Cerita Ibu: Masa Allah Tega Kasih Gue Anak Lama dan Dikasih Berkebutuhan Khusus

15 September 2023 9:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cerita Ibu: dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cerita Ibu: dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai dokter spesialis kandungan yang setiap harinya menangani pasien hamil, dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG, justru sempat sulit hamil. Ia memiliki riwayat sulit hamil seperti ibu dan kakaknya yang sama-sama mengalami endometriosis.
ADVERTISEMENT
Menyadari riwayat tersebut, sejak awal menikah Dinda langsung memeriksakan kondisi kandungannya, dan pada saat itu dinyatakan semuanya baik-baik saja.
Namun, karena tak kunjung hamil, ia menjalani serangkaian prosedur medis, mulai dari laparoskopi hingga inseminasi 3-4 kali. Dalam proses laparoskopi itulah ditemukan endometriosis yang tidak berupa kista atau miom sehingga tidak terdeteksi lewat USG biasa.
Dinda dan rekan sejawat saat sekolah spesialis kandungan. Foto: Dok. Pribadi
Karena rangkaian prosedur tersebut belum berhasil, Dinda akhirnya melanjutkan sekolah spesialis kandungan. Ternyata di tengah pendidikan hasil testpack-nya menunjukkan positif hamil. Tentu kabar itu sangat menggembirakan bagi Dinda dan suami. Apalagi belakangan diketahui jenis kelamin sang anak adalah laki-laki.
Hanya saja di awal kehamilan ia sempat syok karena ketika konsultasi dengan dosennya yang juga seorang profesor di bidang kandungan, hasil tes darahnya menunjukkan ia kekurangan nutrisi. Kala itu kehamilannya memasuki usia 8-9 minggu.
ADVERTISEMENT
“Ketika mendengar itu saya bener-bener langsung kayak shock banget dan down banget pastinya, kan. Saya sempat bertanya gini, 'ya habis gimana, Dok, saya hamilnya susah. Jadi maksud dokter saya harus gugurin?' Saya sempat nanya gitu,” katanya.
Dinda akhirnya memperbaiki pola makan dan memutuskan untuk cuti sekolah selama 1 tahun. Kehamilan pertama tersebut menurutnya berjalan dengan lancar dan sang anak, Gaddi, lahir dengan selamat dan sehat.

Kecurigaan dengan Tumbuh Kembang Gaddi

Sebagai orang tua baru, Dinda mengaku belajar banyak teori parenting dan tumbuh kembang anak. Dia menyimpan mimpi-mimpi besar untuk putra pertama yang diidam-idamkannya itu.
“Bahkan saya dulu sempat diskusi dengan seorang financial planner. Saya pengin anak saya sekolah di sekolah terbaik di Singapura apa di mana gitu. Berapa dana yang harus saya siapkan, sampai sebesar itu plan buat Gaddi saat itu,” tuturnya sambil terisak.
Dinda menggendong Gaddi kecil. Foto: Dok. pribadi
Namun, saat Gaddi berusia 3 bulan, ia mulai curiga dengan tumbuh kembangnya. Sebab stimulasi yang ia lakukan saat itu tidak direspons oleh Gaddi. Ia lantas membawa sang anak mengikuti berbagai terapi selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Saat itu Dinda meyakini Gaddi bisa tumbuh seperti anak-anak lain pada umumnya jika diberikan terapi sedini mungkin.
“Dan saya yakin di tangan saya ini anak pasti akan tumbuh kembang seperti anak normal pada umumnya,” ujarnya.
Dinda lalu membawa Gaddi yang saat itu berusia 4 tahun ke dokter spesialis neuro anak. Gaddi didiagnosis mengalami autism middle function. Ini adalah kategori autisme yang membutuhkan pendampingan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Selain memberikan diagnosis yang lebih jelas, dokter tersebut juga menyarankan Dinda untuk hamil lagi. Tujuannya utamanya untuk menemani Gaddi jika orang tuanya tak lagi ada.
“Ya udah pusing lagi dong kita, ini gimana waktu itu aja 5 tahun nggak nunda, susah hamil. Dan ini udah 6 tahun kita nggak pernah pakai kontrasepsi juga, belum hamil-hamil. Akhirnya ya udahlah bismillah kita akhirnya melakukan program bayi tabung saat itu,” kata Dinda.
ADVERTISEMENT
Kemudian lahirlah Genna, anak keduanya yang berjenis kelamin perempuan dalam kondisi sehat.

