Abdul Menolak Menyerah, Di Usia 79 Tahun Tetap Semangat Mencari Uang

5 Januari 2017 7:41 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pak Abdul menunjukkan salah satu dagangannya (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pak Abdul menunjukkan salah satu dagangannya (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Lelaki tua itu menyeka keringatnya, menatap lusinan pasang kaki yang lewat di depan dagangannya. Rambutnya yang memutih tersembul di balik peci hitam, menjadi saksi umur yang tak lagi muda.
ADVERTISEMENT
Deretan korek api berbagai jenis berjajar rapi di atas terpal merah yang digelar di emperan toko. Harganya beragam, berkisar Rp 20 hingga Rp 35 ribu. Walau cukup murah, dagangan lelaki tua ini rupanya tidak cukup untuk menarik perhatian pengunjung, yang lalu lalang di tengah teriknya panas matahari di Jatinegara, Jaktim, Rabu (4/1).
Pak Abdul merapikan dagangannya (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pak Abdul merapikan dagangannya (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Namanya Abdul, perantau asal Padang ini tetap semangat menjajakan korek api di emperan toko meski usia tak lagi muda. Ketujuh anaknya sudah dewasa, istrinya telah mendahuluinya menghadap Tuhan, teman-temannya sudah berguguran dimakan zaman, namun ia tetap pada prinsipnya: hidup dengan usaha sendiri.
79 Tahun lalu ia dilahirkan di Tanah Minang, menginjak usia 18 tahun, Abdul muda lalu memutuskan merantau ke Jambi. Kota demi kota di Sumatera dia jelajahi dan berlanjut ke tanah Jawa. Abdul mencari jati diri dan kehidupan sejati, hingga di usia 20 tahun dia menemukan secercah kehidupan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Salah Satu desain korek yang dijual Pak Abdul (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Salah Satu desain korek yang dijual Pak Abdul (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
"Saya dulu berjualan bahan celana di Senen. Waktu itu proyek Pasar Senen belum ada. Mobil pun paling hanya satu-dua milik pemerintah," ungkapnya bernostalgia, sesekali memamerkan foto tua, kenangan masa muda yang selalu ia bawa.
Lima tahun ia bekerja di Senen, hingga terkena gusur, mengalah untuk pembangunan. Ia berpindah ke Jatinegara, Jakarta Timur. Area perdagangan strategis.
"Waktu itu jualan dua jam saja cukup," ujarnya sambil tertawa getir. Bagaimana tidak, ketika tubuhnya mulai renta, ia justru harus berdagang dari jam 10 pagi hingga 6 sore demi sejumlah uang untuk hidup.
Pak Abdul saat hendak membuka lapak (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pak Abdul saat hendak membuka lapak (Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan)
Sayangnya, kejayaannya waktu itu tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1990 Pasar Jatinegara mengalami kebakaran hebat. Ia terpaksa kehilangan mata pencahariannya dan berpindah mengais rejeki dengan berdagang di pinggir jalan.
ADVERTISEMENT
"Baru tujuh tahun lalu saya memutuskan menjual korek api. Itu pun dagangannya tidak saya bawa pulang, saya titipkan. Sakit punggung saya untuk mengangkat beban berat," katanya sedih. 
Sore menjelang, korek dagangan Abdul hanya laku enam buah. Harganya perbuah Rp 20 ribu, itupun terpaksa dia jual dengan harga termurah kepada seorang pembeli yang ngotot menawar tanpa belas kasihan. Tapi ia tetap ikhlas dan bersyukur. Paling tidak hari ini ia masih bisa mengantongi uang sekadar untuk mentraktir jajan cucunya. Sehari korek yang biasa dia jual berjumlah 5-10, dengan keuntungan per buah Rp 7 ribu.
ADVERTISEMENT
Begitulah Abdul, lelaki penjual korek api di Jatinegara. Dengan tertatih-tatih, ia menitipkan dagangannya ke warung sebelah, bersiap pulang bersama dengan sinar matahari yang mulai tenggelam.