terus mengupayakan untuk mencari dan meneliti vaksin yang tidak menggunakan babi atau unsur hewan lain dalam pembuatannya. Hanya saja, seperti yang dijelaskan di atas, untuk mengembangkan satu jenis vaksin butuh waktu yang cukup lama.
Yang jelas, pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, menjamin vaksin yang tersedia di Indonesia terbukti aman, berkhasiat, dan berkualitas.