271 Penjabat karena Tak Ada Pilkada 2022-2023 Dinilai Cederai Demokrasi

12 Februari 2021 8:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
ADVERTISEMENT
Sebanyak 271 daerah terancam dipegang penjabat (Pj) jika Pilkada tetap dilaksanakan serentak pada November 2024. Ketentuan itu diatur dalam UU Pilkada Pasal 201 ayat 9.
ADVERTISEMENT
Eks Komisioner KPU RI, Hadar Nafis Gumay, mengkritik hal tersebut. Menurutnya, penentuan 271 Pj karena kekosongan Pilkada 2022-2023 hanya akan mencederai nilai-nilai demokrasi.
"Apa ini, berpotensi abuse of power? Ya, sekarang apakah ini juga bisa mengurangi kadar demokrasi, di mana sebetulnya secara berkala pemilihan itu harus dilangsungkan secara berkala, secara berkala hak-hak politik baik dari calon dan pemilih itu juga harus diperhatikan," kata Hadar saat dihubungi, Kamis (11/2).
Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay di acara diskusi Penyerahan Petisi Tolak Dukungan Koruptor Nyaleg, di Gedung KPU RI, Jakarta, Jumat (31/08/2018). Foto: Nadia K. Putri
Menurut Hadar, warga seharusnya memiliki hak memilih pemimpin definitif. Apalagi, pemilihan bakal ditunda dalam rentang waktu yang lama.
Hadar pun mempertanyakan urgensi penunjukan 271 penjabat. Pasalnya, opsi tahun 2022 dan 2023 tetap digelar Pilkada juga masih terbuka.
"Kalau memang itu ada situasi yang mendesak betul, ya, oke saja, tetapi apa, sih, yang mendesak? Betul ini, sehingga harus ditunda terlalu lama apakah dalam rangka pilkada 2024 seperti yang sudah direncanakan oke, ya, betul, tetapi kita juga punya catatan yang tidak terlalu sulit untuk kita lihat kembali, masih di halaman depan ini catatannya, bukan di lembaran buku jauh di belakang," tutur Hadar.
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
Hadar menilai seharusnya pemilihan tetap digelar secara berkala. Sehingga, kebutuhan hak demokrasi warga tetap terwujud.
ADVERTISEMENT
Hadar pun meminta para fraksi Parpol di DPR untuk melakukan perubahan. Misalnya, lewat perbaikan di UU Pilkada.
"Dilakukan perubahan yang terbatas, gitu. Jangan kemudian ide dari presiden mau fokus ke COVID-19 dan ekonomi akhirnya semua jadi dihilangkan terbengkalai, gitu," pungkasnya.
Rencana ini disebabkan pembahasan RUU Pemilu di DPR RI terancam kandas. Beberapa partai politik koalisi Jokowi yang sempat mengusulkan revisi kini balik badan, yaitu NasDem, Golkar dan PKB. Mereka ingin Pilkada tetap diserentakkan di 34 provinsi pada 2024.
Kini, hanya PKS dan Demokrat yang ingin RUU Pemilu direvisi. Mereka mendorong agar Pilkada dinormalisasi yakni tetap digelar pada 2022 dan 2023.
Jika Pilkada digelar serentak 2024, maka dalam UU Pilkada 10/2016, mengharuskan adanya Penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan jabatan.
NETGRIT Hadar Nafis Gumay di Diskusi Polemik Pencalonan Napi Korupsi di Indonesia Corruption Watch, Kalibata Timur, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Foto: Eny Immanuel Gloria/kumparan
Berikut bunyi UU Pilkada Pasal 201 ayat 9 soal Pjs:
ADVERTISEMENT
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Berdasarkan catatan kumparan, 271 daerah itu terdiri dari 101 daerah hasil Pilkada 2017 yang habis pada 2022, salah satunya DKI Jakarta. Lalu 171 daerah hasil Pilkada 2018 yang habis 2023, di antaranya yakni Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Nantinya, 271 daerah itu akan dijabat oleh Pj sampai ada kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024.