Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Cerita Ibu: Anak Speech Delay karena Ditinggal S2 di Luar Negeri
1 Juni 2024 15:54 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Menjadi ibu dan masih bisa meraih cita-cita adalah impian banyak orang. Meski demikian, perjuangan hingga sampai pada titik yang diinginkan itu tentu bukanlah hal yang mudah. Kondisi inilah yang dialami Nadia Atmaji, seorang ibu 1 anak yang sempat menempuh pendidikan S2-nya di salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia, University College London (UCL), Inggris, pada 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Nadia mengaku sempat 6 kali ditolak berbagai beasiswa hingga akhirnya lulus LPDP tahun 2019. 2 Tahun kemudian saat pandemi sedang parah-parahnya, ia akhirnya memutuskan untuk berangkat ke London tanpa anak dan suami. Sebab 2 tahun adalah tenggat maksimal bagi penerima LPDP saat dinyatakan diterima hingga berangkat kuliah.
Perempuan yang juga mantan jurnalis ini menyebut, saat itu usia anaknya, Ayana, sudah 1 tahun, dan menurutnya itu adalah usia yang tepat untuk berpisah sementara dengan anak. Namun ternyata hal yang tak disangka justru terjadi.
"Pada saat saya tinggalkan, dia mengalami keterlambatan bicara atau speech delay. Dan ternyata, dokter anaknya langsung bilang kalau itu adalah trauma perpisahan. Separation anxiety," kata Nadia dalam program Cerita Ibu kumparanMOM.
ADVERTISEMENT
Bak petir di siang bolong, kabar itu membuatnya syok, stres, hingga drop. Apalagi setiap kali terapi di rumah sakit, Ayana selalu menangis histeris dan ketakutan karena tidak boleh ditemani.
"Di titik itu saya ngerasa kayak egois banget. Mungkin harusnya saya ada di situ, bisa nenangin dia. Penyebabnya juga kan karena saya," katanya sambil terisak.
Tak dipungkiri, kondisi itu membuatnya tak fokus belajar. Bahkan hubungannya dengan suami sempat terganggu.
"Saya sempet nyalahin suami saya juga, 'Kenapa, mungkin kamu nggak ngajak ngobrol,' gitu, kan. 'Ya, kamu nggak ada di sini,' dia ngomong gitu. Ya jujur, di situ lumayan berat buat saya, buat suami, dan buat semuanya,' tutur perempuan yang juga lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan berbagai pencarian, akhirnya ditemukan metode terapi yang paling cocok, yakni dengan mengajak Ayana bermain yang membutuhkan fokus, salah satunya meronce. Selain itu, ia juga diajak berbicara dengan pelan dan pelafalan yang jelas, serta melepas semua penggunaan masker di rumah.
"Kita enggak tahu kalau ternyata anak butuh ngelihat gerakan mulut kita. Waktu pandemi kita ingin yang terbaik, teraman, ternyata justru mengorbankan tumbuh kembang anak kita," katanya.
Anak Lancar Bicara saat Bertemu Ibunya
Setelah setahun berpisah, akhirnya Nadia disusul suami dan anaknya. Ajaibnya, putri kecilnya itu tiba-tiba ceriwis dan aktif berbicara!
Tapi di sisi lain, Ayana belum mau langsung dekat dengan ibunya. Meski ia tampak senang, tapi masih canggung dan belum mau digendong. Nadia mengaku legowo karena sudah menduga respons putrinya tersebut. Lambat laun Ayana juga kembali lengket dengan ibunya seperti saat sebelum ditinggal ke London.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Support System
Nadia mengaku, tidak mungkin bisa melangkah sejauh ini tanpa support system. Ia mengaku beruntung memiliki suami yang mau mendukungnya dalam meraih apa pun yang ia cita-citakan, meski dalam perjalanannya juga tidak mudah. Selain itu, kedua orang tua, bahkan mertuanya juga sangat mendukung langkah Nadia.
Ibu yang kerap menyuarakan soal kesetaraan gender ini mengaku, salah satu yang membuatnya bertekad kuat untuk kuliah di luar negeri adalah pengalamannya masa kecil dulu. Ia dan keluarganya sempat tinggal di Amerika Serikat ketika ayahnya menempuh pendidikan di sana. Di sisi lain, ibunya saat itu tidak punya kesempatan yang sama seperti ayahnya.
Pengalaman itu membuatnya bertekad untuk menghapus stigma bahwa menjadi ibu membuat perempuan harus mengubur mimpi. Jika ada yang beranggapan bahwa kuliah di luar negeri tanpa membawa anak dan suami adalah egois, bagi Nadia justru sebaliknya. Ia ingin mengajarkan pada keluarga, anak, dan lingkungannya, bahwa perempuan bisa tetap berdaya meski sudah menjadi ibu.
ADVERTISEMENT