Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia mengikuti Sidang Rakyat untuk menggugat dan membatalkan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Sidang Rakyat itu dimulai sejak Jumat (29/5), dan berlangsung selama tiga hari.
ADVERTISEMENT
Sejak UU Minerba disahkan DPR pada 12 Mei, sejumlah organisasi menilai proses pengesahan tidak transparan dan terkesan terburu-buru. Pemerintah dan DPR juga tidak mengatur klausul hak veto bagi warga yang menolak UU tersebut.
“Banyaknya rakyat dari berbagai wilayah lingkar tambang pada sidang ini membuktikan, mereka tidak diajak bicara saat DPR mengesahkan UU Minerba itu, sehingga tidak sah dan tidak memiliki legitimasi,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah dalam keterangannya, Sabtu (30/5).
Johansyah menjelaskan, produk hukum UU Minerba tidak berangkat dari persoalan konkret dari aktivitas eksploitasi pertambangan. Seperti masih banyaknya izin tambang yang terbit di hutan lindung, menyisakan lubang tambang, memberi insentif pada energi kotor fosil, baik batu bara hingga panas bumi yang menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, pencemaran ladang, hingga sumber air bersih.
ADVERTISEMENT
“Ada 1.710 izin tambang di hutan lindung, 3.712 izin di hutan produksi, 2.200 izin di kawasan hutan produksi terbatas. (Belum lagi), 3.092 lubang tambang batu bara yang tercipta akibat ekspansi energi maut yang menyebabkan meluasnya konflik hingga banyak anak-anak meninggal dunia,” tutur dia.
Pihaknya berharap, pengesahan UU Minerba harus dibatalkan karena tidak sejalan, bahkan kontraproduktif, dengan kepentingan rakyat. Namun, justru hanya menguntungkan raksasa pertambangan batu bara yang akan habis masa berlakunya.
“Ketika memutuskan, UU Minerba lebih layak kita sebut sebagai memo jaminan keselamatan terhadap para pengusaha, bukan keselamatan rakyat,” jelasnya.
Senada dengan Johansyah, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, menganggap pengesahan UU Minerba jadi tanda kembalinya Indonesia pada pemerintahan yang otoriter. Tak hanya berdampak buruk bagi masyarakat di daratan, tetapi juga bahari.
ADVERTISEMENT
“Eksploitasi mulai beranjak dari ruang darat yang sudah habis dikeruk. Lewat UU Minerba, ancaman perampasan ruang hidup masuk ke ruang laut, landasan kontinen, pulau-pulau kecil, perairan dan pesisir. Artinya, proses ekstraksi baru telah masuk ke kehidupan masyarakat bahari,” ungkap Asfinawati.
Sementara Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, para penguasa negara seperti memberikan 'karpet merah' dan memuluskan usaha para pengusaha tambang untuk memperluas wilayah tambangnya tanpa batas.
Sidang Rakyat yang dimulai sejak Jumat kemarin secara virtual ini dihadiri lebih dari 2 ribu orang dari Sumatera hingga Papua. Setidaknya, terdapat 25 lembaga yang ikut dalam sidang kali ini yang juga dapat disaksikan masyarakat di kanal YouTube 'Bersihkan Indonesia' dan YLBHI.
ADVERTISEMENT
Ke-25 lembaga tersebut adalah Yayasan LBH Indonesia, Kanopi Bengkulu, Trend Asia, WALHI Kalimantan Selatan, JATAM, AURIGA Nusantara, ENTER Nusantara, KIARA, Sains Sajogyo Institut, 350.org Indonesia & FB Jejaring, WALHI Jabar, Greenpeace Indonesia, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, FNKSDA, WALHI, Srikandi Lestari, AEER, JATAM Kaltim, LBH Padang, WALHI Sumatera Barat, dan ICW.
Pada sidang kedua yang berlangsung hari ini hingga hari terakhir akan fokus pada penyampaian fakta-fakta yang dirasakan masyarakat terdampak pertambangan batu bara . Sidang paripurna pada Sidang Rakyat akan berlangsung hari Senin, 1 Juni 2020.
=====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.