Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Namanya tak sebesar Mohammad Hatta, namun jasanya yang tak terkira itu, setidaknya menurut kami, layak disejajarkan dengan sang proklamator. Dia adalah Ir Sutami.
ADVERTISEMENT
Sosoknya asing, namanya jarang tersiar ke publik, apalagi sampai ke telinga anak-anak generasi sekarang. Maklum saja, Sutami memang sosok yang rendah hati, sederhana, dan lebih suka bekerja. Persis seperti Bung Hatta.
Namun, beberapa waktu terakhir nama Sutami muncul dan ramai diperbincangkan di media sosial dan grup-grup jaringan komunikasi. Pesan berantai tentang sosoknya yang begitu fenomenal begitu menarik perhatian.
Sosok Sutami disebut-sebut sebagai teladan karena mampu tidak korupsi walaupun mengepalai sejumlah mega proyek.
Akan tetapi, masih sedikit di antara mereka yang tahu secara mendalam, siapa sosok Sutami dan apa kontribusinya untuk negeri ini.
Sekarang pertanyaan berikutnya: kamu pastinya tahu Jembatan Semanggi yang berbentuk bak daun semanggi, bukan? Juga familiar dengan gedung kura-kura di Kompleks DPR, Senayan, kan? Nah, Sutami adalah otak di balik pembangunan dua ikon Jakarta tersebut.
Sutami merupakan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang PUPR) di dua zaman, Orde Lama dan Orde Baru. Dialah yang merancang dua trademark Jakarta tadi.
ADVERTISEMENT
Istri tercinta mendiang Sutami, Sri Maryati, yang ditemui kumparan di kediamannya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, berbagi tentang berbagai cerita menarik dari sosok insinyur yang lahir di Solo, pada 19 Oktober 1928, itu.
"Bapak biasa-biasa saja. Dia tahunya cuma kerja, kerja. Ngabdi sama negoro," kata Sri mengawali pembicaraan.
Sri tampil begitu bugar di hari itu. Meski usianya sudah menyentuh angka 78, Sri tetap berupaya tampil elegan: bersanggul dan berkebaya hitam.
Dengan suaranya yang masih jernih, Sri kemudian mengenang saat Sutami ditawari membangun mega proyek Jembatan Semanggi oleh Presiden Sukarno tahun 1961. Saat itu usia Sutami masih begitu muda, 33 tahun.
Kala itu Sutami adalah Direktur PT Hutama Karya. Namun entah apa yang Bung Karno pikirkan saat itu, mengapa ia menunjuk anak muda dibanding arsitek senior yang juga eks Menteri PUTL Prof Ir Roosenoo Soerjohadikoesoemo sebagai kepala proyek.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu Pak Karno nyuruh Bapak ke Jerman tahun 1961. Sukarno bilang kamu ke Jerman, nah di sana ada jembatan kayak daun. Dia (Sutami) lalu ke Jerman sama arsitek terkenal dari ITB. Habis itu dia laporan ke Pak Karno, "Iya, Pak, betul ada". Terus Pak Karno bilang, ya sudah kamu bikin. Semuanya yang bikin kamu. Pak Karno menyerahkan sepenuhnya ke beliau (Sutami)," kenang Sri tentang suaminya yang lulusan Sekolah Tinggi Tekhnik Bandung (sekarang ITB) itu.
Kemudian jadilah jembatan yang mirip daun semanggi. Karena bentuknya tersebut, kemudian jembatan tersebut dinamai Jembatan Semanggi.
Saat itu memang Bung Karno tengah menggalakkan pembangunan besar-besaran. Maklum saja, saat itu Jakarta akan menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Jembatan Semanggi adalah salah satu solusi Bung Karno untuk mengurai kemacetan di kawasan protokol Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Pokoknya apa kata Sutami itu kata saya. Begitu kata Bung Karno," ungkap dia.
Di usia 33 tahun, Sutami menemukan sebuah teknik konstruksi yang begitu mengagumkan. Teknik yang diperkenalkan Sutami terkait dengan perbetonan. Teknik tersebut dikenal dengan istilah prestressed-concrete.
Emir Sanaf, sosok yang semasa muda sering berdiskusi dengan Sutami sehingga sudah dianggap anak sendiri oleh Sutami, mengungkapkan, teknik ini bisa meregangkan beton.
Saat itu Bung Karno sempat mendapatkan desain dari Roosenoo, namun ide arsitek senior tersebut ditolak. Alasannya, karena Roosenoo menancapkan tiang-tiang yang begitu banyak sehingga menurut Bung Karno tidak enak dipandang.
"Bung Karno bilang desain Roosenoo seperti 'kaki seribu', tidak indah. Lalu Sutami kemudian memperkenalkan teknik barum beton konvensional tanpa teknik prestressed itu bentangnya cuma 25 meter, tapi kalau ada prestressed concret, ada kabel yang menegang maka menjadi 50 meter. Itu pertama kali di Indonesia, perguruan tinggi belum mengajarkan. Seorang insinyur umur 33 tahun, ini kepeloporan," kata Emir saat diwawancarai terpisah di kediamannya di Buahbatu, Bandung, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Tak cuma Jembatan Semanggi, monumen Pembebasan Irian Barat, Gedung Conefo (yang sekarang digunakan sebagai gedung DPR/MPR) hingga bendungan Karangates, merupakan sederet buah karya Sutami.
Bendungan Karangkates dikenal juga dengan Bendungan Sutami, Waduk Karangkates. Bendungan ini merupakan bendungan ini terbentuk untuk menahan aliran Sungai Brantas, yang kemudian airnya digunakan untuk kepentingan irigasi di wilayah sungai.
Kembali ke cerita istri tercinta Sutami. Bagi Sri, Sutami adalah sosok spesial. Pendiam saat di rumah, tak banyak tingkah, dan murah senyum. Meski karyanya banyak yang fenomenal, tapi Sutami tetaplah Sutami yang sederhana.
"Bapak enggak model seneng wah-wahan. Pokoknya Bapak itu kerja kerja untuk negoro. Tidak ada pamrih enggak apa-apa, gaji sedikit, oke. Yang penting pengabdian. Pokonya kerja, sehat, selamat," ungkap dia.
ADVERTISEMENT
"Saya juga enggak pernah merasa gimana-gimana. Saya senang kalau Jembatan Semanggi bisa bermanfaat sampai sekarang."
Saat mewawancarai Sri, turut hadir 3 putri kesayangan Sutami. Mereka adalah Suzy Indrawati, Dewi Susilowati, dan Diah Irawati. Ketiganya begitu pemalu, awalnya kumparan kesulitan mengabadikan momen saat mengenang sang ayah lewat lensa kamera.
Akhirnya anak kedua, Dewi, yang berkenan berbagi dengan kumparan. Sesekali sang bunda menimpali cerita Dewi tentang Sutami.
Senada dengan Sri, menurut Dewi, ayahnya adalah sosok yang gemar bekerja dalam diam. Tak neko-neko, tak pernah marah, dan begitu penyayang.
"Kalau saya memang mengingatnya sebagai sosok yang pendiam. Panutan saya, jujur, on time kalau janji. Misalnya kita mau pergi, Bapak yang siap duluan. Prinsip beliau itu yang kami contoh semua. Tanggung jawabnya, pekerja keras, lebih memikirkan rakyat," kenang Dewi.
ADVERTISEMENT
Tak banyak hal yang diingat Dewi tentang Sutami. Sebab, saat itu ia masih duduk di bangku SMA. Sebab, Sutami jarang berkomunikasi dengan keluarganya, termasuk anak-anaknya.
Beberapa hari menjelang ulang tahun ke-89 Sutami pada 19 Oktober, Dewi menganggap nilai-nilai luhur yang diajarkan sang ayah patut dicontoh oleh generasi muda, bahkan pejabat yang hidup saat ini.
"Pesan yang paling diingat dari Bapak adalah nomor 1 agama, nomor 2 ini (pendidikan). Sampai sebelum meninggal pun kita duduk berjejer terus dibisikkan satu-satu, yang penting itu jangan ninggalin salat dan belajar," tutur Dewi.