3 Alasan MA Kabulkan PK Koruptor: Disparitas Putusan hingga Rasa Keadilan Hakim

22 Januari 2021 16:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Keberpihakan Mahkamah Agung (MA) dalam memberikan efek jera terhadap koruptor menuai sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Utamanya setelah Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun pada 2018.
ADVERTISEMENT
Sebab terpidana kasus korupsi seakan berbondong-bondong mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) dan tak jarang dikabulkan MA. Sehingga muncul anggapan PK menjadi jalan pintas bagi koruptor agar hukuman dikurangi.
Menurut catatan KPK, sejak 2019, MA sudah mengurangi hukuman penjara lebih dari 20 koruptor di tingkat PK. Salah satunya hukuman Anas Urbaningrum yang dipotong dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, mengatakan berdasarkan laporan akhir tahun 2020, hanya 8% upaya PK yang dikabulkan. Sehingga ia membantah MA tak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro saat konferensi pers tentang putusan PK Baiq Nuril. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Menurut data ada 8 persen (upaya PK) yang dikabulkan. Jadi masih ada 92 persen yang ditolak," ujar Andi Samsan dalam diskusi virtual 'PK Jangan Jadi Jalan Suaka' yang digelar KPK pada Jumat (22/1).
ADVERTISEMENT
Andi Samsan menyebut dari 8 persen upaya PK yang dikabulkan, terdapat 3 alasan yang melatarbelakangi, yakni:
1. Disparitas Putusan
Andi Samsan menyatakan, adanya disparitas putusan menjadi alasan terpidana mengajukan PK. Ia menyebut dalam suatu kasus yang melibatkan beberapa pihak, hukuman tiap terpidana berbeda meski memiliki peran yang sama. Sehingga terpidana yang hukumannya lebih berat mengajukan PK agar hukumannya dikurangi.
"(Terpidana) yang merasa dirinya lebih berat hukumannya ketimbang yang lain, itu jadi alasan PK. Terjadi diskriminasi hukum, menimbulkan ketidakadilan. Kalau ajukan PK, perkara demikian majelis PK akan pertimbangkan," ucapnya.
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Dok. KPK
2. Bukan Pelaku Utama
Alasan kedua, kata Andi Samsan, dalam beberapa perkara terpidana yang mengajukan PK merasa tak semestinya dihukum berat lantaran bukan pelaku utama.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan tersebut bisa membuat majelis mempertimbangkan untuk mengabulkan PK.
"Dalam beberapa perkara ada pemohon PK yang merasa keberatan tatkala melihat perkara yang menurut pemohon PK 'dia (terpidana lain) sebagai pelaku utama dihukum ringan, kenapa saya berat, padahal saya hanya membantu'. Keadaan seperti ini seringkali diajukan PK. Sehingga bisa jadi PK dikabulkan, diserasikan (hukuman) dengan pidana terpidana lain," kata Wakil Ketua MA Bidang Yudisial terpilih itu.
3. Independensi Hakim Berdasarkan Hati Nurani
Pertimbangan terakhir, yakni independensi hakim dalam menentukan rasa keadilan berdasarkan hati nurani. Andi Samsan menyatakan alasan independensi hakim tersebut hanya diketahui majelis yang menangani perkara.
"Rasa keadilan menentukan berat ringan pidana itu pertimbangan memerlukan suatu bekerjanya fungsi rasio hati nurani. Sehingga menghasilkan angka yang adil begini," kata Andi Samsan.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Merujuk 3 alasan tersebut, Andi Samsan menegaskan langkah MA yang mengabulkan upaya PK koruptor tentu berdasarkan hukum dan mempertimbangkan keadilan.
ADVERTISEMENT
"Bukan berarti MA tidak peduli, tutup mata pada pemberantasan korupsi. Memang tugas kami sebagai penegak hukum dan keadilan. Keadilan untuk semua, untuk korban, negara, dan terpidana. Kami menghasilkan putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, kami tidak gegabah, berdasarkan hati nurani," tutupnya.