Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negeri yang kaya. Tidak hanya sumber alamnya, tetapi juga keanekaragaman hewan. Berdasarkan temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia merupakan rumah bagi 10 persen jenis satwa yang ada di dunia. Mulai dari amfibi, reptil, hingga mamalia.
ADVERTISEMENT
Salah satu wilayah penyumbang keragaman satwa adalah Papua . Sampai dengan 2019, LIPI mencatat sebanyak 241 spesies mamalia ditemukan di Papua. Selain itu, ada juga spesies baru, seperti Katak Pinokio atau Litoria pinocchio. Hewan tersebut merupakan endemik Papua.
Meski begitu, sejumlah satwa di Papua mulai terancam populasinya karena beberapa faktor. Seperti hilangnya keragaman genetika, laju kematian spesies yang tinggi, serta perubahan lingkungan karena pembakaran lahan dan perubahan iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan LIPI merilis sejumlah satwa di Papua yang keberadaannya terancam dan masuk dalam daftar yang harus dilindungi (2019). Berikut adalah daftar spesiesnya langka beserta ciri-cirinya.
Kura-kura ini hidup di Papua bagian selatan. Termasuk di Papua Nugini, dan Australia bagian Utara. LIPI mengklasifikasikan hewan ini dengan status ‘endangered’ (EN), atau sedang menuju kepunahan.
ADVERTISEMENT
Di Papua, pada era 1990-an, total telur Labi-labi Moncong Babi berkisar antara 1,5 hingga 2 juta butir. Berdasarkan catatan lembaga konservasi internasional, International Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi kura-kura ini turun hingga 57 persen dalam kurun waktu 1980-2010.
Hewan dengan nama ilmiah Carettochelys insculpta ini memiliki ciri-ciri khusus. Seperti bentuk tempurung yang bulat dengan tepi bergerigi pada saat anak-anak. Gerigi tersebut akan hilang ketika mencapai usia dewasa.
Sementara itu, kaki bagian depan dan belakang memiliki selaput yang mirip dengan penyu. Yang menjadi ciri khas dari kura-kura ini adalah bentuk ujung moncongnya yang mirip dengan moncong babi dengan lubang hidung besar.
Seperti namanya, burung ini menghuni di Gunung Arfak, Papua Barat dan Semenanjung Vogelkop yang terletak di bagian barat Papua Barat. Status burung kicau ini adalah vulnerable (VU). Artinya, ada indikasi burung ini akan punah di alam liar.
ADVERTISEMENT
Secara global, populasi ini tidak lebih dari 10 ribu ekor. IUCN memperkirakan, Bondol Arfak berjumlah 2,5 ribu hingga 9,9 ribu ekor. Untuk spesies yang dewasa berkisar antara 1,5-1,7 ribu ekor.
Secara fisik, Bondol Arfak ini memiliki panjang 10 centimeter. Warna dari bagian dahi, dagu, dan sebagian besar wajah didominasi oleh warna putih. Sementara itu, warna kepala, tengkuk, dan tenggorokan lebih ke abu-abu.
Warna bola matanya cokelat tua, dengan paruh abu-abu. Untuk ekor dan bulunya lebih didominasi warna cokelat kehitaman dengan pinggiran kuning. Sementara di bagian perut, warna bulunya adalah kayu manis.
LIPI menyebut, tidak ada perbedaan warna antara spesies jantan dan betina.
Salah satu spesies burung Cendrawasih yang akan punah adalah Cendrawasih Elok. Dibandingkan dengan Cendrawasih yang lainnya, burung ini didominasi oleh warna hitam dan kuning. Ciri khas dari hewan ini adalah gelambir besar yang berwarna kuning-oranye. Warna tersebut mirip di bagian pinggiran sayapnya.
ADVERTISEMENT
Secara fisik, Cendrawasih elok jantan dan betina memiliki perbedaan. Untuk yang jantan, panjang tubuhnya sekitar 40 centimeter. Sementara panjang untuk betina bervariasi, antara 35-40 centimeter.
Untuk berat badan, lebih berbobot Cendrawasih elok jantan, sekitar 242-357 gram. Sementara untuk betinanya hanya berkisar antara 190 hingga 230 gram.
Jumlah populasi cendrawasih ini berkisar antara 1,5 ribu hingga 9,999 untuk kategori dewasa.
Hewan mamalia ini memiliki warna yang khas dibandingkan dengan kuskus lainnya. Di bagian tubuhnya terdapat bintik hitam dengan pola yang tidak jelas. Untuk pupil matanya memiliki celah vertikal dengan bola mata berwarna merah.
Baik jantan dan betina, berat badan kuskus ini mencapai 2,65 kilogram. Untuk panjangnya berkisar 497-560 milimeter (jantan) dan 472 milimeter (betina). Untuk panjang ekor kuskus jantan berkisar 492-555 milimeter dan yang betina 476 milimeter.
ADVERTISEMENT
Hewan jenis ini bisa ditemui di Waigeo, Raja Ampat, dan sebagian besar Papua Barat. IUCN mencatat hewan ini merupakan endemik di Pulau Waigeo, meski tidak ada perhitungan jumlah populasi keseluruhan.
Pada September 2016, petugas di Taman Nasional Lorentz, Nabire, melihat hewan endemik sekaligus langka, Dingiso. Dalam bahasa lokal, Dingiso artinya binatang sakral. Suku Moni percaya bahwa Dingiso merupakan leluhur mereka.
Hewan ini ditemukan di ketinggian 3.200-3.400 mdpl di kawasan Lorentz. Ciri utamanya adalah panjang kepala berkisar antara 52-81 centimeter, panjang ekor 40-94 centimeter, dengan berat antara 6,5-14,5 kilogram.
Dingiso hidup di area pepohonan dan aktif baik siang maupun malam hari. Secara sekilas, gaya berjalannya mirip dengan kanguru pohon. IUCN mencatat hewan ini sangat susah untuk ditemui. Meski begitu, belum ada informasi total keseluruhan spesies ini.
ADVERTISEMENT