Papua - Ekspedisi Mangrove

Mari Jaga Kelestarian Mangrove di Pesisir Selatan Papua Barat

13 Desember 2019 16:58 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga memancing ikan di kawasan mangrove Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
zoom-in-whitePerbesar
Warga memancing ikan di kawasan mangrove Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
ADVERTISEMENT
Sebuah perahu motor melaju menelusuri teluk Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat, Kamis (5/12). Di atasnya, 2 peneliti mangrove dari Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) dan 1 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Papua Barat mulai melakukan pengamatan.
ADVERTISEMENT
Siang itu, memang menjadi waktu yang cukup tepat untuk observasi. Itu karena, air laut mulai surut dan batang pohon mangrove yang tumbuh liar terlihat lebih jelas. Dengan seksama, 3 peneliti itu mengamati dan mendata jenis mangrove yang tumbuh di sana.
Setidaknya, ada 18 sampai 22 jenis vegetasi mangrove yang mereka temukan dalam penelusuran siang itu. Di antaranya, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum, dan berbagai jenis mangrove ikutan (pendamping).
Mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
Pengamatan yang dilakukan di Kampung Air Besar itu merupakan bagian dari Ekspedisi Mangrove yang digelar 2-17 Desember 2019. Para peneliti itu bekerja sama dengan Yayasan EcoNusa dan World Research Institute Indonesia menyusuri wilayah pesisir selatan Papua Barat. Mulai dari Kaimana, Fakfak, Teluk Bintuni, hingga Sorong Selatan untuk melihat mangrove dan pemanfaatannya oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Memang, di sejumlah wilayah seperti Kampung Air Besar, mangrove kerap dimanfaatkan masyarakat. Alasannya, ekosistem mangrove mampu menyediakan hasil perikanan bagi warga sekitar.
“Di hutan mangrove, ada hasil kepiting dan udang, masyarakat ambil dan jual. Tapi sekarang mangrove tidak selebat dulu karena sudah ada yang ditebang,” kata Kepala Kampung Air Besar, Syamsu, saat ditemui di kediamannya, Kamis (5/12).
Kepala Kampung Air Besar, Fakfak, Halim Syamsu. Foto: Agaton Kenshanahan
Syamsu menambahkan, satu warga warga bahkan bisa mendapat 50 kg kepiting bakau dalam sehari pencarian. Selain itu, batang pohon mangrove juga bisa dimanfaatkan menjadi kayu bakar hingga tiang untuk pembangunan rumah.
“Terjadi gangguan yang cukup besar untuk mangrove di sini karena mungkin letaknya berdekatan dengan kampung. (Mangrove) dimanfaatkan masyarakat untuk membangun,” ucap Peneliti Unipa, Jimmy F. Wanma saat pengamatan di hutan mangrove Kampung Air Besar.
ADVERTISEMENT
Kondisi berbeda dijumpai di Kampung Kambala, Kabupaten Kaimana. Warga di Ibu kota Distrik Buruway itu sama sekali tidak memanfaatkan mangrove sebagai penunjang kehidupan. Mangrove dibiarkan tumbuh hingga tumbang sendiri saat sudah menjulang tinggi.
Peneliti dan Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Jimmy F. Wanma mengamati mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak. Foto: Agaton Kenshanahan
Dari pengamatan tersebut, Jimmy melihat, adanya perbedaan hubungan masyarakat dengan mangrove. Karena itu, diperlukan pendekatan berbeda dari pemerintah daerah apabila hendak mengambil kebijakan soal ekosistem mangrove.
“Yang bisa kita inisiasi (di Kampung Air Besar), memberikan informasi bagaimana pentingnya mangrove menjaga pantai mereka agar tidak abrasi. Mungkin bisa juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah daerah bahwa daerah ini urgen untuk diadakan rehabilitasi mangrove,” sebut Jimmy.
Sementara, untuk daerah yang masyarakat sama sekali tak memanfaatkan mangrove, tetap perlu pendampingan khusus. Tujuannya, agar mangrove dapat dimanfaatkan demi peningkatan ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Kita punya masyarakat yang tinggal di daerah bagus dan mendapatkan hal bagus dari mangrove, tapi mereka kurang memanfaatkannya,” kata Dosen Fakultas Kehutanan di Unipa itu.
Peneliti dari Ekspedisi Mangrove 2019 berdiskusi hasil pengamatan mangrove di Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
Kepala Sub Bidang Diseminasi Kelitbangan Balitbangda Papua Barat Ezrom Batorinding menyebut, pemanfaatan mangrove di wilayah ekspedisi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Dengan begitu, mangrove bisa lestari untuk beberapa generasi ke depan.
Dia berharap, pengelolaan kawasan hutan mangrove di Papua Barat mengacu pada Perdasus Papua Barat. Dalam hal ini, terkait peraturan tentang pemanfaatan hutan secara berkelanjutan.
“Ada akses-akses masyarakat adat yang diprioritaskan di sini. Ada (ruang) untuk investasi, tapi yang penting kemudian, mengakomodir kebutuhan masyarakat adat,” katanya di atas Geladak Kapal Kurabesi Explorer usai ekspedisi, Jumat (6/12).
Peneliti Balitbangda Papua Barat Ezrom Batorinding (kiri) memotret daun mangrove. Foto: Agaton Kenshanahan
Selain itu, Ezrom mengimbau masyarakat untuk punya kesadaran akan pentingnya menjaga hutan secara umum. Jangan sampai mengalihfungsikan hutan dengan menggandeng investor yang tidak paham soal lingkungan.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah hanya bisa memberikan himbauan, bisa mensosialisasikan bahwa pentingnya menjaga kawasan mangrove untuk dimanfaatkan oleh anak-cucu kita,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, mengungkap bahwa mangrove dan hutan-hutan di Papua jadi benteng terakhir perubahan iklim dunia. Maka dari itu, ia menyebut, pemerintah wajib bertanggung jawab agar sumber penghidupan ini terjaga dan terlindungi.
Memang, berdasarkan data Conservation International Indonesia, Papua Barat saja memiliki wilayah mangrove terluas yakni 482.029 hektare. Setara 15 persen dari 3,1 juta hektare total luas mangrove di Indonesia.
“Sehingga kita tidak perlu menunggu sampai hutan Papua rusak seperti Sumatera dan Kalimantan, baru kemudian bertindak untuk menyelamatkannya,” pungkas Bustar.
Mangrove di Kampung Air Besar, Fakfak, Papua Barat. Foto: Agaton Kenshanahan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten