Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Dear Ibu, Jangan Menyalahkan Diri Sendiri Jika Ada yang Berusaha Menjatuhkan
21 Desember 2024 20:00 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 7 Januari 2025 10:12 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bagi banyak orang, adanya saran atau kritik yang positif pasti akan direspons dengan baik dan kita pun berusaha mengevaluasi diri. Tetapi, bagaimana bila kritik diberikan dengan cara yang tidak tepat, dan justru membuat Anda sedih, berkecil hati, atau bahkan sampai depresi?
Pada akhirnya, tidak sedikit ibu yang kemudian menyalahkan diri sendiri (self-blame) dan menganggap semua yang dilakukan adalah kesalahannya.
Contohnya, ketika anak sakit, orang pertama yang akan disalahkan jika terjadi sesuatu pada si kecil adalah ibu. Lalu, kita pun akan meresponsnya dengan, "Enggak usah nyalahin ibunya. Karena sebelum itu, ibu pasti sudah menyalahkan diri sendiri.". Pernah mengalami situasi ini, Moms?
Kenapa Ibu Kerap Menyalahkan Diri dan Bagaimana Meresponsnya?
Menurut psikolog Yuli Handayani Siregar, M.Psi, ibu yang selalu menyalahkan diri sendiri mungkin tidak punya teman bercerita atau berkeluh kesah tentang apa yang dialami. Termasuk ketika support system di sekelilingnya pun tidak mendukung ibu.
"Akhirnya segala sesuatunya dia internalisasi, akhirnya menjadi mudah marah, mudah emosi. Jadi, ketika ada sesuatu yang tidak nyaman, boleh banget sharing sama orang terdekat. Boleh pasangan, orang tua, sahabat, ataupun melakukan hal-hal yang membuatnya nyaman," ungkap Yuli saat ditemui di Mothercare Mother's Day Celebration di Pakuwon Mall Bekasi, Sabtu (21/12).
ADVERTISEMENT
"Jadi, jangan pernah menyimpan perasan sendiri, menyalahkan diri sendiri karena nanti akan berpengaruh pada orang-orang di sekitarnya," imbuh dia.
Bagaimana bila orang-orang terdekat yang berusaha menjatuhkan diri Anda sebagai seorang ibu?
Yuli menjelaskan, beberapa pasangan yang tinggal bersama orang tua diakui memang akan lebih mudah mendapatkan omongan dan intervensi dari orang lain. Bila omongan atau perilaku tidak mengenakkan datang dari keluarga terdekat, maka yang Anda bisa lakukan adalah berdiskusi dulu dengan suami.
"Karena ketika ada respons yang kurang baik, mungkin dari mertuanya, kalau menyampaikan secara langsung dengan karakter mertua yang enak diajak ngobrol, boleh banget diomongin langsung dari hati ke hati. Tapi kalau masih ada yang mengganjal, omongkan dengan suami dan dibantu dikomunikasikan. Sehingga, tidak akan sama-sama menyinggung," jelas Yuli.
ADVERTISEMENT
Yuli pun berpesan kepada ibu agar tidak perlu selalu menyalahkan diri sendiri ketika ada orang-orang yang berusaha menjatuhkan Anda. Sebab, setiap ibu memiliki caranya masing-masing dalam mengasuh anak. Dan Anda jugalah yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk si kecil.
"Kenapa kita tidak boleh menyalahkan diri sendiri sebagai seorang ibu? Karena yang tahu kondisi kita adalah kita sendiri. Orang lain hanya sebagai penonton tapi kita pemeran utamanya. Jadi kita tahu apa yang mesti dilakukan," tutur Yuli.
Pengaruhi Kesehatan Mental Ibu Setelah Memiliki Anak
Perkataan-perkataan negatif yang didapatkan ibu setelah melahirkan juga rentan memengaruhi kondisi kesehatan mentalnya. Ya Moms, mendapat tekanan dari orang-orang di sekitar yang memberi kritikan tentang pengasuhan anak hingga kondisi ibu usai melahirkan rentan menyebabkan baby blues, gangguan kecemasan, depresi postpartum, hingga psikosis postpartum.
Baby blues merupakan kondisi ibu yang mengalami kesedihan, cemas, atau lelah setelah melahirkan, dan umumnya berlangsung hanya beberapa minggu. Sementara depresi postpartum lebih parah ketimbang baby bluses, yang dapat menunjukkan gejala seperti perasaan sedih yang mendalam, kecemasan, hilangnya minat pada aktivitas yang biasa dinikmati, sulit tidur, hingga perubahan pola makan. Ibu yang mengalaminya dapat memengaruhi proses perawatan bayi.
ADVERTISEMENT
"Sementara gangguan kecemasan bisa dialami ibu dengan gejala kecemasan berlebihan setelah melahirkan, seperti kecemasan umum atau gangguan panik. Kemudian ada kondisi psikosis postpartum, yang meskipun langka, kondisi ini bisa serius dan perlu perhatian medis segera. Karena gejalanya meliputi delusi, halusinasi, kebingungan dan perilaku yang tidak rasional," ujar Yuli.
Kesadaran tentang kesehatan mental sebagai ibu juga turut menjadi perhatian content creator Sarah Azka, yang kini tengah mengandung anak pertamanya. Ia menyadari kondisi psikologisnya di kehamilan sekarang masih diikuti oleh pengalamannya yang pernah keguguran sebanyak 4 kali.
"Secara psikologis aku jadi parnoan banget, dan enggak nyangka sampai mengalami keguguran.Tapi sekarang sudah enggak takut keguguran lagi, tetapi seperti merasa kira-kira kandungan aku bisa bertahan berapa lama. For me, pregnancy is a long journey," cerita Sarah.
ADVERTISEMENT
Berbagai risiko psikologis yang bisa dialami ibu membuat Sarah Azka kini berusaha lebih waspada tentang yang namanya kesehatan mental. Ia pun berusaha menjalani pola hidup sehat agar tidak terlalu memikirkan hal-hal buruk yang dapat memengaruhi kondisinya selama hamil hingga melahirkan nanti.
"Mentally aku sudah harus aware banget sama postpartum. Apakah aku sampai di level masih suka parno. Tapi, selama kehamilan pun aku mencoba untuk makan dengan baik, olahraga tapi tidak mau terlalu capek, dan sekarang sudah mulai berpikir mau ngapain aja [setelah melahirkan]," ujar Sarah.
Untuk mengatasi rasa parno seperti yang dirasakan Sarah, psikokog Yuli pun memberi tipsnya. Yang paling utama, menurutnya, adalah berusaha berbagi perasaan dan cerita tentang yang dirasakan.
ADVERTISEMENT
"Merasa parno memang bisa bikin tidak nyaman dan orang lain dapat melihatnya. Jadi, boleh banget sharing dengan orang sekitarnya. Sharing tentang perasaannya. Karena ketika kita bisa sharing apa yang dirasakan, maka bisa membantu mempercepat proses pemulihan," tutup Yuli.