4 Hakim MK Dissenting Opinion soal UU Cipta Kerja, Ini Pertimbangan Mereka

25 November 2021 17:32 WIB
ยท
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil. Namun demikian, ada empat majelis hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion atas putusan tersebut.
ADVERTISEMENT
Diketahui, gugatan ini diajukan oleh enam orang. Akan tetapi, hanya empat orang yang dinilai oleh majelis hakim memiliki legal standing sehingga gugatan dari empat orang itulah yang dipertimbangkan oleh majelis hakim MK.
Empat orang tersebut yakni Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Ali Sujito, Muhtar Said; Migrant CARE (diwakili oleh Ketua dan Sekretaris), Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat (diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum), dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang diwakili oleh Ketua (Imam) Mahkamah.
Dalam permohonannya, mereka mendalilkan pembentukan UU 11/2020 dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan. Apakah sebagai undang-undang baru atau undang-undang perubahan ataukah undang-undang pencabutan.
Lalu, metode omnibus law dinilai tidak dikenal dalam UU 12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 15/2019).
ADVERTISEMENT
Kemudian, terdapat perubahan materi muatan UU 11/2020 pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekadar teknis penulisan, melainkan juga perubahan yang bersifat substansial, termasuk juga kesalahan dalam pengutipan.
Mereka juga menilai pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 serta asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU 12/2011 yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Terakhir, para pemohon memohon MK agar menyatakan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah, dihapus dan/atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam UU 11/2020 berlaku kembali.
ADVERTISEMENT
Sehingga UU tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 22A UUD 1945.
Sejumlah hakim konstitusi bersiap mengikuti sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO

Pertimbangan Hakim MK

Terhadap sejumlah dalil pemohon tersebut, hakim MK mengamini bahwa adanya ketidakjelasan apakah ini merupakan UU baru atau bukan. MK menilai, UU Cipta Kerja ini diformat seakan-akan merupakan UU baru. Akan tetapi faktanya, UU ini merupakan suatu gabungan dari UU-UU yang sudah ada.
"UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU 11/2020 telah ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang," kata MK.
Selanjutnya, menjawab dalil pemohon terkait dengan UU Omnibus Law yang tidak dikenal Nomor 15 Tahun 2019, MK mempertimbangkan jawaban dari pihak pemerintah. Pemerintah menyatakan bahwa Omnibus Law bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Sudah ada dalam UU 32/2004 dan UU 7/2017.
ADVERTISEMENT
Namun dari hasil penelusuran MK, ternyata UU 11/2020 ini berbeda dengan dua UU tersebut. Dua UU tersebut dinilai pembentukannya masih sesuai dengan perundang-undangan. Sementara UU 11/2020 ini tidak.
"Karakter metode omnibus law dalam UU 11/2020 berbeda dengan pembentukan UU 32/2004 dan UU 7/2017. Hal tersebut terlihat dari jumlah UU yang dilakukan penyederhanaan yaitu berjumlah 78 UU dengan materi muatan yang saling berbeda satu sama lain dan seluruh UU yang digabungkan tersebut masih berlaku efektif kecuali pasal-pasal yang diubah dalam UU 11/2020," kata MK.
"Oleh karena itu tidak apple to apple apabila dibandingkan dengan penyederhanaan UU yang dilakukan dalam UU 32/2004 dan UU 7/2017. Dengan melihat perbedaan tersebut, model penyederhanaan UU yang dilakukan oleh UU 11/2020 menjadi sulit dipahami apakah merupakan UU baru, UU perubahan, atau UU pencabutan," sambung MK.
ADVERTISEMENT
Terkait dalil terdapat perubahan materi muatan UU 11/2020 pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekadar teknis penulisan, melainkan juga perubahan yang bersifat substansial, termasuk juga kesalahan dalam pengutipan, MK sependapat.
Sebab, kata MK, terdapat sejumlah kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan asas 'kejelasan rumusan' yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya
Lalu, terkait dengan dalil pemohon soal UU 11/2020 bertentangan dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU 12/2011 yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan, MK hanya mempertimbangkan asas keterbukaan saja.
ADVERTISEMENT
MK menyatakan pembuatan UU 11/2020 ini tidak terbuka.
"Bahwa sementara itu berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo," kata MK.
"Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis," sambung MK.
ADVERTISEMENT
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan itulah, MK menyatakan UU Ciptaker cacat formil.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil," kata MK.
Atas dasar itu, MK mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian. Lalu menyatakan UU Ciptaker harus diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun. MK juga melarang adanya pembuatan aturan turunan selama perbaikan dilakukan.
Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan

Dissenting Opinion

Terdapat perbedaan pendapat dalam putusan MK itu. Setidaknya ada empat hakim yang berbeda. Dari empat hakim itu juga, terpecah menjadi dua kelompok sikap. Yakni dissenting opinion dari Hakim Arief Hidayat dan Hakim Anwar Usman; serta dissenting opinion dari Hakim Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Daniel Yusmic P. Foekh.
ADVERTISEMENT
Kedua hakim menilai UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis, sosiologis, maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait segi formil, kedua hakim menilai bahwa format pembentukan UU Ciptaker telah mengikuti format pembentukan suatu undang-undang sebagaimana ketentuan UU 12/2011 jo. UU 15/2019.
"Meskipun ada hal yang tidak lazim dilakukan karena adanya pengabaian terhadap beberapa materi di dalam pedoman pembentukan undang-undang yang menjadi lampiran UU 12/2011 jo. 15/2019, misalnya terkait dengan mekanisme pencabutan dan perubahan undang-undang. Namun pedoman yang menjadi lampiran UU 12/2011 jo. 15/2019 hanya bersifat memandu dan tidak perlu dipahami secara kaku dan rigid," kata kedua hakim.
ADVERTISEMENT
"Sebab, pedoman pembentukan undang-undang yang dimuat pada Lampiran II disusun berdasarkan pada praktik dan kebiasaan yang dilakukan selama ini dan kemudian dituangkan dalam suatu aturan tertulis. Pedoman ini dapat saja berubah sehingga terbentuk suatu konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan baru (new constitutional convention and constitutional habbit) sebagai dasar hukum yang setara dengan undang-undang untuk praktik-praktik selanjutnya," kata kedua hakim.
Namun demikian kedua hakim ini memiliki catatan. Pembentukan Omnibus Law. kata mereka, harus memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang sebagaimana termuat dalam UUD 1945, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan disusun melalui proses legal drafting yang tepat, tidak boleh serampangan dan tergesa-gesa dalam proses penyusunannya, serta memerhatikan betul-betul partisipasi masyarakat agar proses pembentukan suatu undang-undang benar-benar dapat menjadi solusi atas permasalahan hukum yang terjadi, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan responsif terhadap perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, meski banyak kelemahan, kedua hakim menilai gugatan formil ini layak ditolak.
"Meskipun UU Ciptaker memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting, namun UU ini sangat dibutuhkan saat ini sehingga menurut kami, seharusnya permohonan pengujian formil UU Ciptaker harus dinyatakan ditolak," kata kedua hakim.
Kedua hakim ini menilai dalil para Pemohon yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil karena UU 12/2011 tidak mengatur metode omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah tidak tepat.
Sebab, ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak secara eksplisit menyebutkan metode tertentu yang harus digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
"Sepanjang sejarah berdirinya Mahkamah, belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945. Artinya, metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum," kata kedua hakim.
Selain itu, kedua hakim menilai dalil pemohon terkait partisipasi publik tak benar. Kedua hakim menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik.
Berikut sikap kedua hakim:
Seharusnya Mahkamah menyatakan Undang-Undang a quo adalah konstitusional karena UU PPP sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan dan di sisi yang lain Mahkamah seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Untuk mengantisipasi munculnya berbagai rancangan undang-undang omnibus yang lain, baik cluster (klaster) yang sejenis ataupun beragam (multi-klaster), maka pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan terhadap UU PPP dengan memuat metode omnibus dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak putusan ini dibacakan. Setelah itu pembentuk undang-undang dapat menindaklanjuti dengan perubahan terhadap undang-undang a quo dengan menggunakan metode omnibus.
ADVERTISEMENT