Kenapa THR Lebaran untuk Anak Biasanya Pakai Uang Baru? Ternyata Ada Sejarahnya!

30 Maret 2025 16:39 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak dapat THR atau uang Lebaran atau angpao. Foto: Aku.Alip/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak dapat THR atau uang Lebaran atau angpao. Foto: Aku.Alip/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Lebaran rasanya jadi momen yang dinanti banyak anak. Selain bisa berkumpul dengan keluarga, anak-anak bisa menyantap aneka hidangan lezat hingga mendapat tunjangan hari raya alias THR.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, THR merupakan hal yang lekat dengan perayaan Lebaran di Indonesia. THR juga identik dengan tradisi menukarkan uang lama menjadi uang baru sebelum membagikannya ke anak-anak.
Ternyata, tradisi pemberian THR ke anak diyakini merupakan tradisi yang berasal dari budaya Timur Tengah dan diadopsi oleh masyarakat Indonesia.

Asal-usul THR Lebaran untuk Anak

Ilustrasi anak dapat THR atau uang Lebaran atau angpao. Foto: Aku.Alip/Shutterstock
Pakar Antropologi FISIP UNAIR, Djoko Adi Prasetyo Drs Msi, mengungkapkan walaupun sejarahnya belum tertulis dengan jelas, tetapi tradisi THR kemungkinan berasal dari pengejawantahan bentuk sedekah sesuai ajaran Islam. Tradisi tersebut, sambungnya, tidak lepas dari proses akulturasi budaya masyarakat Indonesia.
“Beberapa catatan sejarah Kerajaan Mataram Islam, budaya ini sudah terjadi pada abad ke-16 hingga ke-18. Para raja dan bangsawan biasa memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya saat Idul Fitri. Hadiah uang baru tersebut mereka bagikan sebagai bentuk rasa syukur. Khususnya terkait keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), seperti dikutip dari situs resmi UNAIR.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi anak dapat THR atau uang Lebaran atau angpao. Foto: Firdaus Khaled/Shutterstock
Selanjutnya, Djoko menanggapi terkait fenomena pergeseran kebiasaan berbagi THR karena teknologi uang elektronik. Menurutnya, meskipun THR saat ini bisa berwujud uang elektronik, hal ini tidak mengurangi makna simbol tentang kesucian dan kebersihan, ucapan terima kasih, rasa hormat, rasa bangga jika bisa berbagi, serta rasa bersyukur.
“Kita juga harus paham bahwa budaya itu tidak abadi. Selama budaya itu masih ada masyarakat pendukungnya, maka budaya itu akan tetap lestari. Demikian sebaliknya, apabila masyarakat pendukung budaya tersebut sudah tidak mendukung lagi, maka budaya itu akan terkikis dan bahkan musnah,” pungkas Djoko.