3 Tahun Jokowi-JK, Blok East Natuna Hingga Masela Masih Terbengkalai

27 Oktober 2017 15:45 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi eksplorasi migas di lepas pantai. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi eksplorasi migas di lepas pantai. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan bahwa ada 6 proyek migas berskala besar yang berhasil dibereskan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
ADVERTISEMENT
Keenam proyek tersebut adalah Banyu Urip, Bangka IDD, Donggi-Matindok-Senoro, Jangkrik, Madura BD, dan Tangguh Train 3.
Namun, ada 3 proyek migas berskala sangat besar yang masih terbengkalai hingga tahun ketiga pemerintahan Jokowi-JK, yaitu East Natuna, Masela, dan Indonesia Deepwater Development (IDD). Ketiga blok ini menyimpan separuh dari cadangan gas Indonesia.
Cadangan gas di Blok East Natuna mencapai 49,87 TSCF, Blok Masela 16,73 TSCF, dan IDD 2,66 TSCF. Sementara total cadangan gas Indonesia sebanyak 144,06 TSCF, terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TSCF.
Artinya, Blok East Natuna, Masela, dan IDD adalah tulang punggung produksi nasional di masa depan. Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK belum berhasil membuat terobosan untuk membuat proyek-proyek migas raksasa itu berjalan.
ADVERTISEMENT
Berikut masalah dan perkembangan terakhir di ketiga proyek migas raksasa itu, sebagaimana dirangkum kumparan (kumparan.com) dari berbagai sumber, Jumat (27/10).
Cadangan migas ditemukan di Nunukan oleh Pertamina (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Cadangan migas ditemukan di Nunukan oleh Pertamina (Foto: Istimewa)
Blok East Natuna
Cadangan gas Blok East Natuna sudah berhasil ditemukan sejak 1973 alias 44 tahun lalu, tapi sampai sekarang belum ada aktivitas fisik di sana. Padahal, perairan Natuna bagian timur terancam dicaplok, China mengklaim daerah tersebut sebagai wilayahnya karena masuk dalam 9 garis batas di Laut Cina Selatan. Indonesia harus segera melakukan aktivitas di sana untuk menunjukkan kedaulatan.
East Natuna direncanakan mulai memproduksi gas hingga 1.000 MMSCFD pada 2027. Nilai proyeknya hingga memasuki tahap produksi saja diperkirakan sudah mencapai US$ 40 miliar alias Rp 520 triliun.
Kesulitan dalam pengembangan Blok East Natuna adalah kandungan CO2 yang mencapai 72% sehingga diperlukan teknologi khusus untuk memproduksi gasnya, biayanya pun pasti mahal. Di 2013 lalu, Pertamina dan ExxonMobil sudah pernah mengajukan skenario ke pemerintah agar Blok East Natuna ekonomis untuk dikembangkan. Tapi pemerintah tak menyetujuinya.
ADVERTISEMENT
Jika berhasil dikembangkan, gas dari East Natuna dapat dialirkan melalui pipa transmisi ke Jawa melalui Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, maka akan banyak wilayah yang bisa menikmati pasokan gasnya. Industri bisa berkembang di sepanjang jalur pipa, begitu juga pembangkit listrik.
Tapi sampai sekarang ladang gas terbesar Indonesia ini tak jelas, belum ada aktivitas sama sekali di sana, sejauh mata memandang hanya ada lautan kosong saja. Pertengahan Juli 2017 lalu, ExxonMobil mengembalikan Blok East Natuna kepada pemerintah. Perusahaan migas raksasa dari Amerika Serikat (AS) itu tak mau berinvestasi lagi di East Natuna.
Ilustrasi pertambangan migas (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertambangan migas (Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)
Blok Masela
PSC Blok Masela sudah ditandatangani oleh Inpex Corporation sejak 1998 alias 19 tahun silam. Cadangan gas yang terbukti sudah ditemukan melalui kegiatan eksplorasi pada 2006 atau lebih dari 1 dekade lalu.
ADVERTISEMENT
Blok Masela awalnya ditargetkan mulai memproduksi gas sebesar 1.200 MMSCFD pada 2024. Nilai proyeknya diperkirakan mencapai US$ 30 miliar alias Rp 390 triliun, investasi yang sangat besar. Tapi dipastikan molor setidaknya 2 tahun karena Plan of Development (PoD) Masela harus direvisi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kilang LNG Masela dibangun di darat (onshore).
Perdebatan soal kilang LNG Masela sempat menyita perhatian publik pada awal 2016. Sudirman Said yang waktu itu Menteri ESDM dan Rizal Ramli yang ketika itu Menko Kemaritiman berpolemik keras di media massa. Sudirman ngotot kilang LNG dibangun di lepas pantai (offshore), sedangkan Rizal ingin onshore. Akhirnya pada Maret 2016, Jokowi memutuskan harus memakai skema onshore.
Setelah perdebatan soal onshore dan offshore berakhir, Masela tetap dirundung masalah. Sudah dari 5 bulan lalu, Inpex mengajukan Authorization For Expenditure (AFE) ke SKK Migas untuk memulai Pre-FEED (Pre Front End Engineering Design) alias rancangan pengembangan Masela, tapi AFE tak kunjung disetujui karena ada perdebatan soal besarnya biaya Pre-FEED.
ADVERTISEMENT
Kabar teranyar, Menteri ESDM Ignasius Jonan bertemu dengan CEO Inpex Corp, Toshiaki Kitamura, di Tokyo, Jepang, pada 17 Oktober 2017 lalu. Pertemuan itu menghasilkan 3 keputusan. Pertama, pemerintah tetap meminta Inpex mengembangkan LNG di darat sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo.
Kedua, Pemerintah akan memberikan perpanjangan 20 tahun kepada Inpex ditambah dengan 7 tahun sebagai kompensasi atas perubahan pengembangan kilang LNG dari skema terapung menjadi darat.
Ketiga, Pemerintah memberikan keleluasaan kepada Inpex untuk memilih sendiri lokasi tempat pembangunan kilang LNG darat tersebut.
Jika tak ada aral melintang, paling cepat gas dari Blok Masela baru akan mengalir pada 2026. Aktivitas fisik (Engineering Procurement and Construction/EPC) baru dimulai kira-kira 2022. Butuh kurang lebih 4 tahun untuk konstruksi.
ADVERTISEMENT
Gas bumi dari Blok Masela rencananya dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia serta dilikuifasi menjadi LNG. Pembangunan kilang di darat diharapkan mampu memberikan multiplier effect bagi tumbuhnya industri, pengembangan kawasan, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Eksplorasi migas lepas pantai. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Eksplorasi migas lepas pantai. (Foto: Wikimedia Commons)
Indonesia Deepwater Development (IDD)
PoD Lapangan IDD telah disetujui pada tahun 2008, namun pada 2012 Chevron Indonesia Company meminta dilakukan perubahan PoD karena ada perubahan nilai investasi yang mencapai US$ 12 miliar atau sekitar Rp 162 triliun.
Revisi PoD tersebut sampai sekarang belum diajukan ke pemerintah. Dengan jatuhnya harga minyak, bagi Chevron proyek IDD ini kalah dengan portofolio proyek di tempat lain. Saat ini yang baru dikembangkan hanya Lapangan Bangka.
Pengembangan lapangan IDD diharapkan akan menambah pasokan gas hingga 800 MMSCFD.
ADVERTISEMENT