Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
ADVERTISEMENT
Bencana bisa menghancurkan, tapi juga bisa menyatukan. Bahkan membuat semua pihak terbangun dan sadar apa yang seharusnya dilakukan sejak awal. Itulah salah satu hal yang terjadi pasca tsunami Aceh 13 tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Gempa berkekuatan 9,1 SR yang berpusat di dasar laut, 20 sampai 25 kilometer lepas pantai barat daya Sumatra, membawa serta gelombang tsunami. Getaran gempa pada pukul 07.59 waktu setempat bahkan terasa hingga daratan Afrika beberapa jam kemudian.
Gempa dahsyat disertasi tsunami pun menjadi malapetaka yang melanda, mulai dari Khao Lak di Thailand, sebagian wilayah di Sri Lanka serta India, dan paling parah terjadi di Aceh, Indonesia.
Menurut Worldbank , gempa dan tsunami itu secara keseluruhan merenggut tak kurang dari 286.000 korban jiwa. Jumlah korban itu didominasi dari penduduk Aceh yang mencapai 221.000 orang meninggal dunia atau hilang tak bisa ditemukan, dan menyebabkan lebih dari 500.000 orang diungsikan.
Meski kenangan bencana tsunami itu menjadi sejarah pahit--terutama bagi masyarakat Aceh, namun kemudian terbit asa dan tergebrak kesadaran akan ancaman bencana. Bukan hanya bagi warga Aceh, namun Indonesia secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Selepas bencana, Indonesia banyak berbenah. Proses rekonstruksi gencar digalakkan. Banyak pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah Indonesia, masyarakat, hingga lembaga donor internasional. Semuanya bahu membahu menggalang dana--hingga terkumpul hampir 7 miliar dolar AS (Rp 70 triliun) dan membangun kembali Aceh.
Di samping gotong royong secara material, tsunami Aceh juga menjadi titik balik kesadaran Indonesia--sebagai bangsa dan negara--akan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Ketika bencana itu terjadi, belum ada sistem peringatan dini tsunami di wilayah Samudera Hindia, juga belum ada lembaga khusus untuk penanggulangan bencana di wilayah yang tergolong rawan bencana ini.
Indonesia pun mengambil jalan dengan menggandeng negara-negara kawasan Samudera Hindia untuk berkomitmen merancang dan menerapkan sistem peringatan dini tsunami dan mitigasi tsunami.
ADVERTISEMENT
Kemudian dibentuk Indonesia Disaster Fund yang menyontek Multi Donor Fund (MDF) --yang dikelola Bank Dunia dan berhasil menyumbang 10 persen bantuan dana untuk Tsunami Aceh.
Pelajaran yang didapat dari MDF kemudian diaplikasikan di Indonesia, di antaranya pada tahapan rekonstruksi dalam pembangunan kembali rumah dan masyarakat, infrastuktur, hingga ekonomi. Proses pembangunan dilakukan dengan menerapkan pendekatan berbasis pemulihan masyarakat dan pengaplikasian unsur lintas sektor dalam risiko penanggulangan bencana baik dari segi gender, perlindungan hidup, sampai peningkatan mutu.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias (BRR NAD-Nias) kemudian didirikan pada 16 April 2005 dengan melibatkan sekitar 900 organisasi di seluruh dunia. Lembaga khusus ini dikepalai oleh Kuntoro Mangkusubroto dan menjadi “pangkalan” keluar masuknya dana dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Setelah lebih dari lima tahun berdiri, BRR menyelesaikan tugasnya pada 2009. Alokasi dana sekitar 6,7 juta dolar AS (Rp 67 triliun saat itu) turut berkontribusi membangun lebih dari 140.000 rumah, 1.759 sekolah, 363 jembatan, dan 13 bandara di Aceh.
Dalam prosesnya, pembangunan tidak serta merta berjalan mulus. Masalah ketidakmerataan bantuan, macetnya proyek, kisruh akibat pemetaan hak milik tanah, hingga keributan di kalangan masyarakat terjadi.
Berbagai masalah itu diungkapkan salah satu pekerja bantuan, Ibnu Mundzir. "Beberapa orang menyebutkan, sebelum tsunami mereka adalah satu keluarga, satu komunitas, namun setelah itu banyak bantuan datang ke masyarakat dan terkadang pendistribusiannya tidak cukup adil," kata Mundzir sebagaimana dilansir The Guardian.
"Anggota masyarakat saling bersaing satu sama lain,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Hal lainnya yang patut diapresiasi adalah pedoman penanganan bencana yang diterbitkan BRR. Pedoman tersebut terangkum dalam "10 Pelajaran Manajemen untuk Pemerintahan Tuan Rumah yang Mengkoordinasikan Rekonstruksi Pasca-Bencana."
Perhatian serius pemerintah Indonesia akan ancaman bencana ini kemudian diwujudkan secara resmi dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 26 Januari 2008, tiga tahun setelah tsunami Aceh.
Perkembangan penelitian atas kebencanaan juga mulai tumbuh dan berkembang pesat, yang kemudian diharapkan menjadi “angin segar” atas meningkatnya pengetahuan serta kesadaran bencana di Indonesia.
Satu di antara dampak terbesar lain pasca tsunami Aceh adalah terbukanya peluang perdamaian di Aceh. Yaitu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI.
Konflik GAM yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun sejak 1976 itu akhirnya mencari cara damai setelah bencana tsunami yang meluluhlantakkan terjadi.
ADVERTISEMENT
Kuasa politik yang terpusat dan rezim otoriter, eksploitasi sumber daya alam, hingga penindasan dan pelanggaran HAM, disebut sebagai sumber ketidakpuasan masyarakat yang mendorong lahirnya GAM. Gerakan yang dikenal juga dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) ini dipimpin oleh Hasan Tiro selama hampir tiga dekade.
Selama 30 tahun, konflik GAM telah merenggut nyawa setidaknya 15.000 jiwa. Setelah bencana tsunami, kelompok GAM kemudian memutuskan untuk melakukan gencatan senjata.
Michael Renner dan Zoe Chafe dalam “Membalikkan Bencana Menjadi Peluang Perdamaian” pada Worldwatch Institute, State of World 2006, mengungkap tsunami memberi kesempatan penting bagi perubahan dan perdamaian di Aceh.
Pada Januari sampai Juli 2005 setidaknya lima putaran negosiasi berlangsung di Helsinki, Finlandia. Pertemuan itu dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Setelah 7 bulan 20 hari, kesepakatan pelucutan senjata dan pernyataan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia pun tercapai pada 15 Agustus 2005
ADVERTISEMENT
Perjanjian damai itu menjadi awal yang baru bagi masa depan “Serambi Mekkah”-nya Indonesia itu.
Seorang warga Aceh menceritakan kepada The Guardian, selama masa konflik terjadi, ia terbiasa melihat mayat di jalan pada pagi hari. Ia membalik jasad itu hanya untuk memeriksa apakah mereka kerabatnya atau bukan. Namun setelah konflik berakhir, ia mengaku Aceh menjadi lebih baik. Bukan karena jalan atau gedung rumah sakit baru yang masih berkilau, tapi karena ada kedamaian.
Raisa Kamila, Peneliti dan Sejarawan Aceh, melihat upaya perdamaian di sana terjadi atas kehendak yang lebih besar dibanding baku hantam golongan, yaitu kepentingan masyarakat Aceh.
“Ini orang-orang meninggal, ini banyak rumah hancur, makanya kita harus mengutamakan (mereka) nih sama orang-orang yang enggak ada urusan GAM atau TNI. Oke, rekonsiliasi jalan, maka harus berdamai dong. Gak mungkin kan pas bangun rumah tiba-tiba kontak senjata,” kata Kamila kepada kumparan, Senin (25/12).
ADVERTISEMENT
Ia juga mengemukakan, tsunami yang terjadi banyak dijadikan masyarakat sebagai peringatan untuk lebih mawas diri.
“Banyak yang menafsirkan setelah tsunami itu sebagai azab. Jadi, karena itu, orang-orang harus lebih shaleh, lebih taat, kontrol dirinya harus lebih besar,” paparnya.
Terlepas dari pro dan kontra, menurut Kamila, penerapan syariat Islam turut berperan dalam perilaku masyarakat Aceh dengan kesadaran agar tidak terkena karma atau azab --kembali terjadi bencana-- jika melakukan penyimpangan.
“Misalnya di kampung-kampung, ada plang gitu kalau kita masuk kayak di sini itu, dilarang berdua-duaan, melakukan zina, hindarilah zina, atau denda untuk orang yang berdua-duaan, 2 ekor kambing,” Kamila mencontohkan.
Baginya, imbas langkah perdamaian itu membuka isolasi yang terjadi di Aceh. Sehingga pembangunan, investasi, dan integrasi ekonomi Aceh dengan daerah lain di Indonesia dan dunia mulai terjalin.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ia tidak menyangkal ketimpangan sosial serta pengangguran di Aceh masih menjadi masalah serius hingga kini yang perlu segera dibenahi.
“Terus ini bagaimana nih kelompok-kelompok pemuda yang gak punya pekerjaan, ini nih bagaimana cara menyerap mereka supaya enggak menjadi penyebab faktor yang menimbulkan konflik lagi --terkait banyak eks GAM yang sulit mendapatkan pekerjaan,” katanya.
Selain itu, akses di Aceh juga belum sepenuhnya didukung untuk perkembangan dan kemajuan bagi generasi muda Aceh.
“Dibatasi sih enggak, misalnya sih kita enggak dilarang sekolah ke luar negeri atau membaca, tapi enggak didukung juga, kecuali misalnya beasiswa model-model LPDP tapi setelah itu enggak jelas. Mekanisme gak jelas,” ucap Kamila yang juga penerima beasiswa LPDP jurusan sejarah Universiteit Leiden 2016.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Kamila tetap optimis atas masa depan Aceh yang lebih baik jika adanya pembangunan baik dari material ataupun mental.
“Bisa kita mulai sesama warga Aceh ya udah kerja bareng. Tapi emang gak mudah ya. Makanya memelihara harapan-harapan itu enggak mudah apalagi mewujudkannya, tapi saya optimis,” pungkasnya.
Maka, memelihara asa di Aceh pasca 13 tahun tsunami ialah perjuangan meningkatkan kesejahteraan, menjaga moral, dan mental hingga mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan.
Ya, tugas kita bersama untuk kepentingan bersama.
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !