Satu Tahun Pembelajaran Jarak Jauh untuk Anak, Apa Saja Evaluasinya?

16 Maret 2021 21:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak balita belajar di rumah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak balita belajar di rumah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Satu tahun sudah aktivitas kita menjadi serba terbatas karena pandemi virus corona. Di Indonesia, dampaknya pun terjadi dalam skala besar, termasuk pada pemenuhan hak–hak dan pendidikan anak.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, lebih dari 600 ribu sekolah harus tutup akibat pandemi. Hal itu menyebabkan sekitar 60 juta anak harus menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah. Meski ada beberapa sekolah di zona tertentu yang diperbolehkan dibuka dengan memenuhi berbagai persyaratan dan protokol kesehatan, namun sebagian besar anak masih harus belajar dari rumah, baik secara daring maupun luring.
Sayangnya, banyak anak yang tidak mampu belajar daring. Hal ini menimbulkan beberapa implikasi terhadap pendidikan di Indonesia. Mulai dari menurunnya motivasi belajar dan kembali ke sekolah, menurunnya kemampuan literasi dan numerasi, dan ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja dan atau menikah dini.
Lebih jauh lagi, anak bisa kehilangan pembelajaran yang dapat mengurangi kesempatan mengakses pendidikan tinggi dan pekerjaan, serta menghasilkan pendapatan di masa depan.
ADVERTISEMENT

Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh untuk Anak

ibu menemani anak belajar Foto: Shutterstock
Studi Global Save The Children Juli 2020 di 46 negara khususnya Indonesia, mengindikasikan terdapat 8 dari 10 anak tidak dapat mengakses bahan pembelajaran yang memadai dan 4 dari 10 anak kesulitan memahami pekerjaan rumah, dan fakta bahwa minimal 1 persen anak tidak belajar apa pun selama PJJ.
Ya Moms, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh anak, guru dan orang tua selama PJJ. Seperti terbatasnya materi, alat, akses terhadap pembelajaran dan pengajaran, infrastruktur yang tidak merata (akses internet, jalan, bahkan listrik), keterampilan guru untuk melakukan PJJ, kapasitas orang tua mendampingi anak belajar, serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri.
“Teman–teman saya yang tinggal di desa, susah untuk mendapat sinyal. Dan banyak dari mereka juga yang tidak punya handphone. Jadi kadang sama sekali tidak belajar atau susah dapat informasi dari ibu guru padahal mereka sangat ingin belajar,” kata Stella (15) asal Nusa Tenggara Timur - perwakilan Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tantangan terbesar juga adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk anak. Studi Global Save the Children menemukan bahwa dua pertiga atau 63 persen anak perempuan lebih banyak dibebani tugas rumah dibandingkan anak laki–laki.
Hal tersebut juga relevan dengan pengakuan 23 persen orang tua yang mengasuh dalam kondisi tertekan karena situasi pandemi. Bahkan, 1 dari 8 orang tua menyatakan telah terjadi kekerasan di rumahnya.
Ilustrasi ibu dan anak sedang belajar dari rumah. Foto: Shutterstock
Untuk mengatasi hal itu, Save The Children Indonesia memaparkan pentingnya kemampuan resiliensi serta inovasi dalam proses pembelajaran dan pengajaran dalam sektor pendidikan. Ya, pendidikan untuk anak harus bisa memastikan mereka dapat tetap belajar tanpa dibatasi sekat ruang kelas melalui model hybrid learning, yakni penggabungan model belajar tatap muka, mandiri menggunakan komputer, maupun secara virtual atau daring.
ADVERTISEMENT
Nah Moms, bagaimana menurut Anda? Apa saja evaluasi pembelajaran jarak jauh selama satu tahun terakhir?