Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
3 Skandal Kebohongan di Dunia Akademik Indonesia
25 November 2017 22:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Kasus klaim prestasi akademik kembali santer diperbincangkan dalam beberapa waktu belakangan.
ADVERTISEMENT
Yang terbaru, klaim palsu oleh mantan mahasiswa Universitas Indonesia berinisial HDS, atau kerap dipanggil dengan sebutan Krimi, santer diperbincangkan di media sosial. Adalah cuitan Fauziah Zen dalam akun Twitter-nya @fauherklots, yang kali pertama membongkar kelakuan buruk dari mahasiswanya.
Rentetan kebohongan Krimi membentang dari misteri hilangnya kertas ujian, mengaku sebagai pemenang kompetisi esai Korea Economic Outlook 2016:Student Perpective, hingga menjadi peraih Anugerah Tokoh Siswa (Mahasiswa Berprestasi Nasional) untuk International Students dan Curriculum Excellence Award pada tahun 2016/2017 di Universiti Malaya.
Dalam sekejap, apabila HDS alias Krimi menjadi bahan perbincangan di jagat maya dalam beberapa waktu terakhir --dengan hujatan mengalir, menyebutnya sebagai aksi yang memalukan.
Namun begitu, kasus Krimi ini bukanlah hal yang pertama yang terjadi di Indonesia. Apa saja kasus sebelumnya?
1. Dwi Hartanto
ADVERTISEMENT
Laki-laki yang tengah melanjutkan studi S3 di Faculty of Electrical Engineering, Mathematics and Computer Science, TU Delft, Belanda, ini juga pernah menjadi headline di berbagai media. Dwi sempat menyebut bahwa dirinya terlibat dalam penelitian teknologi roket untuk militer di bidang pertahanan dan keamanan dan satelit untuk misi ke luar angkasa.
Pada 2015, Dwi muncul di media sosial atas karyanya di dunia aeronautika, karena menciptakan Satellite Launch Vechille/SLV (Wahana Peluncur Satelit) dengan teknologi termutakhir, yang disebut The Apogee Ranger V7s (TARAV7s).
Meski terdengar amat canggih, TARAV7s diklaimnya hanya salah satu sejumlah prestasi lain. Ia juga mengklaim memiliki lima hak paten di bidang kedirgantaraan dan mengaku tengah terlibat proyek pembuatan Eurofighter Typhoon Defence.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Dwi juga mengklaim bahwa dirinya terlibat dalam penyempurnaan teknologi pesawat tempur Eurofighter Typhoon milik Airbus Defence. Pada 2016, Dwi juga menyebutkan bahwa dirinya adalah lulusan dari Tokyo Institute of Technology, Jepang.
Atas rangkaian prestasinya tersebut, Dwi mendapatkan banyak apresiasi dari masyarakat Indonesia. Undangan wawancara dengan beberapa media nasional pun berdatangan. Dalam wawancaranya, Dwi lihai menutupi kebohongan publik yang dilakukannya.
Namun, peribahasa “sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga” masih berlaku buat Dwi Hartanto. Prestasi 'semu' yang ia publikasikan terbongkar sedikit demi sedikit.
Kebohongannya terungkap setelah alumni TU Delft di Indonesia menyelidiki latar belakang Dwi Hartanto. Bahkan, alumni TU Delft di Indonesia juga mengkonfirmasi ke European Space Agency (ESA), menanyakan kebenaran kabar bahwa Dwi bekerja di sana. Seperti yang diduga, tidak ada nama Dwi Hartnto di ESA.
ADVERTISEMENT
Atas kebohongan-kebohongan yang ia lakukan, Dwi lantas diinterogasi oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Delft, PPI Belanda, dan KBRI Den Haag.
Setelah dilakukan interogasi, akhirnya Dwi mengakui kebohongannya dan meminta maaf kepada publik. Ia menuliskan surat pernyataan permintaan maafnya, mengaku khilaf telah melakukan kebohongan-kebohongan tersebut. KBRI Den Haag juga menarik kembali penghargaan terhadap capaian akademik Dwi Hartanto yang pernah diberikan kepadanya.
2. dr Taruna Ikrar
Nama Ilmuan dr Taruna Ikrar juga pernah menjadi perbincangan di jagat maya media sosial. Sejumlah penghargaan dan gelar guru besarnya di bidang kedokteran spesialis otak diragukan beberapa pihak. Taruna sendiri pernah mengklaim dirinya menjadi salah satu nominasi penerima Nobel tahun 2016 terkait penelitian optogenetics.
ADVERTISEMENT
Optogenetics sendiri adalah konstelasi optik, genetik, dan bioteknologi yang memadukan aplikasi genetik dengan optik untuk mempelajari fungsi sekelompok sel.
Selain diragukan menjadi salah satu nominasi penerimaan penghargaan Nobel, dr Taruna Ikrar juga mengklaim bahwa dirinya diangkat sebagai dekan dan profesor di Pacific Health Science University (PHSU) dan National Health University.
Adalah Aminuddin, dosen dari Universitas Hasanuddin, Makassar yang pertama kali mencurigai pencapaian dr Taruna Ikrar.
Hal itu ia tuangkan lewat sebuah tulisan dalam blog pribadinya yang berjudul Mencari Kebenaran Academic Credential dr Taruna Ikrar: Fraud Detected.
Dalam blog pribadinya, Aminuddin mengatakan bahwa seseorang yang dinominasikan menerima penghargaan Nobel tidak akan mengetehaui dirinya masuk dalam nominasi hingga 50 tahun yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Aminuddin juga menuliskan bahwa syarat mutlak untuk menjadi nominasi peraih Nobel adalah dengan cara dinominasikan dengan pemenang Nobel pada tahun sebelumnya.
3. Profesor Anak Agung Banyu Perwita
Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan (UNPAR), Profesor A.A Banyu Perwita, harus meninggalkan dunia pendidikan Indonesia dengan cap plagiator. Hal ini diakibatkan plagiarisme yang dilakukan Banyu dalam beberapa artikel.
Hal ini dimulai dengan terbitnya artikel Banyu Perwita dalam surat kabar The Jakarta Post pada 14 Juni 2009 dengan judul 'RIs defense transformation'. Ternyata, setelah ditelisik lebih dalam, tulisan tersebut merupakan hasil jiplakan karya Richard A. Bitzinger yang berjudul Defense Transformation and The Asia Pacific: Implication for Regional Millitaries.
Atas kejadian tersebut, Banyu Perwita mengundurkan diri dari jabatannya di Universitas Kristen Parahyangan Bandung.
ADVERTISEMENT
Itulah tiga sosok yang melakukan kebohongan di dunia akademik. Apakah Anda mengetahui nama lain yang pantas masuk ke dalam artikel ini? Tuliskan pendapat Anda di kolom komentar!