Survei Nasional: 32% Perempuan di Indonesia Mau Dipukul Suami

7 Februari 2022 9:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Oki Setiana Dewi. Foto: Munady
zoom-in-whitePerbesar
Oki Setiana Dewi. Foto: Munady
ADVERTISEMENT
Artis yang juga dikenal sebagai seorang ustazah, Oki Setiana Dewi, tengah menjadi sorotan. Penyebabnya, beredar video cuplikan ceramah Oki yang oleh banyak pihak dianggap memberi pesan yang salah terkait KDRT. Perempuan yang membintangi film Ketika Cinta Bertasbih ini pun dihujani banyak komentar dan kritikan.
ADVERTISEMENT
Namun tidak sedikit juga yang membela kakak dari Ria Ricis ini. Mereka yang membela, menilai cerita dalam ceramah Oki tentang seorang istri yang diam saja setelah dipukul oleh suami sebagai contoh relasi dalam rumah tangga yang baik.
kumparanMOM pun menghubungi Valentina Gintings, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA untuk memberi pandangan mengenai hal ini.
"Jadi kalau dari pengalaman kami mendampingi, memang masih banyak pemahaman yang keliru terkait agama dalam pernikahan, berumah tangga," tukas Valentina pada Sabtu (5/2).
Ia menyebut, masyarakat saat ini banyak membaca atau mencari referensi tapi yang kemudian menjadi masalah adalah ketika referensinya itu tidak benar namun dijadikan rujukan dalam membina keluarga.
ADVERTISEMENT
"Salam paham tentang bagaimana peran suami di dalam rumah tangga, bagaimana peran istri, juga peran anggota keluarga lainnya. Relasi yang seharusnya dibangun itu seharusnya ada rasa saling percaya, ketergantungan saling melindungi. Ini yang perlu diberikan pengetahuan ke masyarakat, ya, jadi PR kita semua," papar Valentina.
Dari sini lah menurut Valentina, KDRT rentan timbul. Ia juga menegaskan, KDRT merupakan masalah yang serius di Indonesia.
"Data SDKI misalnya, saat responden ditanya apakah mau dipukul oleh suami karena satu alasan atau kesalahan, 35% menjawab mau," ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA ini dengan nada prihatin.

SDKI 2017: Sebanyak 32% Wanita Mau Dipukul Suami

SDKI 2017: Sebanyak 32% Wanita Mau Dipukul Suami. Foto: fizkes/Shutterstock
Data yang dimaksud oleh Valentina tersebut di atas adalah Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) yang dilakukan secara nasional setiap lima tahun sekali oleh BKKBN. Untuk mengetahui sejauh mana kekerasan dalam rumah tangga dapat diterima, dikumpulkan informasi tentang sikap perempuan dan laki-laki terhadap pemukulan istri dalam keadaan atau alasan tertentu.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, responden (wanita usia 15-49 tahun) ditanya apakah mereka setuju bahwa suami dibenarkan memukul atau memukuli istrinya di bawah masing-masing dari lima keadaan berikut:
Jika responden menjawab ya setidaknya dalam satu keadaan, mereka dianggap memiliki sikap yang membenarkan pemukulan terhadap istri.
Hasilnya pada SDKI 2012, 35% wanita setuju bahwa seorang suami dibenarkan memukul istrinya setidaknya dalam satu dari lima keadaan tersebut di atas. Sementara pada SDKI 2017, trennya menurun namun hanya sedikit yaitu jadi 32%.
Tak hanya itu, ada juga survei yang menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan .
ADVERTISEMENT

SPHPN: 1 dari 4 Perempuan Pernah Alami Kekerasan, 73 % dalam Rumah Tangga

SPHPN: 1 dari 4 Perempuan Pernah Alami Kekerasan Foto: otnaydur/Shutterstock
"Juga ada, di Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, itu ketika kami bertanya pada perempuan, responden, 1 dari 4 mereka mengatakan mereka pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan. Ini survei nasional di 33 provinsi dengan responden puluhan ribu, sangat tangible dan kami bekerja sama dengan BPS," Valentina menyampaikan.
Valentina kemudian merinci, "Kami tanya, jenis kekerasan apa yang pernah dialami? Kebanyakan responden menjawab kekerasan fisik. Lalu ditanya, di mana kekerasan tersebut terjadi? Kebanyakan menjawab di rumah tangga. Ini sekitar 73 persen."
Karena itu, menurut Valentina, KemenPPPA terus gencar memberikan pemahaman dan mendorong agar korban KDRT mau bicara. Antara lain dengan menghubungi layanan pendampingan yang tersedia di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
"(Korban yang melapor) akan didampingi, apa saja kebutuhannya baik fisik maupun non fisik. Termasuk bila perlu proses hukum, perlu psikolog untuk korban atau keluarganya, anaknya perlu psikolog anak, tidak usah khawatir, itu gratis karena kita ada anggarannya," tambah Valentina.
Ia menambahkan korban juga dapat memilih untuk melapor ke kantor polisi terdekat maupun menghubungi SAPA 129 (021-129) dan hotline 081111129129 sebagai layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak dari KemenPPPA yang dapat diakses oleh semua kalangan di seluruh Indonesia.
"Bila butuh bantuan segera, misalnya terancam, merasa bahaya, juga bisa menghubungi ke sana. Tim kami akan datang!" tutupnya.