Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Cerita Ibu di Gaza: Melahirkan Tanpa Obat Pereda Nyeri, Tak Ada Air untuk Susu
17 November 2023 14:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ya Moms, Kefaia harus melahirkan anak pertamanya dengan kondisi Gaza yang sangat tidak kondusif. Perempuan yang tinggal di Gaza bagian utara itu harus meninggalkan rumahnya bersama keluarga, setelah militer Israel memperingatkan warga sipil agar berpindah ke selatan Jalur Gaza demi keselamatan mereka.
Saat peringatan itu diumumkan, Kefaia sedang hamil besar. Ia dan keluarganya termasuk di antara ratusan ribu orang yang meninggalkan Gaza utara. Dan sama seperti ribuan orang lainnya, ia harus berjalan bermil-mil dengan rasa takut akan dibom oleh pasukan Israel.
"Itu sangat berbahaya bagi bayi saya yang belum lahir. Saya selalu merasa ketakutan," ungkap Kefaia, dikutip dari CNN International.
Setelah melalui perjalanan jauh di tengah hamil besar, keluarga Kefaia pun tiba di Rumah Sakit Kuwait di Kota Rafah. Namun, sayangnya bangsal persalinan di rumah sakit tersebut telah ditutup. Kefaia pun dipindahkan ke RS Emirat yang tidak jauh dari lokasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
"Kondisinya sangat sulit, karena jumlah perempuan yang melahirkan sangat banyak. Mereka datang dari seluruh penjuru Gaza, dari utara ke selatan, dan di mana pun yang terdekat," cerita Kefaia.
"Bahkan, ada kekurangan obat penghilang rasa sakit. Jadi, mereka hanya memberikannya jika pasien mengalami rasa sakit yang benar-benar tidak tertahankan. Hanya diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan," lanjut dia.
Kefaia menjadi salah satu dari pasien yang pada akhirnya tidak mendapatkan obat pereda nyeri. Setelah melahirkan, Kefaia tinggal di lokasi penampungan di sebuah sekolah yang dikelola oleh PBB.
"Anak saya belum punya nama akibat perang. Dia kini berumur empat hari," ucap Kefaia yang ditemui CNN sambil menggendong bayi perempuannya.
Kefaia juga merupakan satu dari sekian ibu hamil yang tidak mendapat layanan persalinan memadai. Sebab, rumah sakit terdekatnya pun sudah kewalahan menangani korban meninggal, kehabisan bahan bakar untuk menyalakan generator yang berfungsi menyalakan listrik, hingga kekurangan obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Melahirkan Darurat di Tempat Penampungan
Ola Abu Oali adalah salah satu ibu hamil yang juga terpaksa melahirkan di tengah situasi mencekam akibat serangan Israel di Gaza.
"Bayi saya berumur dua minggu. Dia lahir saat perang [Hamas dan Israel] pecah. Tepat di sini, di sekolah ini saya melahirkan," kata Ola.
Setelah melahirkan, Ola bersama keluarga kecilnya termasuk seorang putra harus tinggal berdesak-desakan di tempat penampungan sekolah yang dikelola PBB.
"Kedua anak saya sakit. Perut mereka kembung dan mengalami diare parah. Setiap kali saya menyusui bayi saya, dia muntah. Saya harus membawa anak saya yang lain ke rumah sakit, sudah tiga kali dibawa untuk diberi infus. tetapi, kondisinya tidak berubah," cerita Ola.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, kondisi diare seperti dialami oleh anak Ola salah satunya disebabkan minimnya akses air bersih. Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), setiap warga Gaza kini hanya memiliki akses sebanyak tiga liter sehari untuk semua kebutuhannya.
"Kami tidak punya air bersih. Tidak ada susu untuk bayi saya. Dan kondisi toilet sangat buruk. Ada bau busuk yang terus tercium dan kami harus menunggu giliran untuk menggunakan toilet," beber dia.
Dorong Gencatan Senjata: Apa Salah Anak Saya yang Belum Lahir?
Masih di lokasi yang sama dengan Ola, Wafaa Yousef Fakhry Ahmed kini tengah harap-harap cemas karena ia sedang hamil besar. Ia sangat ketakutan nyawa anak yang masih di dalam kandungannya terancam. Sebab, lingkungan di sekitar tempat ia mengungsi saat ini sangat mengkhawatirkan. Wafaa khawatir ketika bayinya lahir, ia akan langsung terkena berbagai penyakit.
ADVERTISEMENT
"Kami tidak punya air untuk diminum. Jadi, satu-satunya pilihan yang kami punya adalah minum air aut. Suami saya bekerja keras untuk mendapatkan satu botol agar kami bisa minum," tuturnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kematian ibu di Gaza diperkirakan akan meningkat karena kurangnya akses terhadap layanan kesehatan. Dikatakan imbas serangan Israel menimbulkan konsekuensi langsung dan bahkan mematikan bagi kehamilan seseorang. Mulai dari risiko keguguran, bayi lahir mati, dan kelahiran prematur yang disebabkan ibu mengalami stres.
"Karena suara bom yang terus terdengar, banyak perempuan mengalami keguguran di Rumah Sakit Al-Shifa. Situasinya tidak tertahankan, terutama bagi ibu hamil. Saya sangat khawatir dengan bayi di dalam kandungan saya, saya takut keguguran," ungkap seorang ibu hamil lainnya, Asma.
ADVERTISEMENT
Asma mengaku sudah sangat kelelahan. Secara psikologis, ia juga mengaku kondisinya sangat tidak sehat, karena setiap hari menyaksikan pemandangan mayat. Tentunya, hal ini sangat menyedihkan dan ikut memengaruhi kondisi mentalnya.
"Saya mohon gencatan senjata. Apa kesalahan anak-anak sehingga mereka harus menderita sebanyak ini? Apa kesalahan bayi saya yang belum juga lahir ini?" ucap Asma dengan lirih.
Hingga hari ini, WHO memperkirakan lebih dari separuh rumah sakit di Gaza tidak berfungsi akibat kekurangan bahan bakar. Bangunan rumah sakit juga rusak dan suasana tidak aman bagi orang-orang untuk tinggal.
PBB juga memperkirakan sekitar 50 ribu ibu hamil menjadi korban dari serangan tersebut. Dan meskipun beberapa rumah sakit masih ada yang tetap beroperasi, namun diyakini para tenaga medis akan kewalahan. Sebab, diperkirakan akan terjadi 180 persalinan setiap harinya, dan beberapa di antaranya membutuhkan penanganan darurat obstetrik.
ADVERTISEMENT