Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pendidikan yang Tidak Dibatasi Hanya oleh Sekolah, Seperti Apa?
28 April 2018 8:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Apa yang ada di benak Anda bila mendengar kata 'gawat darurat pendidikan', Moms? Umumnya kata ini hanya dikaitkan oleh masyarakat pada saat ada kasus pelecehan anak di sekolah atau ada berita tentang jembatan reot menuju sekolah yang hampir roboh.
ADVERTISEMENT
Padahal, tidak hanya itu! Survey IRCW (2013-2014) menunjukkan ada 27,2% siswa laki-laki dan 9,4% perempuan dari total 1.682 antara usia 12-14 tahun pernah mengalami kekerasan di sekolah.Di samping itu, UNICEF (2015) menyebutkan ada 26% anak Indonesia yang mengalami kekerasan di rumah.
Belum lagi kalau kita membahas kondisi yang penuh keterbatasan di ruang-ruang kelas setiap harinya. Baru terasa deh, betapa banyak hal yang perlu diperbaiki terkait pendidikan di Indonesia. Begitu banyak dan gawatnya, sampai kita mungkin bingung harus memulai dari mana.
Menurut Penggagas dan Pegiat Jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG) Najelaa Shihab , harapan akan keluaran pendidikan yang lebih baik di Indonesia, bisa terwujud secara efektif dengan mengubah paradigma pendidikan, lebih dari sekedar kegiatan bersekolah.
ADVERTISEMENT
"Pendidikan merupakan proses kolaboratif antara anak, orang tua, pendidik, dan lingkungan sosialnya yang terjadi sepanjang hayat," kata Najelaa, yang ditemui di acara Ngopi Pagi (Ngobrol Pendidikan Menyambut Hardiknas) #SemuaMuridSemuaGuru, di Jakarta, 26/4.
Menurut Najelaa yang juga akrab dipanggil Mbak Ela, ada tiga persoalan utama dalam pembangunan di bidang pendidikan. Di antaranya akses, kualitas, dan pemerataan.
"Sekitar 5 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah. Pemberian akses ke sekolah bisa memudahkan mereka ke sekolah. Tapi saat berada di kelas, mereka dijejali informasi yang mudah didapatkan lewat teknologi. Ini artinya kualitas pendidikan belum mengakomodir pengembangan individu yang utuh untuk menjawab kebutuhan abad 21. Dan pemerataan yang diupayakan kerap kekurangan sumber daya, atau terjebak dalam sistem penganggaran," jelas Mbak Ela.
ADVERTISEMENT
SMSG adalah jaringan dan wadah alternatif dalam menyatukan seluruh aktor pendidikan. Jaringan ini berupaya menggalang emansipasi untuk mewujudkan masyarakat berdaya melalui berbagai kegiatan kreatif.
Hingga 2018, SMSG didukung 33 komunitas dan menjangkau sebanyak 357.329 relawan, guru, orang tua dan siswa di 252 kabupaten/kota, serta bekerja sama dengan 15 kementrian/lembaga dan 28 media massa.
Pemilihan nama 'Semua Murid Semua Guru' sendiri memperluas makna pendidikan yang tidak dibatasi hanya oleh sekolah. "Masing-masing dari kita adalah subjek dan sekaligus objek pendidikan. Begitu banyak kegagalan paham yang bisa kita atasi dengan kegemaran belajar, karena kita semua murid. Begitu banyak peran yang kita bisa ambil dan teladan yang bisa kita lakukan karena kita semua guru," jelas Najelaa.
ADVERTISEMENT
Selain itu SMSG juga melakukan gerakan #KirimBudi, yakni mengajak publik untuk ikut mengirimkan Flashdisk Budi yang berisi ratusan video profesi ke anak-anak pelosok daerah Indonesia. Dari ratusan video tersebut akan dibagikan informasi bahwa ada banyak mimpi di luar sana yang dapat mereka raih.
Program #KirimBudi juga berkolaborasi dengan Kitabisa.com sebagai paltform pengumpulan donasi. satu flashdisk membutuhkan biaya Rp 100.000 termasuk biaya pengiriman ke daerah.
Tertarik mendukung gerakan ini? Anda bisa mengikuti aktivitas Jaringan SMSG di media sosial Youtube, Facebook, dan Instagram dengan nama akun Semua Murid Semua Guru, serta Twitter @SMSG_id.
Live Update