1.085 Orang di Bali Depresi, 125 Bunuh Diri karena Diduga Terdampak COVID-19

26 Maret 2022 13:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi depresi. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi depresi. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Lisa Helpline mencatat ada sekitar 1.085 warga Bali yang meminta pelayanan terapis secara online selama tahun 2021. Mereka diduga depresi salah satunya karena terimbas pandemi COVID-19. Lisa Helpline adalah layanan dukungan psikologi gratis.
ADVERTISEMENT
"Kami menerima dari 1.085 orang untuk terapi (melalui layanan psikolog gratis) di Lisa Hotline karena mengalami gangguan jiwa atau depresi tahun 2021, atau saat pandemi (COVID-19)," kata salah satu dokter Lisa Helpline Bali, dr I Gusti Rai Wiguna SpKJ kepada wartawan, Sabtu (26/3).
Wiguna yang juga Ketua Yayasan Bali Bersama Bisa bahkan mencatat ada sekitar 125 orang yang bunuh diri selama tahun 2021. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 2020 yang mencapai 64 orang.
"Data resmi dari kepolisian 2020 itu 64 orang yang complete suicide, artinya bunuh diri sampai meninggal. Di tahun 2021 menjadi 125 itu kan hampir dua kali lipat," kata dia.
Wiguna menuturkan, pada tahun 2021, Yayasan Bali Bersama mencatat ada 7 orang Warga Negara Asing (WNA) dari Prancis hingga Amerika yang meminta layanan psikolog. Mereka mengalami bipolar dan terlunta-lunta akibat pandemi COVID-19 di Bali.
ADVERTISEMENT
"Angka percobaan bunuh diri sendiri pasti jauh lebih besar. Kalau yang percobaan bunuh diri datanya tertutupi karena BPJS tidak menanggung percobaan bunuh diri sehingga ya biasanya orang yang datang ke UGD dikatakan kecelakaan," kata dia.
Wiguna menjelaskan, penyebab bunuh diri dan depresi ini biasanya dipengaruhi faktor eksternal yang ada di luar wilayah seperti keluarga. Dan faktor internal seperti kemampuan diri dalam menghadapi masalah.
"Sebenarnya enggak ada faktor tunggal. Kalau lansia biasanya penyakit kronis. Jadi walaupun BPJS menanggung secara fisik tapi rupanya layanan kesehatan jiwanya yang belum diperhatikan. Cuci darah tapi tetap depresi dan meninggalnya bunuh diri," kata dia.
"Kalau usia produktif misalnya adalah masalah ekonomi dan keluarga. perceraian dan perselingkuhan kan meningkat selama pandemi. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," kata dia.
ADVERTISEMENT
Wiguna membagikan beberapa tips pencegahan agar korban terhindari dari aksi bunuh diri. Dari sisi internal adalah dengan mengenali perubahan psikis diri.
"Mulai terbuka pada orang sekitar sampaikan apa yang kita rasakan. Kalau butuh bantuan sampaikan. Minta. Kalau punya BPJS ada baiknya memeriksakan diri enggak mesti gangguan," kata dia.
Dari sisi eksternal misalnya pentingnya bagi keluarga untuk menerima dan tidak menghakimi pasien. Keluarga ikut memenuhi kebutuhan korban.
"Tipsnya buat keluarga penting sekali adalah untuk mendengarkan, jangan buru-buru untuk menghakimi, menasihati. Lebih banyak mendengarkan dan menawarkan apa yang bisa dibantu," kata dia.