122 Lembaga Desak Polda DIY: Setop Kriminalisasi Terhadap Advokat LBH Yogya

25 Juli 2024 16:13 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebanyak 122 organisasi dan lembaga HAM yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kriminalisasi Terhadap Advokat Pendamping Korban, mengkritik dan mengecam dugaan kriminalisasi terhadap Meila Nur Fajriah.
ADVERTISEMENT
Advokat dari LBH Yogyakarta tersebut menjadi tersangka untuk dugaan pencemaran nama baik. Meila sendiri dilaporkan alumni UII berinisial IM. Meila dahulu adalah pengacara sejumlah mahasiswi yang mengaku sebagai korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan IM.
Sejumlah aktivis dari sejumlah lembaga hukum dan HAM memberikan pendapatnya terkait kasus tersebut;
Julian Duwi Prasetia, Ketua YLBHI Yogyakarta
Julian Duwi Prasetia dilantik menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta tahun 2022-2026. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Julian sendiri ikut menangani kasus dugaan kekerasan seksual yang puluhan mahasiswi UII tersebut. Saat kasus itu berembus, Indonesia sedang mengalami pandemi COVID-19. Dengan segala keterbatasan, mereka memfasilitasi laporan dari para penyintas.
"Dan masih belum ada kebijakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum dilegalisasi negara. Kasus ini terjadi di tahun 2020, di mana saat itu pemerintah tidak hadir dalam memenuhi hak-hak perempuan," ujar Julian dalam jumpa pers di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (24/7).
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, para korban tidak ingin melakukan tindakan hukum, namun memiliki sejumlah tuntutan, seperti tak memberikan ruang publik ke pelaku.
"Kemudian kasus ini naik salah satunya pelaku kemudian melakukan upaya hukum di PTUN Yogya yang akibat perbuatannya kemudian dicabut gelarnya sebagai mahasiswa berprestasinya di UII dan menggugat sk rektor ini. Kemudian putusan PTUN ini tidak menerima pembatalan SK rektor ini. Artinya, SK rektor yang mencabut mahasiswa berprestasi itu masih sah sampai saat ini," jelas Julian.
Namun setelah itu, IM melaporkan Meila Julian, serta Dwi Rahayu, ke Polda DIY atas dugaan pencemaran nama baik. Polda DIY sendiri sudah bertanya, mengenai apakah benar ada korban kekerasan seksual di kasus ini, dan LBH Yogya sudah memberikan jawaban.
ADVERTISEMENT
"Polda DIY menanyakan, apakah benar ada korban kekerasan seksual? kami sudah menjawab itu. Tapi kalau diminta identitas, ini tantangan kami karena kami tidak bisa serta merta memberikan karena ini kerahasiaan klien, kerahasiaan data korban," jelas Julian.
"Jadi sampai detik ini kalau ditanya apakah data itu sudah sampai ke Polda DIY, sampai saat ini belum. Karena prinsipnya data-data korban ini harus kami jaga kerahasiaannya. Selama belum ada persetujuan korban, kami tidak bisa menyampaikan," sambungnya.
Ia mengatakan, dokumen atau konten yang diunggah dan menjadi objek laporan IM, yang dilakukan Meila bukanlah tindakan pribadi, namun keputusan lembaga.
"Dalam hal ini waktu itu memang Meila sebagai penanggung jawab kasus, tapi dia tidak sendiri, ada tim. Jadi kalau kita cek konten YouTube konferensi pers update penanganan kasus kekerasan seksual ini, Meila sudah menyampaikan dia hanya membacakan surat siaran pers yang dikeluarkan LBH Yogya," kata Julian.
ADVERTISEMENT
Ia menganggap penetapan tersangka terhadap Meila bukanlah serangan terhadap Meila secara pribadi, melainkan sebagai LBH Yogya sebagai lembaga yang concern terhadap pendampingan isu-isu perempuan dan serangan terhadap pembela hak-hak kemanusiaan yang kemudian mencoba memberikan perlindungan pada korban.
Telepon Intimidasi dari Orang Tak Dikenal
Perwakilan UII Bergerak yang enggan disebutkan identitasnya mengaku, selama penanganan kasus kekerasan seksual di UII ini, menerima banyak intimidasi berupa teror dari orang tak dikenal.
"Waktu itu kami menerima beberapa laporan, pertama di WhatsApp pribadi, kemudian email pribadi. Karena waktu itu kami buka grup solidaritas yang mendukung penyintas dan beberapa dari mereka adalah fans-fans pelaku. Saya sendiri beberapa kali menerima telepon tak dikenal yang mengintimidasi," ungkapnya.
Fasya, merupakan pendamping seorang penyintas. Pada 29 April 2020 ia mengunggah kronologi kasus tersebut yang kemudian viral. Saat itu ia menerima banyak komentar dan DM (Direct Message) dari para korban lain dan berterima kasih karena berani bersuara.
ADVERTISEMENT
"Banyak yang berkomentar dan DM, berterima kasih karena sudah speak up, karena sudah banyak yang tahu cerita ini. ini merupakan "public secret. IM ini kelakuannya seperti itu tapi nggak banyak yang cerita karena imej nya yang islami," ucapnya.
Namun beberapa minggu setelah postingannya viral, Fasya menerima semakin banyak DM dari para perempuan yang menjadi penyintas.
"Dan mereka cerita narasi yang cukup panjang dan mengirimkan screenshoot. Awalnya mereka cuma ingin curhat, tapi saya nanya apakah mbak-mbak ini mau melanjutkan aduan ini ke LBH, dan mereka minta tolong untuk mengadukan ke LBH. Jadi ini (laporan ke LBH) beberapa (penyintas), jadi tidak semua yang setuju, ada beberapa saja. Aduan mereka saya ajukan ke LBH, sehingga data yang saya punya diintegrasikan dengan data dari LBH dan UII Bergerak," ungkapnya.
Nursyahbani Katjasungkana. Foto: Subhan Ikhsan/kumparan
Nursyahbani Katjsungkana sebagai Ketua Pembina YLBHI dan ketua pengurus LBH APIK, mengutuk keras sikap polisi terhadap para pembela HAM, khususnya dalam kasus Meila.
ADVERTISEMENT
"Ini bukan yang pertama kali kriminalisasi terhadap para pekerja bantuan hukum dan human rights defender. Bulan lalu kita juga mengadakan konferensi pers terhadap kriminalisasi terhadap LBH Padang dalam kasus lain," kata dia.
Ia mengakui ada penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun tak signifikan. Menurutnya ini hanya puncak gunung es dari kasus-kasus yang ada, yang semakin hari semakin brutal.
Ia merasa perlunya memperjuangkan UU terhadap pekerja HAM, sebagaimana deklarasi PBB terkait HAM yang sudah disahkan sejak 1998.
Ia juga meminta Kapolri untuk mengingatkan kepolisian di seluruh Indonesia agar meningkatkan sensitivitas gender terhadap kasus pelecehan seksual, dan menghentikan segala kriminalisasi terhadap pekerja bantuan hukum dan pekerja HAM pada umumnya.
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Maulana Saputra/kumparan
Ika Agustina, Direktur Eksekutif Kalyanamitra, juga mengecam kriminalisasi terhadap Meila. Ia menilai, situasi ini menunjukkan bahwa perempuan pembela HAM masih menghadapi ancaman kriminalisasi dan intimidasi saat penanganan kasus dan saat mendampingi korban.
ADVERTISEMENT
"Kami mendesak Polda DIY mengacu pada implementasi UU TPKS ini, melindungi korban dan pendampingnya, bukan mengkriminalisasi. Kami menyesalkan tindakan Polda DIY. Kalyanamitra mendesak hentikan proses hukum terhadap Meila, dan kami berdiri dengan meila," tegasnya.
Ika Ayu, aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta juga mengutuk keras dijatuhkannya status tersangka terhadap Meila. Ia mengakui, pihaknya punya sejarah panjang dengan Polda DIY terhadap penanganan kasus.
"Ini bukan kali pertama Polda DIY tidak menempatkan perspektifnya kepada korban, jelas Ika.
Desak Polda DIY Hentikan Penyidikan Kasus Meila
Muhammad Isnur YLBHI Foto: Muhammad Rizki/kumparan
Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, mengapresiasi pernyataan tegas sejumlah lembaga hukum dan organisasi HAM dalam kasus ini. Ia mengucapkan terima kasih karena telah mengirimkan desakan ke Polda DIY, sehingga hal ini menjadi pintu masuk bagi Kapolda DIY dan Kapolri untuk menimbang ulang penyidikan kasus Meila, yang tak memenuhi aspek keadilan, namun ancaman.
ADVERTISEMENT
"Karena Meila adalah advokat, Meila adalah bagian dari penyintas korban memenuhi keadilan. Kriminalisasi terhadap pendamping korban menihilkan upaya negara dan ancaman nyata terhadap penegakan hukum itu sendiri," kata dia.
Ia juga mengajak teman-teman gerakan masyarakat sipil, organisasi HAM, dan yang memiliki keberpihakan terhadap isu HAM, gender, dan perempuan, untuk mengirimkan surat desakan ke penyidik Ditreskrimsus Polda DIY yang ditembuskan ke Kejaksaan dan Kapolri.
Terhitung sampai hari ini sudah ada 47 organisasi yang telah mengirimkan surat desakan dan semoga ke depannya lebih banyak.
"Kita mendesak Polda DIY untuk menghentikan penyidikannya. karena ini menjadi ancaman bagi kita semua," tegasnya.
Di akhir, mereka membacakan pernyataan sikap yang ditandatangani 122 organisasi yang mendukung dan berdiri bersama Meila.
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
Berikut isinya:
ADVERTISEMENT
Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil
Kriminalisasi terhadap advokat pendamping korban kekerasan seksual adalah bentuk kelemahan komitmen penghapusan kekerasan seksual di indonesia.
Senin 24 Juni 2024 Polda DIY menetapkan Meila sebagai tersangka terhadap pendampingannya terhadap kasus kekerasan seksual di Yogyakarta. Sebagai pengacara LBH Yogya, Meila telah membela 30 korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, mantan pelajar sekaligus mahasiswa berprestasi UII.
Sebelumnya UII telah melakukan penindakan dengan membentuk tim pencari fakta dengan meminta keterangan kepada penyintas dan pendamping psikologis. Pencarian tersebut menemukan 11 korban pelecehan seksual IM mengingat bahwa tidak semua korban mau menyampaikan kesaksiannya karena malu, takut, cemas, hingga stres.
Kesebelas pengakuan tersebut menjadi dasar UII mencabut gelar mahasiswa berprestasi tahun 2016 yang disematkan kepada IM. Pencabutan tersebut digugat IM ke PTUN, namun PTUN menolak gugatan yang diajukan dengan nomor hasil putusan 17/G/2020/PTUN.YK.
ADVERTISEMENT
Ditolak ke PTUN, IM melaporkan Meila ke Polda DIY. Laporan terhadap Mmeila oleh IM terjadi karena siaran pers yang menyebut nama lengkap IM. Alih-alih mendukung dan melindungi korban, Polda DIT malah menetapkan Meila sebagai tersangka. Penyidik mengabaikan fakta-fakta penting yang menunjukkan IM sebagai pelaku kekerasan seksual, bahka setelah ada bukti dari UII.
Kriminalisasi ini adalah bukti serius terhadap pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual. Tindakan ini mencederai hak impunitas yang dimiliki advokat pemberi bantuan hukum dan pendamping korban sesuai UU yang berlaku
Kami mendesak Kapolri untuk mengevaluasi Kapolda DIY serta meminta Kapolda DIY untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Meila.
Kami juga meminta Kompolnas, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk mengawasi dan mengevaluasi kasus ini secara menyeluruh. Kriminalisasi ini adalah langkah mundur untuk penanganan kasus kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Kami mendesak Kapolda DIY untuk menghentikan proses hukum terhadap Meila.
Kami bersama Meila, kami bersama korban, dan kami melawan segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Jakarta, 25 Juli 2024
Koalisi Lembaga Masyarakat Sipil