3 Hakim MK Dissenting Opinion Nilai Perlu Ada PSU Pilpres, Daerah Mana Saja?

23 April 2024 16:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah), Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Arief Hidayat saat sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah), Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Arief Hidayat saat sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Tiga hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion terhadap putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024. Tiga hakim tersebut adalah: Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
ADVERTISEMENT
Ketiganya punya alasan yang serupa dalam mengajukan dissenting opinion, yakni menilai politisasi bansos dan penjabat kepala daerah yang tidak netral, terbukti terjadi di Pilpres 2024.
"Saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas Pj. kepala daerah dan pengerahan kepala desa," demikian dissenting opinion Saldi Isra dikutip dari situs MK pada Selasa (23/4).
Ketiganya menilai perlu ada pemungutan suara ulang (PSU) dilakukan oleh KPU. Namun demikian, lokasi PSU yang diputuskan oleh ketiga hakim tersebut berbeda-beda. Lantas, di mana saja?
Saldi Isra
Wakil Ketua Hakim Konstitusi Saldi Isra mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hakim Saldi Isra menilai PSU harus digelar di Jakarta hingga Jawa Tengah. Sebab, lokasi-lokasi tersebut dinilai terdapat masalah netralitas penjabat kepala daerah.
"Di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Adapun bentuk ketidaknetralan Pj. kepala daerah, di antaranya, berupa penggerakan ASN, pengalokasian sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, pembagian bantuan sosial atau bantuan lain kepada para pemilih dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas pasangan calon tertentu, penyelenggaraan kegiatan massal dengan mengenakan baju dan kostum yang menonjolkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu, pemasangan alat peraga kampanye (APK) di kantor-kantor pemerintah daerah, serta ajakan untuk memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah," kata Saldi Isra.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terungkap juga adanya pengerahan atau mobilisasi kepala desa antara lain seperti di Jakarta dan Jawa Tengah.
"Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," kata dia.
Enny Nurbaningsih
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Senada dengan Saldi, Enny juga menilai telah terjadi ketidaknetralan Pj kepala daerah dan politisasi bansos di sejumlah provinsi. Mulai dari Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
"Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas, maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut di atas," kata dia.
ADVERTISEMENT
Arief Hidayat
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Arief juga berpendapat PSU layak dilakukan di sejumlah provinsi karena dinilai telah terjadi politisasi bansos dan ketidaknetralan Pj kepala daerah.
"Penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2024 terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif yang melibatkan intervensi kekuasaan Presiden dengan infrastruktur politik yang berada di bawahnya untuk memenangkan pasangan calon tertentu melalui sikap dan tindakan Presiden yang tidak netral sehingga melanggar etika pemerintahan, adanya politisasi penyaluran perlinsos dan bansos, pengerahan aparat pemerintahan dalam rangka memenangkan Paslon tertentu dan diperparah dengan lemahnya pengawasan oleh Bawaslu, sehingga hal ini telah mencederai konstitusionalitas dan prinsip keadilan Pemilu (electoral justice) yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata Arief.
ADVERTISEMENT
Berikut daerah yang menurutnya perlu PSU:
1. Provinsi DKI Jakarta;
2. Provinsi Jawa Barat;
3. Provinsi Jawa Tengah;
4. Provinsi Jawa Timur;
5. Provinsi Bali;
6. Provinsi Sumatera Utara.
"Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memulihkan prinsip keadilan Pemilu (electoral justice) pada kedudukannya semula (restorative justice) dengan cara melakukan pemungutan suara ulang di beberapa wilayah yang diyakini telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif," pungkasnya.