Punya Anak Autisme dan Hendak Disunat? Ini Persiapan yang Orang Tua Bisa Lakukan

24 Mei 2022 14:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sunat anak laki-laki dengan kondisi autisme. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sunat anak laki-laki dengan kondisi autisme. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mempersiapkan sunat untuk anak laki-laki Anda mungkin bisa jadi susah-susah gampang ya, Moms. Hal yang sama juga bisa terjadi pada orang tua yang memiliki anak dengan autisme dan hendak disunat. Karena si kecil berkebutuhan khusus, perlu pendekatan lebih dari orang tua agar mau melakukan sunat seperti yang dijelaskan ayah dan ibunya.
ADVERTISEMENT
Sebelum disunat, ternyata bukan anak saja yang perlu diedukasi dan disiapkan mentalnya. Mengapa? Simak apa kata ahli dan orang tua yang anaknya dengan kondisi autisme sudah melakukan sunat.

Persiapan Orang Tua dengan Anak Autisme Sebelum Disunat

1. Konsultasi ke Dokter untuk Tentukan Metode Terbaik
Dokter sekaligus Praktisi Khitan Gemuk, Estetis dan Khitan Modern, dr. Akhmad Fahrur Rhozy, menekankan pentingnya kerja sama orang tua dengan dokter yang akan menangani sunat anaknya. Biasanya, dokter akan menanyakan dulu seperti apa kondisi autisme anak, bagaimana cara berkomunikasi, hingga mencari metode sunat yang tepat.
"Saling kerja sama dokter dan orang tua. Kemudian cari teknik yang terbaik untuk anak, teknik paling cepat, aman, nyaman. Carilah metode yang enggak ada alat menempel karena risikonya tidak besar, enggak ada balutan dan jahitan. Jadi lebih aman," tutur dr. Rhozy dalam acara diskusi 'Sunat untuk Anak dengan Autisme: Kapan Waktu yang Tepat?' yang digelar secara virtual oleh Yayasan MPATI, Jumat (20/5).
Ilustrasi sunat. Foto: Irfan Adi Saputra
Hal yang sama juga dilakukan Tiurma Hindrajanto, orang tua dari remaja dengan autisme yang sudah disunat. Sebelum konsultasi ke dokter, ia banyak mencari informasi lewat internet soal metode sunat bagi anak dengan autisme. Tiurma pun akhirnya menemukan dokter bedah untuk melakukan sunat pada anaknya yang waktu itu sudah berusia 12 tahun.
ADVERTISEMENT
"Dokter bedah umum waktu bilang saya sirkumsisi anak kebutuhan khusus pakai bius total. Tapi dengan berbagai alasan salah satunya obat bius, [saya tanya] bisa enggak bius lokal. Dokternya kooperatif, kalau bapak ibu bisa ajak diam, enggak gerak, oke kita bisa coba," cerita Tiurma.
2, Pilih Waktu Libur Sekolah
Sama seperti kebanyakan anak lain yang dikhitan, Tiurma memilih waktu masa liburan sekolah untuk melakukan sunat pada anaknya. Sehingga, ia berharap proses pemulihan anak lebih maksimal dan putranya kembali nyaman saat pergi ke sekolah lagi.
3. Beri Anak Waktu untuk Beradaptasi
Salah satu persiapan lain yang bisa dilakukan adalah membuat anak beradaptasi dengan lingkungan dan suasana tempat sunatnya nanti. Menurut Wardi Supardi, pendidik anak kebutuhan khusus sekaligus perintis Jakarta Ramah Autisme, orang tua bisa membawa anak ke rumah sakit dan dokternya untuk menciptakan suasana lebih nyaman.
ADVERTISEMENT
"Proses awalnya mengenalkan rumah sakit, kenali dengan alat-alatnya. Persiapannya kan di rumah. Kalau ke dokter jadi dia sudah lebih biasa, kan banyak anak sudah kenal juga rumah sakit. Biasanya enggak terjadi anak jadi rewel," ujar Wardi.