Dinda Didiagnosis Frustrasi

Dinda bersama Gaddi dan Genna. Foto: Dok. Pribadi
Membesarkan anak berkebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah. Dinda mengaku selalu kurang tidur karena Gaddi memiliki masalah kegelisahan, yakni sering terbangun dini hari dan tidak bisa tidur lagi. Kondisi itu membuat Dinda kelelahan akut dan jadi mudah marah.
Dinda lantas menjalani berbagai macam terapi untuk dirinya sendiri selama sekitar 1,5 tahun dan didiagnosis frustrasi. Sebab Dinda selama ini dikenal memiliki karakter yang selalu berhasil membenahi kondisi yang tak sesuai di lingkungannya. Namun, hal ini tak berlaku saat ia menghadapi Gaddi.
Hingga akhirnya Dinda menyadari, sebagai orang tua, seharusnya ia bisa menerima apa pun kondisi anak.
ADVERTISEMENT
“Jadi memang ada mindset yang perlu diubah. Kayaknya memang kita sebagai orang tua yang harus lebih bisa menerima anak. Dan di situlah ketika saya sudah menerima keadaan itu, ya Gaddi dipanggil,” tuturnya dengan suara bergetar.

Gaddi Berpulang

Ya, Gaddi, anak emas yang sangat dicintai keluarga itu meninggal dunia dalam usia 10,5 tahun karena kecelakaan motor. Saat itu, Gaddi sedang dibonceng berkeliling kompleks oleh terapisnya—rutinitas yang biasa dilakukan sebelum memulai terapi. Ketika peristiwa itu terjadi, Dinda sedang mengoperasi pasien sehingga ia tak tahu teleponnya berdering berkali-kali.
Tentu saja kondisi itu membuatnya terguncang. Namun, Dinda menyadari, itu adalah jawaban dari Tuhan atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini.
Dinda mengaku 3 minggu sebelum Gaddi meninggal, ia sedang sangat intens memikirkan masa depan anak pertamanya itu. Dinda mencari sekolah vokasi untuk anak berkebutuhan khusus di Amerika, Kanada, Filipina, Malaysia, dan Australia.
ADVERTISEMENT
Namun, rata-rata sekolah-sekolah tersebut hanya menerima warga negara asli. Hanya Malaysia satu-satunya yang mau menerima warga asing. Ia bahkan sudah berencana survei ke Malaysia. Bahkan di malam sebelum Gaddi meninggal, ia sudah bertanya pada terapis Gaddi, sampai kapan mau mendampingi putranya itu.
“Bahkan saya udah nanya ke Gaddi, Gaddi kamu mau nggak tinggal di dorm? Cuman dia memang kurang paham, tapi dia sempat bilang nggak mau,” katanya.

Momen Terakhir Bersama Gaddi

Dinda dan keluarga. Foto: Dok. Pribadi
Enam bulan sebelum Gaddi meninggal, Dinda mengaku sedang sangat dekat dengan putra sulungnya itu. Kala itu ia memutuskan untuk tak lagi punya babysitter yang mengurus Gaddi. Sehingga setiap hari Gaddi selalu bersamanya kecuali siang hari saat sekolah dan ia bekerja. Sejak pandemi, Dinda juga tak lagi mengambil praktik malam sehingga malam hari bisa full di rumah.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan soal ‘apa jalan keluar untuk Gaddi’ selalu terngiang di kepala Dinda. Ia bingung dengan kebiasaan Gaddi yang kerap buang air di celana saat merasa tak nyaman. Padahal Gaddi sudah tak pakai popok sejak usianya 4 tahun.
Di sisi lain, yang Dinda tahu, perkembangan anak dengan spektrum tak pernah mundur. Sehingga umumnya ketika sudah berhasil toilet training, anak dengan autisme biasanya tak lagi punya kebiasaan mengompol.
“Jadi pas ada kejadian (Gaddi meninggal) itu, saya langsung, oh ini jawabannya. Ini sebenarnya jawaban yang dari kemarin saya pikirin,” ujarnya.

Program Bayi Tabung Anak Ketiga dari Embrio yang Disimpan

Dinda dan suami (kanan) usai program bayi tabung anak ketiga. Foto: Dok. Pribadi
Sepeninggal Gaddi, Dinda dan suami sempat merasakan kekosongan di keluarga itu. Setelah menjalankan umrah dan melalui berbagai pertimbangan lainnya, mereka memutuskan untuk kembali mengikuti program bayi tabung dari embrio yang diambil bersamaan dengan proses bayi tabung Genna, anak kedua mereka.
ADVERTISEMENT
Kini di usia yang menginjak 42 tahun, Dinda tengah mengandung anak ketiga dan memasuki trimester ketiga kehamilan. Kehamilannya juga lancar dan sehat.
It’s a rainbow baby! Selamat ya, Dok!