Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Siang itu, Selasa (3/12), aktivitas masyarakat di Kampung Kambala berbeda dari biasanya. Sadiyah Samai dan tiga perempuan lainnya, misalnya, sedang sibuk menyiapkan olahan teripang di belakang rumah mereka yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pantai.
ADVERTISEMENT
Mereka membagi beberapa jenis teripang hasil tangkapan di ember yang berbeda. Ada teripang gosok, teripang karet, teripang benang, dan teripang air.
Semua teripang itu bisa dikonsumsi atau dijual. Tapi sebelumnya harus diolah dulu. Caranya, dengan direbus dalam air selama 1 jam, lalu ditaruh di asarang (tempat penguapan) selama 24 jam dengan api yang tetap terjaga. Selanjutnya, baru dijemur paling lama 2 hari.
"Kalau sudah dikeringkan nanti baru dijual. Ada pembeli dari kampung, orang Buton, lalu dijual ke kota," ujar Sadiyah kepada kumparan, Selasa (3/12) di Kampung Kambala.
Di kampung yang terletak di Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, itu teripang adalah hasil alam yang spesial. Tidak setiap hari warga bisa mengambilnya di lautan lantaran terkena aturan adat setempat.
ADVERTISEMENT
Warga Kampung Kambala, sebagaimana warga di Papua dan Maluku secara umum, punya adat khas yang dikenal sebagai Sasi. Itu adalah sebuah praktik menyetop pengambilan jenis hasil laut tertentu, di wilayah tertentu, dan dalam jangka waktu tertentu. Di kampung Kambala, teripang yang jadi objek Sasi.
Kebetulan, 3 hari sebelumnya masyarakat Kampung Kambala melakukan upacara Buka Sasi di wilayah petuanan (wilayah penguasaan marga) Uriepa, salah satu marga di sana. Dengan itu, dibuka pulalah kesempatan bagi Sadiyah dan seluruh warga kampung untuk mencari teripang hingga upacara Tutup Sasi dihelat.
Kalau sudah begitu, warga berlomba-lomba membeli bensin, menyalakan kapal, lalu pergi ke laut untuk mencari teripang. Sadiyah cerita, tua-muda, anak-anak atau orang dewasa, bapak atau mama semua ikut mencari teripang. Ada yang cuma mengumpulkan di pinggir pantai saat air surut hingga menyelam di lautan.
ADVERTISEMENT
"Buka Sasi biasanya sebulan. Biasanya, ada yang buat tenda untuk nyari teripang. Kalau sudah Tutup Sasi pulang lagi. Soalnya sayang bensin kalau (pulang pergi) naik kapal harus lewat 1 dusun," kata perempuan lulusan SMA itu.
Bagi masyarakat Kampung Kambala, adat Sasi begitu dihormati. Akan tetapi, bukan karena semata-mata sebagai adat, melainkan juga karena manfaatnya. Karena itu, Sadiyah pun menganggap mengambil teripang yang masih kecil tidak baik bagi kelestarian hewan laut tersebut.
"Dilarang masih kecil. Habis dibiarkan dulu, baru kalau sudah besar boleh ambil. Kalau masih kecil bisa punah," katanya.
Hal senada diucapkan salah satu juru bicara tetua marga di Kampung Kambala Maulud Sawoka. Dia mengatakan, Sasi memang dihelat untuk mengamankan potensi alam.
ADVERTISEMENT
"Supaya tak ada yang ambil. Kalau sudah Sasi kita lindungi potensi macam teripang. Masyarakat tidak boleh menyelam (cari teripang)," ujarnya.
Maulud menjelaskan, lama Sasi ditutup bergantung pada petuanan masing-masing. Katanya, ada yang 5 tahun hingga 7 tahun. Kalau melanggar Sasi, akan kena denda adat.
"Kalau Tutup Sasi) dia ambil, hukuman bisa Rp 10 juta. Kan sebelumnya, kalau Buka dan Tutup Sasi, masyarakat kumpul dikasih tahu ada Sasi," terangnya.
Ayah sembilan anak itu mengungkap, pernah ada kejadian warga Kampung Kambala dihukum karena melanggar Sasi. Ia langsung kena denda Rp 10 juta.
Sekretaris Kampung Kambala Safar Naroba mengibaratkan mengambil hasil alam yang sedang Sasi seperti membuka pakaian istri orang lain. Bahkan, denda melanggar Sasi bisa lebih dari Rp 10 juta tergantung penetapan oleh petuanan.
ADVERTISEMENT
"Adat ini berjalan seiring dengan pemerintah. (Kalau ada yang melanggar) berurusan dengan adat dulu, kalau memang lewat tokoh adat diurus tidak bisa, berarti dinaikkan ke pihak pemerintah. Kalau tidak ke kepala kampung, bahkan ke polisi pun bisa karena itu melanggar aturan adat," kata Safar.
Menurut Safar, tradisi Sasi di Kampung Kambala sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Bahkan sebelum pemerintah desa ada.
"Kapan-kapan Teripang bisa saja hilang apabila petuanan cara kerja salah (mengambil teripang). Makanya harus di-Sasi dan dijaga dengan baik," pungkasnya.
Kepada kumparan, Sabtu (7/12), Peneliti World Resources Institute Indonesia Julia Kalmirah menjelaskan, Sasi sebagai upaya masyarakat Papua memproteksi komoditas ekonomi yang dianggap vital. Seiring dengan jumlah masyarakat yang semakin bertambah, Sasi penting untuk memberi batasan komoditas yang diambil.
ADVERTISEMENT
"Nanti Sasi dibuka itu bukan semata mata untuk konsumsi, tapi juga ekonomi. Ekonomi yang menggunakan adat. Kadang kita selalu memaknai adat itu ritual, mistis, bukan itu. Tapi karena adat itulah mereka bertahan hidup," ujar Julia.