4. Persiapkan Mental
Ilustrasi sunat anak laki-laki. Foto: Shutterstock
Selain itu, dr. Rhozy mengungkapkan ternyata orang tua dengan anak autis cenderung tidak lebih kuat mental ketimbang anaknya. Sebab, ketika anak melihat orang tuanya cemas atau khawatir saat akan disunat, ia pun akan merasakan ketakutan yang sama.
"Yang kita kuatkan mental orang tuanya dulu. Kalau orang tua enggak kuat duluan, dokternya enggak bisa intervensi. Kalau orang tua kita kuatkan mental dan ikhlas, yuk kerja sama, di ruang tindakan saling menguatkan. Saya berusaha secepat dan seaman mungkin, ayah bunda bantu support dengan menenangkan yang caranya dipeluk," ungkap dr. Rhozy.
ADVERTISEMENT
Pesan yang sama juga diberikan Tiurma agar persiapan mental tidak hanya pada anak, tetapi orang tua pun juga memerlukannya.
"Kita harus siapkan mental, jangan cuma mental anaknya, tapi seisi rumah kita siapkan. Yang sesudah operasi tindakan harus siapkan mental. Kalau tindakan yang enggak nyaman buat anak kita, kita ekstra sabar dan semangat. Kita butuh support system dari keluarga dan doa," tutur Tiurma.
5. Simulasi Sunat
Berbagai persiapan dilakukan Tiurma dan keluarga agar putranya siap melakukan sunat. Memiliki kondisi autisme tidak menyurutkan semangat keluarga mereka agar anak sulungnya itu mau disunat. Diakuinya, proses persiapan sunat pada anaknya berlangsung selama 2-3 minggu.
"Waktu itu kita solusinya melakukan simulasi. Selama dua minggu tiap hari kita ajari abang tidur diam, pakai timer, boleh baca buku, buka YouTube, tapi jangan gerak. Kan abang punya dua adik, jadi tim hore pas simulasi. Selalu dilakukan berulang dan sampai hari H," ujar Tiurma.
ADVERTISEMENT
6. Bawa Barang Kesukaan untuk Hiburan
Ilustrasi sunat. Foto: Irfan Adi Saputra
Agar proses sunat berjalan lancar saat hari H, orang tua perlu membangun suasana nyaman sebelum pergi ke lokasi tempat penyunatan. Selain membawa celana sunat dan sarung, Anda bisa membawa buku cerita dan makanan favorit anak, seperti yang dilakukan Tiurma.
"Dokternya suportif, untungnya abang mungkin sudah disiapkan jadi dia kooperatif pas tindakan. Tapi balik lagi namanya suntikan tetap aja dia kaget, sakit kan. Sekitar 15-20 menit selesai, itu dia enggak rewel saat tindakan. Lucu juga dokter ketawa, buat nenangin dibacakan cerita dan boleh buka gadget. Paling nanya mulu sudah selesai belum," cerita Tiurma.
7. Perawatan Pascasunat
Mempersiapkan perawatan usai proses sunat juga tak kalah penting, Moms. Setelah obat bius mulai hilang, Tiurma mengungkapkan anaknya terlihat rewel dan terus merasa kesakitan. Karena tidak tega dengan kondisinya, ia bahkan sempat menyesal karena dirinya kurang persiapan secara mental sehingga ikut merasa bersalah.
ADVERTISEMENT
"Tantangan paling besar pas ngasih obat, sampai saya pikir harus saya yang melakukan. Mulai bujuk sampai sedikit berantem. Untungnya sembuhnya juga oke. Tapi memang harus pelan-pelan, menghela napas, sabar. Soalnya saya lihat, anak itu kan nempel sama kita. Kita cemas, dia cemas. Gimana bisa tenang kalau dia kesakitan. Untungnya abang bisa dihibur, adiknya diajarkan juga jangan bikin kesal," tutup Tiurma.