Cerita Ibu: Perjalanan Cinta Fery dan Anies Baswedan, 8 Tahun Ditempa di Amerika

17 November 2023 17:14 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fery Farhati dalam program Cerita Ibu kumparanMOM. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Fery Farhati dalam program Cerita Ibu kumparanMOM. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Meski jadi figur publik, tapi kehidupan rumah tangga Fery Farhati dan Anies Baswedan jarang menjadi sorotan. Namun, ternyata perjalanan pernikahan keduanya penuh tantangan yang tak mudah.
ADVERTISEMENT
Fery bercerita, ia mengenal Anies saat masih sama-sama kuliah di UGM. Mereka menikah pada Mei 1996, beberapa bulan sebelum berangkat ke Amerika Serikat karena Anies telah mendapat beasiswa untuk kuliah S2 di sana.
Fery Farhati saat baru menikah dengan Anies Baswedan. Foto: Dok. Pribadi/Fery Farhati
“Waktu Mas Anies melamar, Mas Anies membeberkan selembar kertas yang isinya adalah sebuah garis, dengan titik-titik di garis itu yang menunjukkan rencana lima tahunan. Jadi lima tahun kita akan sekolah, lima tahun kemudian kita akan berkarier,” kata Fery dalam program Cerita Ibu kumparanMOM.
Namun, ternyata kenyataan tak berjalan sesuai rencana karena Fery hamil. Kehamilan pertama di negeri perantauan dan tanpa sanak saudara terasa tidak mudah bagi Fery. Apalagi ia mengalami morning sickness yang cukup parah hingga dehidrasi. Sementara untuk ke rumah sakit, ia dan Anies harus naik bus dengan jarak yang cukup jauh karena hanya rumah sakit tertentu yang bisa menerima mereka.
ADVERTISEMENT
Akhirnya setelah melalui berbagai pertimbangan, mereka memutuskan Fery pulang ke Indonesia dan melahirkan di Tanah Air. Anies kemudian menyempatkan pulang beberapa pekan saat libur semester ketika anak pertamanya itu, Mutiara Baswedan, berusia 4 bulan.

LDM dengan Komunikasi Terbatas

Selama hampir 2 tahun, Fery dan Anies menjalani long distance marriage (LDM) dengan penuh perjuangan. Ya Moms, sebab pada era itu komunikasi masih sangat terbatas. Penggunaan ponsel belum semasif saat ini, biaya telepon internasional masih mahal, dan tak bisa kirim foto digital.
Internet saat itu baru ada Wasantara dan Fery hanya bisa mengirim foto via email. Itu pun ia hanya bisa mengirim pada malam hari agar koneksi sedikit lebih cepat. Tak jarang ia memilih mengirim foto fisik via pos ke Amerika.
Fery Farhati, Cerita Ibu. Foto: Dok. Pribadi/Fery Farhati
Akhirnya setelah hampir 2 tahun LDM dan Anies telah lulus S2, Fery dan Tia menyusul ke Amerika. Saat itu Anies sedang menunggu pengumuman beasiswa S3. Uniknya, saat pertama bertemu Anies, Tia memanggil ayahnya itu ‘om’ saking lamanya mereka tidak pernah bertemu.
ADVERTISEMENT
“Dengan berjalannya waktu Mas Anies begitu terlibat dengan Tia, diajak main, diajak berenang, disuapin, banyak sekali yang dikerjakan bersama antara Tia dengan Mas Anies, sementara saya menata apartemen yang baru, akhirnya Tia dekat juga dengan Mas Anies,” tutur Fery.
Sementara itu keinginan Fery untuk sekolah lagi belum dapat terwujud. Sebab ia hamil anak kedua dan kuliah S3 yang dijalani Anies sedang padat-padatnya.

Kembangkan Diri dengan Kursus di Sekolah Anak

Seiring berjalannya waktu, Fery merasa harus terus mengembangkan diri. Ia akhirnya mengikuti kursus soal parenting di sekolah Tia. Singkat cerita, dari kursus itu Fery mendapat informasi pendidikan S2 di bidang yang sama. Mengingat anak sudah balita dan memungkinkan melakukan pembagian tugas dengan Anies, ia akhirnya mendaftar S2 di kampus yang sama dengan Anies, Northern Illinois University.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya saya mendaftar di Family Consumer and Nutrition Science, di Northern Illinois University, belajar tentang Applied Family and Child Studies, dengan bayangan bahwa saya akan membawa ilmu itu ke Indonesia, dan saya akan buat program seperti yang saya jalani untuk orang tua di Indonesia,” tutur Fery.
Bagi Fery, apa yang ia pelajari di kampus sangat penting untuk membantunya menjadi ibu dan istri yang baik. Terlebih dia hidup di perantauan yang jauh dari orang tua sehingga tak ada tempat untuk bertanya saat dia kebingungan.
“Ternyata menjadi orang tua dengan pengetahuan itu jauh lebih ringan jalannya, daripada yang meraba-raba, yang trial error,” kata Fery Farhati.

Terpisah 6 Bulan dengan Anies karena 9/11

Saat tragedi 9/11 terjadi, Fery dan keluarganya masih berada di Amerika. Kala itu mereka mengetahui peristiwa pada tahun 2001 itu dari televisi dan sangat kaget. Di tengah situasi yang tak stabil itu, Anies harus pulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian dan mengambil data.
ADVERTISEMENT
Rencananya, setelah penelitian di Indonesia selesai, Anies akan mengolahnya sambil melanjutkan kuliah dan mengasuh anak sehingga Fery juga bisa kuliah dengan baik. Terlebih saat itu Fery juga sudah mengajukan diri sebagai asisten dosen agar dapat keringanan biaya kuliah. Tapi ternyata, lagi-lagi kenyataan tak berjalan sesuai rencana.
“Ternyata Mas Anies terdampar di Indonesia, tidak bisa balik ke Amerika, karena waktu itu ada backlog visa di kedutaan di Amerika, karena ada perubahan, waktu itu kan setelah 9/11 mereka sangat berhati-hati untuk memasukkan orang ke Amerika, dan juga prosesnya menjadi lebih lama,” urai Fery.
Kala itu Anies tak bisa masuk ke Amerika selama 6 bulan. Sementara Fery baru saja diterima S2 dan harus mengasuh 2 balita seorang diri tanpa pengasuh dan tanpa sanak saudara. Beruntung teman sesama WNI di sana mau dititipi 2 anak saat Fery kuliah.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah, enam bulan lewat Mas Anies bisa kembali, saya bisa melewati dibantu teman-teman di sana, dan saya bisa menyelesaikan kuliah dengan predikat mahasiswa teladan,” ujar Fery.

Kembali ke Indonesia

Setelah 8 tahun tinggal di Amerika, Fery dan Anies pulang ke Indonesia pada 2005. Fery berseloroh, datang ke Amerika bawa 1 koper, pulang bawa 3 anak. Ya, kala itu Fery dan Anies sudah memiliki 3 anak, yakni Tia, Mikail, dan Kaisar.
Mereka yang sebelumnya berencana mengajar di UGM, memilih pulang ke Jakarta karena kondisi di Indonesia yang kala itu sudah berubah usai reformasi. Anies bekerja di sebuah lembaga yang mengurusi desentralisasi, sesuai bidang keilmuan yang ia pelajari di Amerika.
Fery Farhati, Cerita Ibu. Foto: Dok. Pribadi/Fery Farhati
Sementara itu, Fery lebih memilih mengabdikan dirinya untuk lingkungan sekitar, agar ia juga tetap bisa fokus mengurus anak. Dia bertemu para penggerak PAUD di sekitar lingkungannya dan mulai terlibat membagi ilmu parenting berdasarkan ilmu yang ia dapat saat kuliah S2.
ADVERTISEMENT
“Saya punya kesimpulan waktu itu bahwa tidak harus kita itu berada di posisi orang berkarier atau di kantor, kemudian ilmunya hanya bisa dimanfaatkan di kantor. Sebagai ibu rumah tangga pun kita bisa berdampak, kita bisa secara sosial mempunyai dampak untuk lingkungan dengan aktif di lingkungan,” tuturnya.

Kunci Keharmonisan dengan Anies

Fery merasa, perjalanan hidup yang ia lalui bersama Anies adalah keberkahan. Dengan prihatin di negeri orang dan tanpa keluarga membuat hubungan keduanya jadi lebih kuat.
“Mungkin akan beda kalau kemudian kami membangun keluarganya di sini, dengan support yang begitu lengkap dari kedua orang tua kita, teman-teman, dan keluarga lainnya,” katanya.
Sebagai keluarga, Fery dan Anies bertumbuh bersama dan punya prinsip yang sama karena terbentuk dari awal. “Seperti pohon yang sudah besar, semakin tinggi batangnya, tapi akarnya juga semakin dalam, dan insyaallah ini menjadi kekuatan kami,” ujar ibu 4 anak ini.
ADVERTISEMENT
Terlebih menjadi istri seorang Anies Baswedan memiliki tantangan tersendiri. Dia merasa, kehidupannya bersama Anies selalu penuh kejutan dan tikungan tajam.
Dari yang berencana pulang jadi dosen di Yogyakarta, berpindah haluan dengan bekerja jadi teknokrat di Jakarta. Ketika kerja sudah mapan, tiba-tiba dapat tawaran untuk jadi rektor di Universitas Paramadina, yang menurut Fery, dari segi penghasilan justru lebih kecil. Namun, kondisi itu mereka lalui dengan baik-baik saja.
“Mendapat tawaran menjadi menteri, dijalani, saya mendukung. Kemudian dihentikan dari kementerian, alhamdulillah semuanya itu berjalan dengan baik, bukan sesuatu yang kemudian membuat kami sebagai keluarga berantakan,” katanya.
Ternyata setelah itu Anies jadi gubernur DKI Jakarta dan Fery sangat mendukung. Ia mengaku belajar banyak dari perannya sebagai istri gubernur.
ADVERTISEMENT

Pesan Penting untuk Diri Sendiri

Sepanjang hidupnya, Fery banyak berperan untuk keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dia merasa penting untuk selalu memberikan manfaat bagi sekitarnya.
Namun, di sisi lain, Fery baru menyadari bahwa ternyata selama ini dia terlalu banyak memikirkan orang lain tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Saat ditanya apa apresiasi yang ingin ia sampaikan pada dirinya, Fery terdiam cukup lama. Dia kemudian menjawab dengan suara bergetar menahan isak tangis.
That is deep,” kata Fery sambil tersenyum.
“Saya mensyukuri semua yang saya lewati, tidak ada yang saya sesali. Saya bangga bisa sampai di posisi saat ini. Saya banyak mengalami hal-hal yang membuat saya belajar banyak,” tuturnya—masih dengan suara bergetar.
Fery Farhati, Cerita Ibu. Foto: Dok. Pribadi/Fery Farhati
Dia juga berpesan bagi para ibu lain di luar sana untuk tidak lupa mengapresiasi diri. Ibu selalu memikirkan suami, anak, dan lingkungan, tapi acapkali tak peduli dengan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
“Sekali-sekali, tepuk pundak kita bangga dengan apa yang kita kerjakan, karena apa yang diraih oleh suami, apa yang diraih oleh anak-anak kita, adalah juga andil dari kita. Beri penghargaan pada peran kita,” tutup Fery.