Kata Sosiolog UI soal Fenomena ART Tak Balik Usai Lebaran

18 April 2024 17:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Asisten Rumah Tangga Foto: Dragon Images/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Asisten Rumah Tangga Foto: Dragon Images/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kehadiran Pekerja Rumah Tangga (PRT) atau Asisten Rumah Tangga (ART) banyak membantu keluarga dalam urusan domestik hingga menjaga anak-anak. ART membantu kelancaran kegiatan sehari-hari, seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, hingga merawat anak atau anggota keluarga yang sudah lanjut usia.
ADVERTISEMENT
Dan biasanya, setiap momen Lebaran ikut dimanfaatkan oleh para ART mudik ke kampung halamannya. Waktu kepulangan dan kedatangan juga umumnya telah didiskusikan bersama antara majikan dan ART. Termasuk kepastikan apakah akan kembali bekerja atau tidak.
Namun, hal ini tidak dialami Tina, ibu tiga anak, yang secara tiba-tiba ART-nya minta pulang kampung tidak sesuai kesepakatan. Mawar menceritakan pada awalnya ia dan sang ART telah sepakat agar bisa mudik pada 9 April 2024, atau setelah Mawar kembali dari perjalanan dinasnya.
"Tapi, entah dia memang punya rencana jelek atau gimana, tiba-tiba di tanggal 25 Maret minta pulang dengan alasan keluarganya sakit. Enggak tahu ini benar atau cuma alasan semata. Akhirnya balik tuh dia dengan tidak sesuai kesepakatan. Saya pun lapor ke yayasannya dan diminta untuk THR ditahan dan gaji diberikan hanya sesuai jumlah hari kerja," cerita Mawar kepada kumparanMOM.
ADVERTISEMENT
Padahal, sebelumnya ART-nya telah berjanji akan memberi kabar untuk kembali bekerja atau tidak setelah Lebaran.
Ini juga yang dialami Bella, ibu dari dua anak kembar dan karyawan Swasta asal Bekasi. Awalnya, ia mencari ART untuk masing-masing memegang kedua putri kembarnya. Ia sudah melakukan percobaan: satu ART menginap dan satu ART pulang pergi masih kurang efektif. Lalu, Bella pun memutuskan untuk mencari dua ART untuk menginap.
Ilustrasi ART Foto: Shutterstock
Beberapa hari setelah Lebaran, salah satu ART-nya tiba-tiba memberi tahu bahwa ia tidak bisa kembali. Alasannya, karena ART yang telah bekerja dua tahun bersamanya itu sakit telinga dan harus berobat ke dokter THT.
"Sebelum dia balik kampung sudah kita tanya, kira-kira mau balik lagi apa nggak. Dua-duanya bilang balik lagi, aku percaya itu. Tapi di tengah mereka pas pulang kampung, salah satunya hubungi aku alasannya enggak balik alasannya karena sakit telinga, jadi harus ke THT. Jadi aku sudah tawarin kalau mau berobat di THT di sini aja, lebih banyak opsi daripada di kampungnya. Tapi tetap tidak mau," ungkap Bella.
ADVERTISEMENT
Bella juga mengaku tidak menaruh curiga karena beberapa barang milik ART-nya, seperti baju dan handuk, masih berada di rumahnya.
Dan kini, salah satu putri Bella juga tengah sakit. Mau tidak mau, ia pun harus menambah hari cutinya sambil merawat anaknya dan mencari ART lain.
"Tentu menghambat, merugikan secara waktu. Terus jadi harus cari satu lagi. Tapi aku ingin menghindari konflik dalam satu rumah, jadinya mau cari yang satu lagi, tapi yang PP (pulang pergi) aja," kaya dia.

Di Balik Fenomena ART Tak Balik Setelah Mudik Lebaran

Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Dr. Ida Ruwaida, M.Si. Foto: Dok. FISIP UI
Menurut Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Ida Ruwaida, M.Si., PRT atau ART hingga saat ini belum dikategorikan sebagai pekerja. Sehingga, relasinya dengan majikan masih bersifat informal dan tidak mengikat, karena tidak ada perjanjian kerja secara tertulis.
ADVERTISEMENT
Karena masih belum banyaknya majikan-ART yang memiliki perjanjian hitam di atas putih, maka sebentar atau lamanya ART bekerja adalah tergantung pada kesediaan ART itu sendiri. Termasuk kepuasan atas upah dan fasilitas lainnya.
Ida menjelaskan, pada ART yang 'live in' atau tinggal bersama dengan majikan, masalah yang kerap ditemui adalah jam dan beban kerja yang terlalu berat. Alasan inilah yang membuat mereka jadi enggan untuk kembali bekerja.
"Kadang mudik Lebaran hanya jadi alasan untuk 'keluar', sambil nunggu dulu dapat THR dan bingkisan-bingkisan lainnya," tutur Ida.
Sayangnya, bila digambarkan dalam konteks relasi majikan dan ART, Ida menyebut posisi tawar majikan relatif lebih lemah. Ini disebabkan karena majikan yang lebih membutuhkan kehadiran ART dalam membantu pekerjaan sehari-hari. Sementara mencari ART yang bersedia menginap, dengan karakter yang sopan, terampil, dan berkomitmen tinggi tidaklah mudah.
ADVERTISEMENT
"Apalagi [majikan yang] mau kerja all-in. Sebagian PRT berharap ada tugas-tugas khusus saja. Oleh sebab itu, kadang di satu keluarga butuh lebih dari 1 PRT," ungkap dosen Sosiologi UI itu.
Dan ia menemukan masyarakat perkotaan kini kecenderungannya lebih mencari ART yang 'live out', atau pulang-pergi. Dengan bekerja seperti itu, mereka bisa mendapat jam dan beban kerja yang lebih ringan. Lalu, tidak jarang satu orang bisa bekerja di beberapa rumah dalam satu hari, demi mencari pendapatan yang lebih besar.
Di sisi lain, beberapa majikan juga memutuskan pakai ART yang pulang-pergi karena keterbatasan ruang di rumah.
"Kalau pun pilih yang live in, biasanya mencari melalui 'jaringan sosial', seperti kerabat, kenalan, dan lainnya. Sehingga relatif bisa dipercaya. Dan relasi yang terbangun juga tidak hanya bersifat 'ekonomi', tapi juga ada 'keterikatan sosial' karena jaringan-jaringan tersebut," tegas Ida.
ADVERTISEMENT
Nah Moms, lantas seberapa penting kita membuat perjanjian kontrak kerja ketika memutuskan ingin memakai ART?
Cara ini jugalah yang disarankan oleh Ida. Ia menyarankan agar memang sebaiknya sejak awal dibuat perjanjian kerja bersama, yang isinya berdasarkan kesepakatan atas deskripsi pekerjaan, jam kerja, besaran insentif dan tunjangan, dan hal-hal lain yang perlu ditulis di atas kertas.
"Perjanjian tersebut butuh komitmen, baik PRT maupun majikan. Implementasinya memang butuh 'pengawasan', ini yang masih lemah," tegas dia.
Ia juga menyoroti pentingnya kehadiran RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), yang kini masih 'digantung' di DPR. Padahal, RUU PPRT ini memiliki tujuan baik, yakni negara ikut melindungi dan mengawasi hak PRT yang seringkali terabaikan.
"Yang secara kelembagaan memang masih jadi PR, khususnya di permukiman. Karena area kerja PRT ada di wilayah domestik atau privat, yang kadang tidak mudah mengontrolnya. Hak-Hak PRT seringkali terabaikan. Di sisi lain, PRT juga ada yang tidak komit dengan kewajibannya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT