7 Kasus Oplosan Daging Babi di Berbagai Daerah

21 Mei 2020 13:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perbedaan Daging Babi dan Sapi. Foto: Dok. SEAFAST IPB
zoom-in-whitePerbesar
Perbedaan Daging Babi dan Sapi. Foto: Dok. SEAFAST IPB
ADVERTISEMENT
Dalam sebulan terakhir, polisi mengungkap adanya dua kasus daging sapi yang dioplos dengan daging babi. Kasus itu terjadi di Bandung dan Tangerang.
ADVERTISEMENT
Polisi pun sudah menjerat tersangka dalam kasus ini. Mereka sedang menjalani proses hukum.
Berdasarkan penelusuran, kasus serupa sudah pernah terjadi sebelumnya. Yakni di Padang, Takengon, serta Jakarta Selatan.
Polisi menjerat mereka dengan UU soal Peternakan, Pangan, atau Perlindungan Konsumen. Sebagian besar pelaku sudah disidang dan dinyatakan bersalah. Namun, ada satu yang divonis bebas.
Berikut ringkasannya:
Pada akhir 2012 silam, kasus oplosan daging terjadi di Cipete, Jakarta Selatan. Seorang pengusaha penggilingan daging, Eka Priyatna, ditangkap polisi karena dugaan mengoplos daging sapi dengan daging babi.
Mengutip dari situs PN Jaksel, kasus ini berawal dari laporan warga. Sudin Peternakan dan Perikanan Jakarta Selatan kemudian mengecek soal dugaan itu dengan membeli daging giling dari tempat Eka Priyatna. Hasil pemeriksaan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (KESMAVET) menunjukkan daging giling yang dibeli dari Eka Priyatna positif mengandung unsur babi,
ADVERTISEMENT
Eka Priyatna mengaku membeli daging dari perusahaan Pandawa Express sejak bulan Oktober 2012-Desember 2012. Terakhir, ia membeli 27 kg daging dengan harga Rp 58 ribu per/kg. Daging itu kemudian ia jual sebagai bahan tambahan menjadi bakso sebesar Rp 50 ribu per/kg.
Perbedaan Daging Babi dan Sapi. Foto: Dok. SEAFAST IPB
"Dengan maksud dan tujuan agar pelanggan/konsumen tertarik dan mau membeli dan menggiling daging di tempat terdakwa, di mana terdakwa mengaku proses pembuatan baso di kiosnya adalah dengan mencampurkan daging sapi impor yang dibelinya dari CV Pandawa Express dan tidak menjual daging jenis lain/ tidak mengandung unsur babi kemudian digiling lalu diberikan terigu dan bumbu selanjutnya dijual kepada para konsumen," bunyi dakwaan dikutip dari situs PN Jaksel.
Berdasarkan pemeriksaan dinas terkait, hasil uji laboratorium 4 contoh daging yang diambil dari CV Pandawa Express tak mengandung babi. Namun, hasil positif didapat dari pemeriksaan sampel daging yang dijual Eka Priyatna.
ADVERTISEMENT
6 sampel acak diambil dari 50 kg daging yang dijual Eka. Hasilnya, 4 sampel di antaranya positif. Pengecekan juga dilakukan dari 15 kg daging giling yang dijual Eka. Dari 3 sampel yang diambil, semuanya menunjukkan hasil positif.
Eka dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) huruf f, yang berbunyi 'Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut'.
Hakim PN Jaksel menyatakan ia bersalah dalam sidang vonis pada 17 April 2013. Ia dihukum 2 tahun 8 bulan penjara.
Pada tahun 2015, pasangan suami istri, Tati dan Budi, ditangkap polisi dari Polrestabes Kota Bandung. Keduanya diduga menjual daging sapi yang sudah dioplos.
ADVERTISEMENT
Mereka diduga menjual daging sapi yang dicampur dengan daging babi hutan atau celeng serta mencampurnya dengan borak/asam borat dalam bentuk daging mentah dan daging olahan berupa bakso.
Mengutip dari situs PN Bandung, kedua pelaku melumuri setiap 50 kg daging babi hutan/celeng dengan 1,5 kg darah sapi dan 1,5 kg borak/asam guna menyamarkan bau serta menjaga kesegaran daging.
Setiap daging babi itu kemudian dicampur dengan daging sapi lalu dibungkus plastik untuk dijual mentah. Sementara untuk daging olahan berupa bakso, setiap 10 kg daging babi dicampur dengan 5 kg jeroan daging sapi lalu kemudian dijual.
Perbedaan Daging Babi dan Sapi. Foto: Dok. SEAFAST IPB
Setiap 1,5 kg daging mentah oplosan itu dijual dengan harga Rp 22 ribu. Sementara, setiap plastik berisi 5 buah bakso dari daging oplosan dijual dengan harga Rp 4 ribu.
ADVERTISEMENT
Keduanya dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) huruf h, yang berbunyi 'Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label'.
Hakim menyatakan keduanya bersalah dalam sidang vonis pada 9 Juli 2015. Mereka dihukum masing-masing selama 2 tahun penjara.
Kasus dugaan oplosan daging babi juga terjadi di Takengon, Aceh, pada 2017. Pengusaha penggilingan bakso, Ahmad Sukarwi Aziz, dijerat polisi terkait hal tersebut.
Ahmad diduga mengoplos bakso hasil gilingannya dari daging sapi dan daging babi. Ia pun dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang Undang tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 120 ayat (1) jo pasal 53 ayat (1) huruf b Undang Undang tentang Perindustrian, serta Pasal 106 jo pasal 24 ayat (1) Undang Undang tentang perdagangan.
ADVERTISEMENT
Namun PN Takengon menegaskan hal itu tidak benar. Hakim menilai ia tak bersalah.
Mengutip dari situs PN Takengon, Ahmad membeli daging impor bermerek Allana itu dari UD Jaya Selalu. Namun, hakim menilai bahwa Ahmad tidak tahu bahwa daging itu mengandung babi.
Ilustrasi Daging Babi Foto: Thinkstock
Hakim juga menilai Ahmad telah mengupayakan proses halal di tempat usahanya. Sehingga dinilai tak memenuhi unsur untuk dipidana. Alhasil, hakim pun membebaskannya.
Kasus ini sempat dibawa jaksa hingga tingkat kasasi. Namun, MA sependapat Ahmad pantas bebas.
Masih pada tahun 2017, kasus daging oplosan juga terjadi di Kabupaten Bogor. Oplosan daging babi diduga digunakan untuk olahan bakso serta cilok.
Berawal dari sidak di Pasar Citeureup, Kabupaten Bogor menemukan daging yang diduga daging babi yang dicampur dengan daging ayam untuk dijadikan daging olahan dan kemudian diperjualbelikan.
ADVERTISEMENT
Enam orang ditangkap oleh polisi terkait hal itu. Termasuk pemilik kios dan anak buahnya, serta pemasok daging.
Daging babi oplosan di Bogor Foto: ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
Dalam waktu satu minggu pemasok daging berinisial DM disebut bisa menghabiskan paling banyak 300 kilogram daging babi untuk didistribusikan ke pemilik kios daging (PN).
Namun kemudian hanya lima orang yang diajukan ke persidangan. Dikutip dari situs PN Cibinong, para terdakwa ialah Pranoto, Ujang, Parjianto, Agus Isworo, dan Imat. Namun, perkara itu, tidak ditemukan nama yang cocok dengan inisial DM, pemasok daging yang disebutkan dalam rilis polisi.
Mereka dijerat Pasal 8 ayat (1) huruf a UU tentang Perlindungan Konsumen Jo Keputusan Menteri Agama RI Nomor 518 tahun 2001 tentang pedoman Tata cara pemeriksaan dan penetapan Pangan Halal jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Kelimanya dihukum 7 bulan penjara.
ADVERTISEMENT
Pada 2019, mencuat kasus penjual sate padang yang diduga menggunakan daging babi sebagai bahan jualannya. Pasangan suami istri, Bustami dan Evita dijerat dalam kasus ini.
Mengutip dari situs PN Padang, pasangan ini menjual sate sebagaimana tercantum pada gerobaknya ialah menjual sate daging, sate lidah, sate jantung, sate ayam, sate lokan, sate ceker, sate telur puyuh. Tidak mencantumkan menjual sate daging babi pada gerobak sate.
Ilustrasi sate padang. Foto: Safira Maharani/ kumparan
Namun berdasarkan pemeriksaan terhadap sampel dari sate yang dijual, hasilnya positif mengandung babi. Saat keduanya diamankan, petugas menemukan ada daging sate yang siap untuk dijual yang terbungkus plastik besar berada di got di belakang rumah. Diduga daging itu dibuang untuk menghindari petugas.
Mereka dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a dan d UU Tentang Perlindungan Konsumen Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
ADVERTISEMENT
PN Padang menyatakan keduanya bersalah. Evita dihukum 3 tahun penjara. Sementara, Bustami dihukum 2 tahun 10 bulan penjara.
Pada awal Mei 2020, empat orang pria di Kabupaten Bandung harus berurusan dengan polisi karena menjual daging babi yang diakui sebagai daging sapi. Keempatnya adalah Paino, Suyadi, Andri Sudrajat, dan Asep Rahmat.
Pengungkapan bermula saat polisi mendapatkan informasi adanya aktivitas penjualan daging babi di Desa Kiangroke, Kecamatan Banjaran. Setelah dilakukan penelusuran, polisi mendapati Paino dan Suyadi melakukan penjualan daging babi dengan harga Rp 60 ribu per kilogram.
Polisi Bekuk Empat Pria yang Edarkan Daging Babi di Kabupaten Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Kemudian, polisi segera melakukan pengembangan dan mendapati dua pengecer, yakni Andri dan Asep. Mereka menjual kembali daging babi tersebut ke penjual bakso dan rumah tangga dengan harga Rp 70 hingga Rp 90 ribu per kilogram.
ADVERTISEMENT
Andri dan Asep menjual daging babi yang diakui sebagai daging sapi itu di tiga kecamatan, yakni Banjaran, Baleendah, dan Majalaya.
Dari pemeriksan yang dilakukan, Hendra mengatakan, Paino dan Suyadi mendapatkan pasokan daging babi dari Solo, Jawa Tengah, dengan harga Rp 45 ribu per kilogram. Mereka telah menjual daging babi yang dibuat seolah daging sapi tersebut selama 7 bulan.
Mereka dijerat Pasal 91A Jo Pasal 58 ayat 6 UU RI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 62 ayat 1 jo Pasal 8 ayat 1 UU RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Saat ini, kasusnya masih ditangani polisi.
Kasus serupa muncul di Pasar Bengkok, Cipondoh, Kota Tangerang. Polres Metro Tangerang menangkap dua pedagang yang diduga daging oplosan berinisial AD dan RT pada Senin (18/5).
ADVERTISEMENT
Kapolresta Tangerang Kota Kombes Pol Sugeng Hariyanto mengatakan AD dan RT mengoplos daging babi dengan sapi itu sejak Maret 2020. Polisi dalam kasus ini menyita 500 kilogram daging babi siap edar.
Kapolresta Tangerang Kota Kombes Pol Sugeng Hariyanto memperlihatkan daging sapi oplosan babi. Foto: Dok. Istimewa
AD dan RT diduga mengoplos daging itu dengan komposisi: 30 persen daging sapi dan 70 persen daging babi. Diduga, mereka mendapat asupan daging babi dari Palembang berasal dari seorang suplier berinisial AH.
Mereka menjual daging per kg dengan harga Rp 70 ribu. Sementara harga daging sapi utuh ialah Rp 110 ribu per kg. Mereka bisa menjual 50 kg per hari.
Kedua tersangka dijerat pasal 91A juncto pasal 58 ayat (6) UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta dikenakan juga Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
ADVERTISEMENT
***
Berdasarkan penelusuran, kasus yang mirip juga terjadi di beberapa daerah lain. Misalnya di Lubuklinggau pada 2017; di Jenggawah, Jember, pada 2017; hingga di Tanjung Balai, Palembang, pada 2019.
Namun, tidak ditemukan pemberitaan lebih lanjut dari perkara-perkara itu. Penelusuran dari situs pengadilan setempat pun tak ditemukan hasilnya.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona