Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dokter Qory Berencana Cabut Laporan KDRT, Benarkah Alami Stockholm Syndrome?
21 November 2023 18:09 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Namun, Teguh menjelaskan, keinginan tersebut baru disampaikan secara lisan saja. Sehingga, sampai saat ini pencabutan laporan tersebut belum resmi dan Willy masih menjalani penahanan.
Belum diketahui pasti alasan di balik rencana tersebut. Meski begitu, diberitakan sebelumnya Qory berencana mencabut berkas laporan terhadap suaminya karena alasan masih sayang. Sang suami juga mengaku menyesal telah melakukan tindak kekerasan kepada istrinya.
"Yang kami tahu dan lihat memang pasangan ini saling menyayangi, kemarin kekerasan itu karena dipicu emosi yang memuncak," ucap Teguh, Senin (20/11) kemarin.
Beberapa warganet menyayangkan keputusan Dokter Qory bila benar akhirnya akan mencabut laporan KDRT. Meski begitu, beberapa orang juga menyinggung kasus KDRT yang dialami ibu tiga anak itu dengan Stockholm Syndrome.
ADVERTISEMENT
"Mencabut tuntutan adalah respon yg sering terjadi dari korban KDRT. Namanya Domestic Stockholm Syndrome: mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi kekerasan yg scr rutin dialami dlm pernikahan/hub dekat scr intim lainnya (pacaran juga bisa). Wlpn korban selalu mikir bagaimana bisa survive tapi krn otak yang sudah trauma (beda cara kerjanya dgn otak normal) malah fokus dengan kebaikan pelaku dibanding perlakuan pelaku yg gebukin korban. Scr data memang dibutuhkan 7x utk proses balikan lagi ke pelaku sblm korban bisa benar2 lepas dari pelaku. Dan biasanya butuh pendampingan psikologis scr intense, yg sy ga tau apakah ada service yg memberikan pendampingan yg dibutuhkan utk korban2 KDRT di Indo? Jadinya dlm kasus KDRT, bisa jadi sblm sempat bebas bisa banget jadi mayat dulu," tulis pemilik akun @permainansensorik.id.
ADVERTISEMENT
Kasus KDRT Dikaitkan dengan Stockholm Syndrome, Apa Maksudnya?
Stockholm syndrome disebut-sebut menjadi salah satu alasan pasangan bertahan dalam pernikahan yang toxic dan bahkan abusive. Dikutip dari WebMD, Stockholm syndrome adalah gangguan psikologis yang dialami korban pelecehan atau kekerasan ketika mereka memiliki perasaan positif terhadap pelakunya.
Sindrom ini merupakan cara korban untuk memahami respons emosional terhadap pelaku yang melakukan kekerasan kepadanya. Sehingga, terkadang korban jadi bersimpati, berempati, atau muncul perasaan positif lainnya. Kondisi ini bisa terjadi selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
Kadang-kadang, hal ini dapat menghasilkan perlakukan yang baik dari pelaku. Karena mereka merasa juga dapat menciptakan ikatan positif dengan korbannya.
Dan bahkan memungkinkan juga seseorang yang mengalami Stockholm syndrome jadi punya perasaan negatif terhadap polisi atau siapa pun yang berusaha menyelamatkannya.
ADVERTISEMENT
Lantas, kenapa ya korban KDRT kerap dikaitkan dengan Stockholm Syndrome ini? Menurut Psikolog Klinis Dewasa Rumah Dandelion, Melisa, M.Psi, terjadinya Stockholm Syndrome ini karena kognitif bias, karena korban merasa kekerasan yang dialaminya adalah kesalahannya. Selain itu, juga muncul rasa ketidakberdayaan korban pada situasi yang sedang dialaminya.
"Ditambah lagi ada pemikiran bahwa pasangan akan berubah yang menambah harapan dalam hubungan. Sehingga individu masih yakin dengan hubungan yang dibinanya," kata Melisa kepada kumparanMOM.
Alasan Kenapa Korban KDRT Bertahan dalam Pernikahannya
Selain itu, Melisa juga menyoroti beberapa faktor lain yang mendukung alasan seseorang mencabut laporan kasus KDRT, hingga akhirnya korban memutuskan untuk bertahan. Berikut penjelasannya, Moms.
1. Entrapment (Terjebak)
Faktor terjebak ini terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
ADVERTISEMENT
2. Cinta
Merasa pasangan akan berubah dan hanya merekalah yang bisa membantu perubahan tersebut.
3. Investasi
Korban akan merasa sulit untuk keluar dari hubungan KDRT, karena merasa sudah banyak yang "diberikan" dalam hubungan pernikahan ini.
Kondisi kehamilan juga ternyata dapat berpengaruh, karena adanya kekhawatiran kehidupan anak di masa depan dan kekhawatiran mengasuh anak seorang diri. Dan juga muncul anggapan bahwa ia merasa akan lebih baik tetap dalam pernikahan, sehingga bisa menjadi orang tua yang lengkap bagi anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Mengingat para korban kemungkinan besar akan mengambil keputusan bertahan pada hubungan KDRT, penting bagi orang-orang di sekitarnya untuk memahami alasan pribadi mengapa ia tetap mempertahankan hubungannya.
"Mengetahui alasan pribadi setiap korban untuk tetap tinggal dan pergi dapat membantu memberikan bantuan yang dibutuhkan setiap korban untuk terbebas dari kekerasan," pungkasnya.
Live Update