Balita Menangis dan Tak Mau Pisah dengan Orang Tuanya, Bagaimana Menyikapinya?

31 Oktober 2025 16:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Balita Menangis dan Tak Mau Pisah dengan Orang Tuanya, Bagaimana Menyikapinya?
Ternyata, ketergantungan anak balita pada orang tuanya merupakan salah satu bentuk keterikatan yang nyaman.
kumparanMOM
Balita Menangis dan Tak Mau Pisah dengan Orang Tuanya, Kenapa Ya? Foto: GOLFX/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Balita Menangis dan Tak Mau Pisah dengan Orang Tuanya, Kenapa Ya? Foto: GOLFX/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Setiap ibu mungkin pernah merasakan momen anak balitanya menangis ketika Anda ingin ke kamar mandi atau dapur. Padahal, si kecil hanya akan ditinggal sejenak, tetapi ia sampai menangis histeris. Mengapa kondisi ini terjadi?
ADVERTISEMENT
Nah Moms, perilaku ini sebenarnya cukup wajar dialami oleh anak usia bayi, balita, dan prasekolah. Menurut psikolog anak di Nemours Children's Health, Danika Perry, PsyD, hal ini merupakan salah satu bagian dari perkembangan anak dan tanda ia memiliki ikatan yang nyaman dan aman dengan orang tuanya.
Atau, bisa disebut juga sebagai velcro kid atau anak velcro, atau sulit berpisah dengan orang tua atau pengasuhnya.
Pada usia bayi umumnya karena mereka belum mengembangkan permanensi objek, yang artinya mereka memahami bahwa ketika orang tua menjauh, sebenarnya ayah dan ibunya masih ada, kok!
Namun, seiring bertambahnya usia, beberapa anak balita mungkin masih tetap ingin dekat dengan orang tuanya. Namun, sebagian lainnya ada yang tumbuh lebih mandiri dan tidak bergantung kepada orang tua atau pengasuhnya. Dr. Perry menyebut, masih kuatnya keterikatan ini cenderung dipengaruhi oleh temperamen anak, lingkungan, dan hubungan orang tua-anak.
ADVERTISEMENT
“Seorang bayi yang tampak senang menjelajah secara mandiri atau tidak merasa tertekan saat dipisahkan dari orang tuanya, bisa saja menjadi sangat bergantung di kemudian hari karena perubahan perkembangan atau tekanan hidup. Seperti saat mulai bersekolah, menyesuaikan diri dengan kepindahan, atau menghadapi perubahan dalam keluarga,” ujar Dr. Perry.
Seorang anak yang lebih banyak bersosialisasi sejak bayi juga dapat tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri. Dan kedua perilaku ini juga dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
“Banyak anak melewati fase-fase di mana mereka mencari kepastian ekstra, terutama saat mereka menguji kemandirian dan mengeksplorasi pengalaman-pengalaman baru,” kata Dr. Perry.

Dampak Anak Velcro terhadap Orang Tua

Ilustrasi anak balita menangis dan minta digendong. Foto: Shutterstock
Anak-anak yang selalu ingin dekat dengan orang tua tentu bukan hal yang sepenuhnya buruk. Tahap ini bisa membawa kebahagiaan dan kepuasan tersendiri bagi orang tua karena mereka merasa dibutuhkan dan dicintai.
ADVERTISEMENT
Namun, setiap orang memiliki ambang batasnya masing-masing. Ketergantungan yang terlalu panjang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental orang tua, termasuk menyebabkan kelelahan emosional dan stres. Memiliki anak velcro dapat memunculkan emosi yang kompleks bagi orang tua.
“Seiring waktu, kurangnya ruang pribadi yang terus-menerus dapat memicu kelelahan, kecemasan, atau rasa bersalah. Hal ini juga dapat memengaruhi hubungan dengan pasangan maupun anak-anak lainnya,” kata Dr. Perry.
Menurut Sara Briggs, PhD, LPC, dari program Konseling Kesehatan Mental Klinis di Universitas Phoenix, orang tua dari anak velcro bahkan mungkin berjuang melawan perasaan gagal.
"Salah satu cara untuk mengatasi perasaan yang kompleks ini adalah dengan mengingat bahwa kedekatan anak seperti ini hanyalah sebuah fase," ujar Dr. Perry.
Ilustrasi orang tua dan balita tantrum. Foto: BaLL LunLa/Shutterstock
Maka dari itu, coba dorong si kecil mengatasi ketergantungannya, dengan cara mengembangkan kemandirian dan mempelajari batasan. Bagaimana caranya?
ADVERTISEMENT
Meskipun hanya momen-momen kecil ketika anak Anda melakukan sesuatu sendiri, Anda perlu untuk mengakui usahanya.
Misalnya, konsistensi dalam aktivitas sehari-hari, seperti mengantar anak di pagi hari, waktu makan, dan waktu tidur. Cara ini dapat membantu anak merasa aman dan mengurangi kecemasannya.
Dr. Perry mengimbau para orang tua untuk membuat perpisahan singkat, untuk meyakinkan anak-anak bahwa perpisahan itu aman. Misalnya, ketika Anda hendak kerja, maka yakinkan si kecil bahwa Anda akan pulang dan mintalah anak untuk menunggu.
"Ketika orang tua memberi tahu berapa lama mereka akan pergi dan menepatinya, hal itu membangun rasa percaya dan dapat mengurangi kecemasan perpisahan pada anak," kata Dr. Briggs.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, beri tahu anak orang tua perlu memiliki ruang pribadi. Misalnya, hanya sekadar mandi atau memasak di dapur. Hal ini mencontohkan ekspresi emosi yang sehat dan juga mengajarkan anak-anak untuk menghormati batasan orang lain.
Akui perasaan anak tanpa terlalu mengakomodasi rasa takutnya. Dr. Kennedy juga menyarankan anak untuk berolahraga, mengalihkan perhatian melalui aktivitas lain, atau berbicara atau menulis tentang perasaannya.