Waspada Moms, 8 Bayi dari 1.000 Kelahiran Hidup Punya Penyakit Jantung Bawaan

29 September 2022 13:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Menjaga Kesehatan Jantung Anak. Foto: GOLFX/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Menjaga Kesehatan Jantung Anak. Foto: GOLFX/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 29 September diperingati sebagai Hari Jantung Sedunia. Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat sekitar 17,9 juta kematian di setiap tahunnya yang disebabkan oleh penyakit jantung. Kondisi ini membuat penyakit jantung dan masalah kardiovaskular masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan tren peningkatan penyakit jantung, yakni 25,8 persen di tahun 2013 menjadi 34,1 persen di tahun 2018. Penyakit jantung sendiri rentan dialami oleh siapa saja tanpa memandang usia maupun gender.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), menyebut angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) di Indonesia adalah 8 bayi untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta, dan angka kelahiran 2 persen, maka jumlah penderita PJB di Indonesia bertambah 32.000 bayi setiap tahun. Data Global Burden of Disease Study 2017 menunjukkan sebanyak 80.928 bayi yang lahir dengan PJB setiap tahunnya di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, seperempat bayi di antaranya menderita penyakit jantung bawaan kritis yang membutuhkan intervensi berbasis bedah dalam satu tahun pertama.
8 Bayi dari 1.000 Kelahiran Hidup Punya Penyakit Jantung Bawaan. Foto: Shutterstock
“Ini masalah besar. Kalau dikatakan penyakit jantung itu penyakit orang tua atau monopoli satu gender tertentu itu tidak. Saya kira ini hampir merata, kalau ditanya bayi baru lahir pun bisa menderita penyakit jantung tergantung klasifikasi dari penyakit jantungnya,” ungkap Raditro dalam 'Talkshow Jantung Sehat untuk Semua' beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
ADVERTISEMENT
Ya Moms, ada sejumlah faktor risiko bayi lahir dengan penyakit jantung bawaan. Menurut dr. Radityo, beberapa penyebabnya mulai dari ibu yang mengonsumsi antibiotik saat hamil, hamil di usia tua, paparan asap rokok dan minuman alkohol yang dikonsumsi ibunya, hingga terjadinya infeksi, terutama pada trimester pertama.
Lantas, apa yang bisa orang tua lakukan untuk mencegah bayi terkena penyakit jantung bawaan? Sebenarnya faktor-faktor risiko ini dapat dideteksi melalui skrining premarital. Oleh karena itu, Radityo menekankan pentingnya pemeriksaan ini, termasuk demi mendeteksi adanya kelainan metabolik orang tua. Selama kehamilan, calon ibu dapat menjalani pemeriksaan ultrasonografi terhadap jantung janin atau fetal echo. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 18-22 minggu.
Berikutnya skrining pada bayi baru lahir bila seandainya tidak terlihat tanda-tanda janin mengalami penyakit jantung bawaan saat dalam kandungan.
Ilustrasi bayi diperiksa jantungnya. Foto: Simplylove/Shutterstock
"Caranya, menilai kadar oksigen atau saturasi pada tangan kanan dan kaki. Kemudian, lihat biasanya bayi baru lahir dengan menangis, tetapi kalau bayinya lahir tidak menangis, tampak kebiruan ini kita harus curiga apakah ini menderita penyakit jantung bawaan," jelas dr. Radityo.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, gejala penyakit jantung bawaan tergantung dari usianya. Misalnya pada bayi baru lahir yang terkait aktivitasnya menyusu.
"Kalau bayi baru lahir seputar aktivitas dalam menyusu seperti terputus-putus, berkeringat, sedikit-sedikit muntah. Kita harus curiga apakah ini bermasalah," kata Radityo.
Pada balita prasekolah, dapat terlihat dari keterbatasannya beraktivitas. Radityo mencontohkan, orang tua dapat melihat apakah anak tak melakukan aktivitas seperti anak-anak usia sebayanya seperti berlarian. Jika menemukan hal ini, maka perlu curiga ada masalah pada anak.
"Kalau remaja bisa ditanya apakah ada sesak, nyeri dada, gangguan pada aktivitas, kalau tidur malam berapa bantal," ujar Radityo.
Sedangkan anak-anak yang sering masuk rumah sakit dengan pneumonia atau infeksi saluran napas bawah, perlu dicurigai menderita penyakit jantung bawaan.
ADVERTISEMENT

Mencegah Penyakit Jantung Lebih Baik daripada Mengobati

Ilustrasi penyakit jantung. Foto: Thinkstock
Penyakit jantung di Indonesia menjadi beban biaya terbesar. Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada 2021 pembiayaan kesehatan terbesar berasal dari penyakit jantung sebesar Rp7,7 triliun.
Maka dari itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Eva Susanti, S.Kp, M.Kes, mengungkapkan pemerintah berupaya mengatasi persoalan ini dengan memperkuat layanan primer. Mulai dari edukasi hingga meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pelayanan kesehatan.
Menurut dr. Eva, edukasi penduduk sendiri dilakukan melalui 7 kampanye utama, antara lain imunisasi, gizi seimbang, olah raga, anti rokok, sanitasi dan kebersihan lingkungan, skrining penyakit, dan kepatuhan pengobatan. Kemudian pencegahan primer dilakukan dengan penambahan imunisasi rutin pada bayi dan balita menjadi 14 antigen dan perluasan cakupan di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Pada pencegahan sekunder dilakukan skrining 14 penyakit penyebab kematian tertinggi di tiap sasaran usia, skrining stunting dan peningkatan ANC untuk kesehatan ibu dan bayi,” ungkap Eva.
Terkait meningkatkan kapasitas dan kapabilitas layanan primer dilakukan melalui pembangunan Puskesmas di 171 kecamatan, penyediaan 40 obat esensial, dan pemenuhan SDM kesehatan primer.
Ilustrasi wanita berhenti merokok. Foto: 9nong/Shutterstock
Di sisi lain, dr Eva juga meminta pemerintah daerah melindungi anak-anak dari rokok, dengan memperketat pengawasan serta penerapan kawasan tanpa rokok di daerah masing-masing. Sebab, tembakau dalam rokok mengandung berbagai zat yang berpotensi merusak sistem tubuh, sehingga menyebabkan penyakit jantung dan gangguan kesehatan lainnya.
Sebab, data Kemenkes menunjukkan saat ini anak-anak berusia 10-18 tahun sudah begitu mudah mengakses rokok, terutama membelinya secara batangan. Sayangnya pada kelompok usia anak tersebut juga diikuti dengan meningkatnya prevalensi masyarakat Indonesia menggunakan rokok elektrik atau vape, yang kini hampir menyentuh angka 200 persen.
ADVERTISEMENT
Makanya, penting untuk fokus pada kawasan tanpa rokok mengurangi ruang bagi perokok untuk merokok. Di dalam rumah tangga misalnya, rokok menjadi pengeluaran tertinggi setelah beras dan dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Rokok bahkan menghabiskan 30 persen anggaran rumah tangga yang seharusnya menjadi dana yang digunakan untuk meningkatkan asupan gizi anak agar terhindar dari stunting atau kekerdilan.