Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cerita Ibu: Arsitek Jadi Doula, Dulu Urus Konstruksi dan Kini Dampingi Kontraksi
5 Juni 2023 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Di saat itu (kehamilan pertama dan kedua) aku merasa kok perjalanan ini cukup sendiri, dan merasa sepertinya perlu lebih banyak lagi orang-orang yang berkecimpung dan mendampingi di bidang ini. Sehingga pas aku cari tahu, wah ada profesi, namanya doula,” kata Imu dalam program Cerita Ibu kumparanMOM.
Ya Moms, doula adalah tenaga pendampingan profesional nonmedis yang mendampingi ibu-ayah-janin dalam mempersiapkan mental, emosional, dan spiritual dalam menjalani proses kehamilan, persalinan dan pasca-persalinan.
Meski arsitek dan doula adalah profesi yang jauh berbeda, namun ada pola yang mirip sehingga memudahkan Imu dalam beradaptasi. “Karena proses menjadi arsitek, itu hampir mirip sama proses menjadi doula. Yaitu apa? Konsultasi, coaching, kayak sahabat dalam membangun rumah,” katanya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Kehamilan Imu
Selama 4 kali melahirkan, perjalanan masing-masing kehamilan terasa berbeda bagi Imu. Semuanya istimewa dengan ceritanya masing-masing.
Perjalanan kehamilan pertamanya terasa berat karena waktu itu ia dan suami merantau di Singapura, jauh dari orang tua dan keluarga dekat. Selain itu, teman-teman seusianya belum ada yang hamil. Di masa-masa yang tak mudah itu juga muncul masalah keluarga sehingga membuatnya sering menangis dan sedih.
Tak mau larut dalam kondisi itu, Imu berusaha mencari solusi hingga menemukan metode persalinan hypnobirthing. Dari situ ia mencoba berdamai dengan dirinya sendiri, hingga akhirnya bisa menjalani persalinan yang tenang dan rileks, bahkan tak merasakan kontraksi yang sakit.
“Di situlah aku merasa ‘wah kalau kita bisa ikhlas, menerima semua rasa tidak nyamannya, sehingga pain itu tidak pernah menjadi suffering lagi di dalam persalinan. Nah, di situlah aku merasa, ini menjadi inspirasi,” kata Imu.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada persalinan kedua di tahun 2013, ia memilih metode persalinan water birth. Pada saat itu metode tersebut belum populer sehingga ia mengalami banyak penolakan dari keluarga besarnya. Namun, ia yakin, metode yang dipilih tersebut adalah yang terbaik baginya dan buah hati saat itu.
“Aku berani untuk menyuarakan, ini hak aku, ini hak bayi aku, untuk bisa diterima, lahir di dunia dengan perasaan yang lembut, tenang, nyaman, dan ini yang aku inginkan,” katanya.
Kedua persalinan itulah yang menginspirasi Imu hingga akhirnya memutuskan menjadi doula. Tak sampai di situ, persalinan ketiga dan keempat juga punya ceritanya masing-masing.
Pada persalinan ketiga, ia lahiran sendiri di rumah tanpa didampingi satu pun tenaga medis. Saat itu tiba-tiba kontraksi terasa sudah intens dan Imu yakin dalam 2 kali kontraksi lagi, anaknya lahir. Ia mengatakan itu pada suaminya, dan benar juga, anaknya lahir begitu saja tanpa berbagai macam ‘drama’ persalinan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan cerita kehamilan keempat dilalui dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk. Terlebih pada masa kehamilan ada orang-orang dekat yang meninggal, salah satunya adalah ayah kandungnya sendiri.
Kenapa Ibu Hamil Butuh Doula
Imu menjelaskan, sebetulnya saat seorang ibu melahirkan, yang terlahir sebagai individu baru bukan hanya bayi, tapi juga kedua orang tuanya. Terutama jika itu adalah anak pertama, banyak hal yang juga belum pernah dialami oleh ayah maupun ibu.
Di sisi lain, jadwal konsultasi dengan bidan atau dokter obgyn selama masa kehamilan dapat dihitung dengan jari. Durasi dalam setiap pertemuan pun tak terlalu lama, sehingga ibu dan ayah tak bisa mengungkapkan dan mendapat solusi atas semua kebingungan yang mereka alami.
“Jadi kalau bisa dibilang, doula itu dibutuhkan bukan hanya untuk ibu, tapi untuk ibu, ayah, dan juga bayi. Sebagai sumber advokasi, sumber informasi, sumber physical support, dan sumber emotional support, yang mungkin itu tidak serta merta bisa langsung didapat sama keluarga atau support system dan birth provider. Karena birth provider punya waktu terbatas,” urainya.
ADVERTISEMENT
Pendampingan yang Sangat Membekas
Imu mengaku, setelah mengambil sertifikasi doula, ia sempat tak yakin akan terjun sepenuhnya pada profesi ini karena tantangannya yang tidak mudah. Namun, tiba-tiba ada teman yang mempercayakan pendampingan kehamilan padanya. Pada pendampingan pertama itu, proses persalinan klien tersebut tidak berjalan lancar sehingga akhirnya harus operasi caesar.
Berkaca dari kasus tersebut, ia semakin tertantang untuk belajar lebih banyak lagi, membaca jurnal, dan buku-buku kebidanan.
Imu mengaku, terkadang ada klien yang proses kehamilan dan persalinannya menguras emosi. Salah satunya adalah klien yang mengalami still birth atau janin meninggal di dalam kandungan saat usia kehamilannya sekitar 28-29 minggu. Saat itu, ia juga sedang hamil anak keempat, dengan usia kehamilan 30 minggu.
ADVERTISEMENT
“Bapak dan ibunya masih dalam kondisi bengong dan shock, yang menggendong bayinya aku. Jadi aku menggendong bayi umur 28 minggu tidak bernyawa, tapi dalam perutku ada bayi yang sedang menendang-nendang umur 30 minggu,” katanya.
Imu mengaku, butuh berhari-hari untuk memulihkan psikisnya usai peristiwa tersebut. Namun 2 minggu setelah peristiwa itu, ia kembali mendapatkan ujian besar, yakni ayahnya meninggal dunia.
“Di situ aku ada rasa kayak, satu sisi bersyukur, karena kejadiannya sudah dicicil dukanya dari 2 minggu yang lalu, tapi di sisi lain, ini ada apa ya, kematian dan kelahiran itu begitu eratnya, begitu dekatnya,” ujar Imu.