1 dari 10 Warga di Korut Jadi Budak, Bagaimana di Indonesia?

20 Juli 2018 14:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Korut di stasiun kereta bawah tanah. (Foto: REUTERS/Damir Sagolj)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Korut di stasiun kereta bawah tanah. (Foto: REUTERS/Damir Sagolj)
ADVERTISEMENT
Perbudakan ternyata masih ada di era modern sekarang ini. Walau secara praktik berbeda dengan di masa lampau, namun tetap saja merupakan pembelengguan manusia terhadap manusia lainnya. Dan yang terparah melakukannya adalah Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Walk Free Foundation pada Kamis (20/7) merilis laporan terbaru mereka soal angka perbudakan di seluruh dunia bertajuk The Global Slavery Index. Per 2016, menurut laporan tersebut, ada 40,3 juta orang yang jadi korban perbudakan modern di seluruh dunia.
Korea Utara menempati ranking pertama dari 136 negara. Diperkirakan di antara 25,2 juta populasinya, 2,6 juta adalah budak. Artinya, satu dari 10 orang di Korut adalah budak.
Perbudakan modern dilakukan dengan ancaman, kekerasan, atau penipuan oleh manusia untuk menguasai manusia lainnya agar mereka mau mengerjakan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak. Biasanya perbudakan ini terjadi di sektor pertambangan batu bara, perkebunan kakao, kapas, penebangan kayu, atau perikanan.
Suasana kota Pyongyang, Korea Utara (Foto: North Korea's Korean Central News Agency via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana kota Pyongyang, Korea Utara (Foto: North Korea's Korean Central News Agency via Reuters)
Di Korea Utara, praktik ini paling banyak terjadi di sektor pertambangan batu bara. Negara yang dipimpin Kim Jong-un ini kaya akan batu bara dengan perkiraan cadangan mencapai 4,5 miliar ton. Namun perdagangannya sulit akibat sanksi dan embargo.
ADVERTISEMENT
Salah satu bekas budak Korut adalah Yeon-mi Park yang diperdagangkan ke China dan dikawin paksa, sebelum akhirnya kabur dan membelot ke Amerika Serikat.
"Indeks ini membuat kami jadi perhatian," kata dia, berbicara di markas PBB di New York, Amerika Serikat, seperti dikutip Associated Press.
"Lebih dari 40 juta orang, itu bukan hanya angka. Itu bisa siapa saja. Itu adalah saya. Itu ibu saya. Itu adik saya," kata Park yang kini kuliah di Colombia University. "Bahkan saat ini, ada 300 ribu pembelot Korut di China, dan 90 persen diperdagangkan. Mereka dijual oleh pria China untuk harga beberapa ratus dolar."
Berada di urutan setelah Korut sebagai negara yang terbanyak memperbudak warganya adalah Eritrea, Burundi, Republik Afrika Tengah, Afghanistan, Mauritania, Sudan Selatan, Pakistan, Kamboja dan Iran.
ADVERTISEMENT
"Rezim yang represif adalah yang paling mengkhawatirkan karena rakyatnya dipaksa bekerja untuk menyokong pemerintah," ujar laporan tersebut.
Kim Jong Un (Foto: KCNA/via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Kim Jong Un (Foto: KCNA/via REUTERS)
Lantas, di mana posisi Indonesia?
Berdasarkan catatan indeks perbudakan global tersebut, Indonesia menempati posisi ke-74 dari 167 negara dan posisi ke-17 dari 28 negara Asia. Saat ini diperkirakan ada 1.220.000 orang yang menjadi budak modern di Indonesia.
Menurut catatan dalam indeks, perbudakan banyak terjadi di sektor perikanan di Indonesia.
"Pemerintah Thailand dan Indonesia khususnya telah mengambil langkah merespons isu ini, tapi masih banyak yang harus dilakukan untuk mengurangi kekerasan yang terjadi di industri perikanan," tulis laporan tersebut.
Laporan ini juga menunjukkan bahwa negara-negara maju juga bertanggung jawab atas kondisi ini. Negara-negara ini diduga mengimpor USD 350 miliar barang dari produsen-produsen yang diduga melakukan perbudakan, menumbuhsuburkan praktik ini.
ADVERTISEMENT
Negara maju diminta turut andil karena perekonomian mereka juga terancam. Pasalnya, barang-barang yang dihasilkan dari perbudakan harganya jauh lebih murah sehingga akan menang bersaing dengan produk serupa dari negara lain.
"Dengan mengungkap aliran perdagangan dan fokus pada produk yang berisiko hasil perbudakan modern yang diimpor oleh negara ekonomi besar, jelas menunjukkan bahwa negara-negara kaya juga punya tanggung jawab," tulis laporan tersebut.