Preeklamsia, Penyebab Utama Kematian Ibu di Indonesia

5 Maret 2020 14:02 WIB
comment
67
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
MOMS MANUAL-Waspada Preeklamsia.  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
MOMS MANUAL-Waspada Preeklamsia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa kondisi kehamilan perlu mendapat perhatian yang sangat serius, salah satunya adalah preeklamsia. Sebab, bila tidak segera ditangani, preeklamsia bisa menyebabkan kematian pada ibu dan atau bayi yang dikandungnya. Bahkan, preeklamsia menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menunjukkan, penyebab utama kematian ibu di Indonesia, yaitu hipertensi dalam kehamilan sebesar 32 persen, dan perdarahan pascapersalinan sebesar 20 persen.
Tentu saja hal ini perlu menjadi perhatian kita semua. Sebab dari Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015 diketahui bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia mencapai 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Sementara dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (BPS 2017), angka kematian bayi baru lahir adalah 15 per 1.000 kelahiran hidup. Padahak, Millenium Development Goal (MDG) menargetkan penurunan AKI menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup.
Mirisnya, jumlah tersebut membawa Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara dengan angka kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara. Urutan pertama ditempati oleh Laos dengan angka kematian 357 per 100 ribu.
ADVERTISEMENT
Bila dibandingkan dengan tetangga terdekat, yaitu Singapura dan Malaysia, jumlah kematian ibu di Indonesia masih sangat besar. Singapura pada tahun 2015 memiliki angka kematian ibu 7 per 100 ribu, dan Malaysia di angka 24 per 100 ribu.
Artinya bila kita hendak menekan angka ini, kita tak boleh lagi tutup mata akan bahaya preeklamsia.
Ilustrasi preeklamsia saat hamil. Foto: Shutterstock
Hipertensi sendiri merupakan gejala awal preeklamsia, yaitu kondisi yang ditunjukkan dengan tekanan darah tinggi, adanya protein di dalam urine atau preteinurea, dan pembengkakkan di beberapa bagian tubuh saat hamil.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan kasus preeklamsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) "Diagnosis dan Tata Laksana Preeklamsia" dijelaskan, insiden preeklamsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir, ternyata tidak menampakkan adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia. Hal itu berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun, sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.
Ilustrasi preeklamsia saat hamil. Foto: Shutterstock
Ya, preeklamsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, Moms. Biasanya terjadi di usia kehamilan di atas 20 minggu atau di trimester ketiga kehamilan.
Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklamsia berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah usai persalinan. Hasil metaanalisis menunjukkan adanya peningkatan bermakna pada risiko hipertensi, penyakit jantung iskemik, hingga stroke pascamelahirkan.
Diagnosis preeklampsia dibagi menjadi dua, yaitu kriteria minimal dan berat. Yang bisa menentukan diagnosis tersebut tentunya hanyalah dokter, Moms.
ADVERTISEMENT
Preeklamsia minimal ditandai dengan tekanan darah yang setidaknya mencapai 140/90 mm/Hg, sementara tekanan darah yang tergolong preeklamsia berat sekurang-kurangnya mencapai 160/110 mm/Hg atau lebih. Kedua kriteria preeklamsia itu tentunya jugadisertai protein urine melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1.
Dalam PNPK POGI "Diagnosis dan Tata Laksana Preeklamsia" dijelaskan bahwa kualitas penanganan preeklamsia di Indonesia ternyata masih beragam di antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini bukan hanya disebabkan karena belum adanya teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana di daerah.
Preeklamsia pada ibu hamil. Foto: Shutter Stock
Selain masalah kedokteran, preeklamsia juga menimbulkan masalah ekonomi, karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi, Moms. Dari analisis yang dilakukan di Amerika Serikat, biaya yang dikeluarkan untuk preeklamsia mencapai 3 milyar dollar per tahun atau senilai Rp 42,5 triliun.
ADVERTISEMENT
Mengutip data Kemenkes, sebesar 60 persen kematian ibu dan 78 persen kematian bayi baru lahir terjadi di fasilitas kesehatan. Kondisi ini menekankan pentingnya peningkatan kualitas layanan kesehatan, dalam setiap tahap. Mulai dari pemeriksaan kehamilan, layanan persalinan, sampai pascapersalinan.
Sayangnya, saat ini hanya 21 persen rumah sakit umum di Indonesia yang memenuhi standar layanan obstetric dasar. Untuk layanan kesehatan primer, hanya 31 persen puskesmas dan kurang dari 10 persen layanan kesehatan swasta yang memenuhi seluruh kriteria untuk pelayanan pemeriksaan kehamilan yang komprehensif sesuai standar.
Ilustrasi rutin periksa kehamilan. Foto: Shutterstock
Kemenkes memang terus bertekad untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun ternyata, hal itu tidak akan efektif jika tidak didukung oleh faktor lainnya.
Kita patut mencatat, bahwa sebesar 60 persen masalah dalam bidang kesehatan seharusnya dapat diselesaikan dengan perbaikan di sektor non-kesehatan. Sebagai contoh, optimalisasi sistem rujukan hanya dapat dicapai dengan perbaikan sistem transportasi dan komunikasi, yang perlu didukung oleh sektor non-kesehatan.
ADVERTISEMENT
Nah Moms, hal itu menggarisbawahi pentingnya kontribusi seluruh sektor terkait dalam upaya memperbaiki layanan kesehatan di Indonesia. Semoga saja, bila semua sektor terkait bersinergi, kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia dapat ditekan dan berkurang signifikan.