6 Keputusan Kontroversial Jokowi dalam Setahun Memimpin Periode Kedua

20 Oktober 2020 9:01 WIB
Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019).  Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Detail, tegas, dan antimainstream, Jokowi selalu ingin ada terobosan dalam setiap pemecahan masalah. Bahkan, kata JK, Jokowi merapatkan semua masalah dengan anggota kabinet untuk keputusan terbaik. Tapi bagaimanapun baiknya, tak ada keputusan yang bisa memuaskan semua orang.
ADVERTISEMENT
Dalam setahun kepemimpinan di periode kedua yang jatuh Selasa (20/10) hari ini, Jokowi melahirkan beberapa keputusan kontroversial. Setidaknya diukur dari penolakan masyarakat, adanya gugatan, hingga demonstrasi.
Berikut 7 keputusan kontroversial Jokowi yang muncul sejak dilantik 20 Oktober 2019:
Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin memperkenalkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju di tangga veranda Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro
Penyusunan kabinet selalu penuh gonjang-ganjing. Begitu juga terjadi saat Jokowi mengangkat para pembantunya untuk periode kedua. Keputusan kontroversial itu mengemuka setidaknya pada 3 sosok menteri yang diinginkan Jokowi, tapi memicu pro kontra.
Pertama, sosok Menteri Agama Fachrul Razi. Eks timses Jokowi yang memimpin 'Tim Bravo' di Pilpres 2019 itu dianggap tidak punya kompetensi untuk mengurusi agama. Dengan besarnya ormas agama di Indonesia, Jokowi dinilai harusnya bisa mengangkat menteri agama asal tokoh agama daripada tokoh militer.
ADVERTISEMENT
Benar saja, eks Wakil Panglima TNI itu memicu beberapa kontroversi. Di antaranya soal larangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah, pernyataan radikal digambarkan dengan 'good looking', hingga program penceramah bersertifikat.
Kedua, Nadiem Makarim yang diangkat Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Pendiri Gojek itu dinilai tidak punya rekam jejak maupun kompetensi untuk menggawangi kebijakan-kebijakan negara soal pendidikan. Selama ini, menteri pendidikan di setiap kabinet selalu berasal dari kalangan kampus.
Menteri termuda di kabinet itu menyuarakan Merdeka Belajar yang memicu polemik soal pembukaan program studi baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, dan fasilitas perguruan tinggi yang statusnya masih PTN Badan Layanan Umum dan Satker untuk mencapai PTN-BH. Termasuk soal hak belajar tiga semester di luar program studi mahasiswa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Nadiem juga menghapus Ujian Nasional (UN) mulai di tingkat SD, SMP hingga SMA yang sedianya diselenggarakan pada April secara resmi ditiadakan sebagai bagian dari sistem respons pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Sebagai ganti, syarat penentu kelulusan siswa dalam masa darurat penyebaran COVID-19, yakni dengan menggelar Ujian Sekolah (US) secara online. Apabila sekolah tak siap mengadakan ujian jarak jauh, alternatif yang ditawarkan pemerintah yakni dengan mempertimbangkan portofolio nilai rapor dan prestasi siswa yang diperoleh sebelumnya. Selain itu, syarat penentu kelulusan juga bisa dilihat melalui penugasan atau asesmen jarak jauh.
Kontroversi lainnya adalah rencana penyederhanaan kurikulum yang salah satu drafnya adalah menghapus mata pelajaran sejarah. Soal ini masih dibahas.
Ketiga, Terawan sebagai Menteri Kesehatan. Kepala RSPAD Gatot Subroto itu menjadi sosok kontroversial setelah menerapkan metode 'cuci otak' dengan menggunakan Digital Subtraction Angiography (DSA) untuk pengobatan stroke jenis iskemik. DSA yang diperkenalkan tahun 1980 sebetulnya hanya metode injeksi kontras guna mengetahui gambaran pembuluh darah. Namun,Terawan mengubahnya menjadi tindakan medis.
ADVERTISEMENT
Terawan lalu dipecat oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) sebelum diangkat menjadi menteri.
Dalam perjalanannya, Terawan memicu beberapa kontroversi terutama sikapnya yang dianggap meremehkan virus corona. Mulai dari anggapan virus hilang dengan jamu, doa, dan hilang tanpa treatment, hingga menertawakan pengguna masker di awal pandemi.
Presiden Joko Widodo meninjau pelaksanaan Uji Klinis Tahap III Vaksin COVID- 19 di Gedung Eyckman, Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/8). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi menerbitkan Perppu sakti untuk menggelontorkan dana Rp 405,1 triliun guna penanganan wabah corona.
Perppu itu bernomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan terhadap UUD 1945.
Perppu yang mulai berlaku mulai 31 Maret itu digugat oleh MAKI ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/4), kemudian oleh mantan Ketua MPR Amien Rais, eks Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Sri Edi Swasono pada 14 April 2020.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang digugat adalah Pasal 27 yang menyatakan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian negara, pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut perdata atau pun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara. Pasal 27 disebut superbody sekaligus bertentangan dengan UUD 1945.
Perppu itu disahkan DPR menjadi undang-undang dalam paripurna di Gedung DPR RI, Selasa (12/5). Hanya PKS yang menolak RUU Perppu 1/2020 menjadi undang-undang.
Lockdown lokal di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor. Foto: dok kumparan
Tidak ada negara yang siap dengan wabah corona, begitu juga Indonesia. Tapi, respons kebijakan atas wabah itu yang menentukan kualitas seorang kepala negara.
ADVERTISEMENT
Jokowi dan para jajaran Kabinet Indonesia Maju, sempat menganggap remeh corona yang pertama kali muncul pada 2 Maret menginfeksi 2 warga Depok. Setelah kasusnya jadi puluhan, mulailah strategi dimatangkan.
Jokowi memutuskan strategi yang diterapkan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang aturan teknisnya dituangkan dalam Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 berlaku mulai Rabu, 7 April 2020.
Kebijakan ini berubah dari rencana awal menetapkan karantina wilayah alias lockdown. PSBB lalu diterapkan pertama kali di Jakarta pada 10 April 2020 sebagai klaster pertama corona di Indonesia.
Sebelum penerapan itu, Gubernur DKI Anies Baswedan menyurati Presiden Jokowi agar Jakarta menerapkan karantina wilayah saja alias lockdown. Toh, Jakarta punya anggaran besar untuk memberi sangu warga termasuk pakan ternaknya, sesuai aturan UU. Tapi kebijakan Anies ditolak karena khawatir mematikan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Apakah PSBB Jokowi efektif? Grafik corona terus melonjak karena PSBB diterapkan hanya 14 hari dan bisa diperpanjang. Dalam perkembangannya Jokowi justru mengumumkan new normal, dan istilah PSBB berkembang menjadi mini lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM).
Keputusan kontroversial Jokowi di tengah wabah corona adalah melanjutkan Pilkada Serentak di 270 daerah. Jokowi ambil risiko mengabaikan suara publik yang disampaikan Muhammadiyah, MUI, PBNU, dan elemen masyarakat yang meminta menunda Pilkada.
"Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," kata Fadjroel dalam keterangan yang diterima kumparan, Senin (21/9).
Ilustrasi warga mengecek Daftar Pemilih Tetap (DPT) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak satu negara tahu kapan pandemi COVID-19 akan berakhir," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Padahal, corona turut menginfeksi 60 kandidat Pilkada, puluhan penyelenggara Pemilu termasuk 3 komisioner KPU RI. Pilkada juga memicu 243 pelanggaran protokol corona saat masa pendaftaran Pilkada.
Kini, dengan lonjakan kasus 4.000 lebih per hari, Pilkada yang pencoblosannya digelar serentak satu hari pada 9 Desember di 270 daerah, menjadi ancaman serius bagi masyarakat.
Petugas melayani pelanggan di Kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANATRA FOTO/M Risyal Hidayat
Meski menguras APBN untuk penanganan corona, Jokowi membuat kebijakan lain yang mencekik dengan menaikkan tarif BPJS Kesehatan melalui Perpres 64 Tahun 2019. Dengan rincian:
Kelas I Rp 150.000
Kelas II Rp 100.000
Kelas III Rp 42.000*
Catatan:
1. Peserta Kelas III pada Juli-Desember 2020 tetap membayar Rp 25.500, di mana pemerintah memberikan subsidi iuran Rp 16.500.
ADVERTISEMENT
2. Peserta Kelas III mulai Januari 2021 akan membayar Rp 35.000, di mana pemerintah memangkas subsidi iuran menjadi Rp 7.000.
Ironisnya, Perpres itu diterbitkan karena Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya dalam Nomor 75 Tahun 2019 dibatalkan MA atas gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Perpres baru ini digugat lagi oleh KPCDI ke MA, namun kali ini MA menolak dan sejalan dengan Jokowi menarik iuran lebih tinggi untuk BPJS Kesehatan.
Kebijakan paling kontroversial dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf adalah Omnibus Law. Yaitu menggabungkan puluhan undang-undang menjadi satu undang-undang saja.
Omnibus Law pertama yang disodorkan Jokowi adalah RUU tentang Cipta Kerja, yang salah satunya untuk memangkas regulasi demi mendorong investasi.
ADVERTISEMENT
UU yang disahkan pada Senin (5/10) itu merevisi 79 undang-undang setara 1.203 pasal, menjadi satu undang-undang berisi 15 bab dan 174 pasal. UU itu dikerjakan hanya melalui 64 kali rapat. Dalam perjalanannya ada 7 undang-undang yang akhirnya dikeluarkan dari RUU.
Infografik Omnibus Law. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Bukan saja kontroversial dalam substansi, tapi juga dalam prosedur. Operasi Jokowi dan parpol pendukungnya di Senayan membuat UU itu disahkan nyaris senyap karena memajukan jadwal paripurna dari Kamis (8/10) menjadi Senin (5/1). Pengesahan itu tidak ada dalam agenda DPR hari itu.
UU itu memicu kerusuhan di berbagai daerah karena aksi dari kalangan buruh, mahasiswa, termasuk pelajar yang turun ke jalan. Di Jakarta saja, kerugian akibat demo itu mencapai Rp 55 miliar hanya untuk 20 halte yang dirusak. Belum termasuk bioskop yang dibakar dan fasilitas umum lain yang rusak.
Massa aksi yang ricuh di tengah unjuk rasa menolak Omnibus Law, di Kawasan Monas, Jakarta, Selasa (13/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Jokowi masih akan menjabat 4 tahun lagi sebelum lengser. Semoga suara publik lebih banyak didengar dalam setiap keputusan.
ADVERTISEMENT