Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
500 Senjata untuk BIN dan Aturan yang Mengikatnya
25 September 2017 12:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB

ADVERTISEMENT
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut ada sebuah institusi di luar yang membeli 5.000 pucuk senjata dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Menkopolhukam Wiranto menjelaskan, memang ada institusi di luar militer yang baru saja dibuatkan senjata oleh PT Pindad.
ADVERTISEMENT
Institusi yang dimaksud Wiranto adalah Badan Intelijen Negara (BIN). Namun Wiranto menyebut jumlah senjata yang dibeli untuk keperluan intelijen itu hanya 500 pucuk senjata.
Selain BIN, Sekretaris PT Pindad menyebut Polri juga sempat mengontak mereka untuk memesan 5.000 pucuk senjata.
"Namun belum sampai kontrak dengan Pindad," kata Corsec PT Pindad Bayu Fiantoro saat dihubungi kumparan (kumparan.com), Senin (25/9).
Terlepas dari polemik jumlah dan adanya dugaan miskomunikasi, sebenarnya bagaimana mekanisme pembelian senjata itu sendiri?
Aturan pembelian senjata termaktub dalam UU No. 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Di sana bisa dilihat alur pembelian senjata seharusnya seperti apa.

Berdasarkan Pasal 8 dalam Undang-undang tersebut, "pengguna" atau pemilik senjata api adalah TNI, Polri, Kementerian dan lembaga pemerintah non-Kementerian, atauu pihak yang diberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pengguna ini memiliki senjata api hanya dengan izin Kementerian Pertahanan.
ADVERTISEMENT
"Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c wajib menggunakan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang telah dapat diproduksi di Industri Pertahanan dalam negeri sehingga mendorong terwujudnya kemandirian Industri Pertahanan," bunyi UU No. 16 tahun 2012 Pasal 8.
Setiap institusi militer yang ingin membeli senjata dalam rangka memperkuat pertahanan dalam negeri harus mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Berdasarkan Pasal 15 UU tersebut Ketua KKIP adalah Presiden.
Pembelian senjata oleh institusi harus sesuai dengan kebutuhan industri pertahanan. Pembelian senjata juga lebih mengedepankan kepentingan jangka panjang dan menguntungkan industri dalam negeri.
"Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pelatihan, alih teknologi, penelitian dan pengembangan, perekayasaan, produksi, pemasaran, dan pembiayaan," demikian bunyi Pasal 46 UU No.16 tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Sementara itu dalam Pasal 47 dijelaskan, sebuah institusi boleh membeli senjata dari luar negeri. Hal itu utamanya bisa dilakukan dengan melaksanakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Selain itu di dalam Pasal 48 dan 49, dijelaskan lebih runut terkait dengan syarat-syarat sebuah institusi boleh membeli senjata dari luar negeri.
"Kerja sama yang dimaksud diarahkan bagi percepatan peningkatan penguasaan teknologi pertahanan dan keamanan serta guna menekan biaya pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan," begitu petikan Pasal 48 ayat 4.
"Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri mendukung dan memfasilitasi kerja sama luar negeri" demikian bunyi Pasal 49 ayat 2.
ADVERTISEMENT