6 Pemikiran Jakob Oetama

9 September 2020 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jakob Oetama. Foto: Arsip Kompas
zoom-in-whitePerbesar
Jakob Oetama. Foto: Arsip Kompas
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wartawan senior sekaligus pendiri Kompas Gramedia Group, Jakob Oetama, tutup usia, Rabu (9/9) di umur 88 tahun. Jakob meninggal setelah sempat dirawat di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kepergian Jakob menimbulkan duka mendalam, terutama bagi dunia jurnalisme. Sepanjang hidupnya, banyak pemikiran-pemikiran Jakob yang menjadi gebrakan jurnalisme Indonesia.
Lahir di era kolonial Belanda dan sempat mencicipi masa kemerdekaan, reformasi, hingga era komunikasi, gagasan-gagasan Jakob pun selalu mengikuti perkembangan zaman. Misalnya, dalam pidatonya yang berjudul 'Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna' yang disampaikan 17 tahun lalu untuk menjawab kekacauan arus informasi daring.
Padahal, di tahun itu, internet belum semasif saat ini. Namun, Jakob dengan pemikirannya, sudah menelurkan sejumlah gagasan penting yang bisa diterapkan hingga saat ini.
Berikut sejumlah pemikiran Jakob Oetama di bidang jurnalisme:

1. Kecemasan Baru Akibat Banjir Informasi

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta, Selasa (27/9/2016). Foto: Garry Andrew L/kompas
Dalam pidatonya, Jakob menilai perkembangan teknologi tak hanya memperkaya jaringan informasi, baik yang bersifat teknologi maupun tradisional, atau dari yang lokal hingga global. Namun, perkembangan ini, menurutnya, juga membuat masyarakat menjadi kebanjiran informasi.
ADVERTISEMENT
"Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah, akan tetapi sama sekali tidak mungkin dipakai," tutur Jakob dalam pidatonya, dilansir VIK, Rabu (9/9).
Di satu sisi, kata Jakob, masyarakat akan diperkaya dengan jaringan informasi yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Namun, di sisi lain, kekhawatiran lain juga mulai muncul seperti apakah informasi tradisional akan dihancurkan atau tidak.
"Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan," lanjutnya.

2. Jurnalisme Tak Sekadar Memaparkan Kejadian

Jakob Oetama. Foto: Arsip Kompas
Jakob juga menyimpan kritik soal fungsi jurnalisme. Ia mempertanyakan, apakah media massa hanya bertugas menyajikan informasi dengan memaparkan kejadian dan masalah, atau juga menyajikannya sedemikian rupa sehingga masyarakat menangkap dan memahami arti dari kejadian tersebut?
ADVERTISEMENT
Mengutip pandangan SP Scott dari 'The Manchester Guardian', Jakob menilai "Comment is free but facts are sacred". Opini itu bebas, tapi fakta itu suci.
Ia juga menyebut, jurnalisme harus memberikan interpretasi dengan tak hanya sekadar menyampaikan fakta berdasarkan urutan kejadian. Menurutnya, jurnalis yang baik juga harus mampu menyertakan latar belakang, proses, riwayat, mencari interaksi tali temalinya, dan memberikan interpretasi atas dasar fakta yang ada.
"Dicari variabel-variabelnya, dengan cara itu, berita bukan sekadar informasi tentang fakta. Berita itu sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa," papar Jakob.

3. Tantangannya Bukan soal Kecepatan

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta, Selasa (27/9/2016). Foto: Garry Andrew L/kompas
Di era digital yang serba cepat, media massa juga dituntut untuk berlomba-lomba menjadi yang tercepat dalam memberitakan suatu kejadian. Namun, menurut Jakob, ke depan, tantangan terbesar jurnalisme justru bukan pada kecepatan, melainkan penyajian makna.
ADVERTISEMENT
"The search of meaning and the production of meaning. Bukankah hal itu tidak berarti, tidak lagi berlaku suatu jurnalisme yang obyektif, melainkan yang berlaku adalah jurnalisme yang subjektif," papar Jakob.
Namun, seberapa jauh subjektivitas itu? Menurut Jakob, subjektivitas yang ia maksud bukan merupakan suka atau tidak suka, prasangka, atau soal kepentingan pribadi dan partisan.
"Subjektif dalam arti, secara serius, secara jujur, secara benar, secara profesional mencoba mencari tahu secara selengkap-lengkapnya, mengapa peristiwa itu terjadi dan apa arti dan maknanya," lanjutnya.

4. Rasional Tapi Harus Tetap Sensitif

Jakob Oetama. Foto: Arsip Kompas
Jakob mengistilahkan, seorang wartawan harus memiliki pemikiran yang rasional, namun juga sensitif, dan berdedikasi terhadap dunia objektif di luar 'sana' dan kepada dunia subjektif di dalam 'sini'.
ADVERTISEMENT
Mengutip kata Paul Tillich, Jakob mengatakan, sikap dan cara kerja yang menjadi syarat adalah orang hidup dalam makna, artinya, hidup dalam validitas yang lengkap, validitas akal sehat, estetik, etik, dan religius.

5. Bisa Memberikan Solusi

Jakob Oetama Foto: Arsip Kompas
Menurut Jakob, orang yang membaca media massa bukan hanya sekadar ingin tahu saja. Tapi juga ingin memahami arti dan makna dari sebuah peristiwa.
"Selanjutnya, khalayak tidak ingin tahu makna, tapi juga ke mana arah dan semangat penyelesaiannya," paparnya.
Untuk bisa menyajikan hal tersebut, seorang jurnalis harus tahu duduk perkaranya. Dalam masalah yang mendesak dan strategis, pencarian dan pendekatan solusi juga perlu dipaparkan.
"Harus juga pendidikan yang mencerahkan. Bukan saja akal, tapi akal budi, emosi, dan spiritualitas yang sekaligus ditumbuhkembangkan kepada anak dan warga Indonesia," lanjut Jakob.
ADVERTISEMENT

6. Memaknai Kebebasan Pers

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta, Selasa (27/9/2016). Foto: Garry Andrew L/kompas
Di akhir pidatonya, Jakob juga menyinggung soal kebebasan pers. Ia memberikan pengandaian, jika pers benar-benar bebas, hal itu bisa memberikan dampak yang baik, tapi juga bisa berdampak buruk.
"Baik untuk pers maupun untuk manusia, kebebasan ialah kesempatan untuk menjadi baik. Perbudakan adalah kepastian untuk menjadi lebih buruk," tuturnya, mengutip kata Albert Camus.
"Tapi siapa pun membicarakan kebebasan, baik ilmuwan, publik, pemerintah, dan media sendiri cenderung tidak akan mengatakan dengan gagah berani dan amat percaya diri. Kebebasan adalah kebebasan memilih," tegasnya.
Jakob Oetama. Foto: Arsip Kompas
Namun, timbul pertanyaan baru, bagaimana cara memilih? Menurutnya, pilihan-pilihan yang ada perlu disertai dengan akal sehat, kepekaan, dan komitmen.
"Bahkan ada yang mengingatkan isyarat Sorean Kierkegaard agar pilihan dilakukan in fear and trembling in anguish, dengan rasa takut dan cemas," ungkap Jakob.
ADVERTISEMENT
Namun, lanjutnya, kecemasan bukanlah pertanda kelemahan. Kecemasan merupakan tanda dari rasa tanggung jawab.
"Tugas media seperti to afflict the powerful and comfort the afflicted, tugas yang disertai kecemasan. Kecemasan yang menurut teolog Paul Tillich adalah pertanda serta proses interaksi munculnya keberanian," tutup Jakob.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona