Banyak Istri Pilih Diam saat Alami KDRT, Benarkah Cuma Demi Tutupi Aib Suami?

6 Februari 2022 16:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Oki Setiana Dewi. Foto: Munady
zoom-in-whitePerbesar
Oki Setiana Dewi. Foto: Munady
ADVERTISEMENT
Video cuplikan ceramah Oki Setiana Dewi, artis yang juga dikenal sebagai seorang ustazah terkait KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) menjadi sorotan. Viral di media sosial selama beberapa hari terakhir, dalam ceramahnya, Oki Setiana Dewi berkisah tentang seorang istri yang diam saja setelah dipukul oleh suami.
ADVERTISEMENT
Masih dalam ceramah yang sama, Oki menyebut sikap sang istri sebagai tindakan yang baik karena bertujuan untuk menutupi aib keluarga. Ia pun mengingatkan agar perempuan tidak bersikap lebay atau melebih-lebihkan satu perkara.
Penyampaian ceramah Oki Setiana Dewi ini oleh banyak pihak dinilai memberi pesan yang salah soal KDRT. Ketua MUI KH Muhammad Cholil Nafis salah satunya. Melalui unggahan Instagram, ia mengatakan bahwa tak semua hal buruk dalam rumah tangga, khususnya KDRT, patut ditutupi.
Menurut Cholil Nafis, Islam melarang KDRT dan menceritakan KDRT yang dialami kepada orang lain justru menjadi salah satu langkah yang baik untuk menghentikan perilaku tersebut.
Sementara KemenPPPA mencatat kasus KDRT di Indonesia memang masih tinggi, Moms. Termasuk di masa pandemi.
ADVERTISEMENT
"Survei nasional menunjukkan, 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan. Yang paling tinggi kekerasan fisik dan terjadi di dalam rumah tangga, hampir 73% angkanya," ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Valentina Gintings, pada kumparanMOM, Sabtu (5/2).
Karenanya menurut Valentina, perempuan korban KDRT harus berani bicara dan sesuai undang-undang semua pihak perlu mendukung. Ia mengingatkan, tak hanya bagi yang melakukan, ada sanksi hukum juga bila seseorang terbukti membiarkan dan atau menutupi KDRT.
Lantas, kenapa banyak perempuan korban KDRT memilih bungkam? Apakah selalu karena ingin menutupi aib keluarga atau suami seperti yang disampaikan oleh Oki Setiana Dewi?

Alasan Banyak Korban KDRT Memilih Diam

Alasan Banyak Korban KDRT Memilih Diam. Foto: fizkes/Shutterstock
Ifa Hanifah Misbach, S.Psi., M.A, Psikolog. dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, mengatakan ada banyak hal yang bisa jadi alasan korban KDRT memilih diam atau menyembunyikan kondisi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, KDRT adalah bagian dari kekerasan berbasis gender yang dipengaruhi budaya patriarki yaitu terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang di mana posisi laki-laki adalah over power sebagai pihak superior dan perempuan dianggap powerless pihak inferior yang dididik diam untuk menutupi perilaku kekerasan sebagai aib yang tabu diumbar karena akan mempermalukan harga diri pihak superior.
Dalam kondisi ini juga, tambah Ifa, perempuan dilumpuhkan kemampuan berpikir kritisnya.
“Sehingga (perempuan) tidak mampu membedakan mana KDRT sebagai perbuatan kriminal vs menutupi aib pasangan. Atau pihak inferior karena dianggap subordinat manusia kelas kedua jadi merasa ‘tidak punya hak’ untuk bersuara,” ujar Ifa pada kumparanMOM, Sabtu (5/2).
Ilustrasi KDRT. Foto: PR Image Factory/Shutterstock
Tidak hanya soal aib, Ifa menyebut seringkali perempuan dijadikan objek patuh yang didoktrin sejak kecil untuk banyak diam. Perempuan juga kerap menelan dogma bahwa ia pantas mendapat kekerasan.
ADVERTISEMENT
“Kalau suami memukul saya pasti salah, kalau suami memukul artinya buat mendidik, kalau melaporkan kekerasan ke polisi sama dengan istri durhaka yang mempermalukan nama baik suami di masyarakat. Akibatnya, mereka tidak tahu bagaimana cara mempertahankan martabatnya dan menyembunyikan kondisi atau kekerasan yang terjadi,” tambah perempuan yang menjabat sebagai Kepala Psikolog RS Melinda 2, Bandung, ini.
Ifa kemudian menjelaskan, korban KDRT yang menyembunyikan kekerasan yang mereka alami umumnya lantas mengalami kesepian berkepanjangan dan semakin tertekan dari hari ke hari. Sementara masalahnya tidak kunjung selesai bahkan bisa jadi semakin parah hingga mengancam nyawa.
“(Karena tertekan dan merasa sendiri) banyak yang berjuang agar tidak sampai bunuh diri. Bayangkan perasaan mereka sudah seperti ini, lantas tetap saja ada yang menganggap mereka ini berlebihan atau lebay? Tentunya sangat melukai perasaan para penyintas yang berjuang setengah mati untuk menyelamatkan martabatnya sebagai mahluk Tuhan yang mulia,” ujar Ifa prihatin.
ADVERTISEMENT
Itu lah kenapa kita semua perlu berempati, menghargai, mendengar, memahami dan membantu korban untuk berani berbicara, Moms.
“Sangat penting bagi korban untuk berani melaporkan, dan korban butuh support system untuk memvalidasi perasaannya, meyakinkan bahwa ia tidak salah, ia korban,” tambah Ifa.
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Senada dengan Ifa, Valentina Gintings, menyebut menutupi aib bukan satu-satunya alasan korban KDRT memilih diam.
"Data SDKI (Survei Demografi Keluarga Indonesia) misalnya, saat responden ditanya apakah mau dipukul oleh suami karena satu alasan atau kesalahan, 35% menjawab mau," ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA ini dengan nada prihatin.
Dari survei yang sama, diketahui juga bahwa alasan atau kesalahan yang dimaksud antara lain bila masakan gosong atau terlambat menyiapkan kopi.
ADVERTISEMENT
"Jadi masih ada pemahaman yang keliru. Karena pemahaman, atau referensi tidak benar, padahal ini dijadikan rujukan dalam membina rumah tangga," papar Valentina.
Selain itu menurutnya, banyak korban yang tidak berani bicara karena ada ketergantungan ekonomi.
"Biasanya yang kami hadapi, korban khawatir; Nanti kami makan apa? Anak sekolah bagaimana? Padahal tidak usah seperti itu. Jangan takut melapor, bicara, negara akan hadir, akan mendampingi dan memberikan perlindungan untuk mereka," kata dia.
Valentina kemudian menjelaskan, KemenPPPA telah bekerjasama berbagai lembaga telah menyediakan layanan pendampingan bagi korban kekerasan di seluruh Indonesia.
"(Korban yang melapor) akan didampingi, apa saja kebutuhannya baik fisik maupun non fisik. Termasuk bila perlu proses hukum, perlu psikolog untuk korban atau keluarganya, anaknya perlu psikolog anak, tidak usah khawatir, itu gratis karena kita ada anggarannya," tambah Valentina.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan korban juga dapat memilih untuk melapor ke kantor polisi terdekat maupun menghubungi SAPA 129 (021-129) dan hotline 081111129129 sebagai layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak dari KemenPPPA yang dapat diakses oleh semua kalangan di seluruh Indonesia.
"Bila butuh bantuan segera, misalnya terancam, merasa bahaya, juga bisa menghubungi ke sana. Tim kami akan datang!" tutupnya.