Balita Tidak Suka Suara Bising, Apa Penyebabnya?

16 April 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Balita Tidak Suka Suara Bising, Apa Penyebabnya? Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Balita Tidak Suka Suara Bising, Apa Penyebabnya? Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kepribadian seorang anak akan semakin terlihat seiring dengan bertambah usianya. Beberapa anak sejak usia balita ada yang begitu aktif, namun ada juga yang butuh beradaptasi dengan lingkungan barunya.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga yang bisa terlihat ketika anak balita tidak suka saat berada di lingkungan dengan suara yang keras atau bising. Ketika ia merasa tidak nyaman dengan kondisi sekelilingnya yang berisik, si kecil bisa jadi akan terdiam, menangis, atau bahkan berteriak.
Sebenarnya, wajar bagi anak bila merasa takut terhadap suara-suara keras yang didengarnya. Mereka mungkin takut terhadap beberapa suara barang seperti mesin penyedot debu, blender, atau pengering tangan di kamar mandi yang sedang menyala.
Salah satu tanda anak sensitif terhadap kebisingan yang paling sering terlihat adalah ia akan menutup telinga ketika berada di tempat yang bising. Bahkan, beberapa anak bisa menangis setelahnya dan berusaha memeluk orang tuanya agar merasa aman kembali.
ADVERTISEMENT

Apakah Orang Tua Perlu Khawatir?

Dikutip dari Romper, sebuah penelitian mengungkapkan sensitivitas suara --atau istilah medisnya hyperacusis-- dapat dialami pada 3-17 persen anak-anak. Hal ini paling banyak dialami oleh balita dan usia prasekolah.
Namun, menurut Boston Children’s Hospital, biasanya kondisi ini akan hilang sendiri seiring dengan bertambahnya usia anak.
"Ketakutan terhadap suara keras cukup umum terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun," ucap audiolog dari Children’s of Alabama, Hannah Widner, AuD, CCC-A. Ia pun sepakat bahwa reaksi ini wajar terjadi pada usia anak-anak kecil.
"Kalau dipikir-pikir, kebanyakan suara yang membuat anak balita kesal adalah suara yang keras. Misalnya, suara gemericik di toilet umum lebih keras dibandingkan di rumah. Sementara telinga dan otak kecil mereka belum terbiasa dengan hal itu. Mereka belum mendapatkan keterpaparan seperti yang kita alami ketika dewasa," jelas Widner.
ADVERTISEMENT
Ketika mereka sudah lebih banyak mengenal lingkungannya, maka balita pun akan semakin bisa mengatasi kepekaan suara yang didengarnya. Sebab, mereka telah lebih banyak beradaptasi dan membiasakan diri dengan suara-suara seperti kembang api, mesin pemotong rumput, maupun suara yang tiba-tiba muncul.

Mungkinkah Ini Merupakan Salah Satu Gejala Autisme?

Ilustrasi anak dengan autisme. Foto: japansainlook/Shutterstock
Jawabannya, bisa jadi. Ya Moms, Boston Children’s Hospital mengungkapkan tidak berkembangnya kepekaan anak terhadap suara bisa jadi tanda si kecil mengalami masalah perkembangan saraf. Atau bisa juga anak mengalami masalah kesehatan lain, seperti penyakit Lyme (infeksi bakteri akibat gigitan kutu) atau trauma kepala, yang menyebabkan hyperacusis-nya tidak berkembang.
"Tentunya pada anak dengan autisme, mereka tetap ada kepekaan terhadap suara. Kondisi ini tidak selalu terjadi pada penderita autisme, namun tidak jarang hal tersebut menjadi salah satu hal yang kita bisa lihat," tutur Widner.
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami juga bahwa gejala autisme pada anak yang paling terlihat adalah keterlambatan komunikasi, seperti bicara dan bahasa. Jadi, bila Anda khawatir ketika melihat balita takut dengan suara keras, belum tentu itu menunjukkan si kecil mengalami autisme.
"Jika Anda memiliki anak yang kemampuan bicara dan bahasanya tertunda, dan juga menunjukkan tanda-tanda sensitivitas suara, maka lakukan evaluasi bersama dokter dan terapis," pesan Widner.

Bagaimana Membantu Balita yang Sensitif Terhadap Suara Bising?

Sebagai orang tua, penting untuk memberi tahu anak bahwa tidak semua suara keras dapat dikontrol oleh kita. Namun, yang bisa dilakukan adalah meyakinkan si kecil bahwa hal tersebut normal dan mereka tetap bisa merasa aman. Anda pun bisa memvalidasi perasaan anak dan mengakui bahwa suara-suara keras memang bisa membuat beberapa orang takut. Namun, hanya sementara saja.
ADVERTISEMENT
Misalnya: "Suaranya keras, bikin kaget, ya? Tapi enggak apa-apa, setelah suaranya berakhir, kita tetap aman kok, nak."
Anda pun bisa melakukan sosialisasi atau memberi pesan kepada anak sebelum pergi ke tempat-tempat yang ramai dan berpotensi menimbulkan suara berisik.
Namun, jika suara berisik dan keras masih membuatnya tidak nyaman, misalnya masih menutup telinga dan tangan atau sampai membuat anak menangis ketakutan, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter. Sehingga, dokter akan merujuk anak untuk memastikan kondisi pendengaran, atau dicari pemicu lainnya agar bisa mendapatkan penanganan yang tepat ya, Moms!