Nilai Luhur dalam Tradisi Seni Ukir Suku Kamoro di Papua

9 Desember 2019 10:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karya seni patung pahat Suku Kamoro yang dijual di pameran. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Karya seni patung pahat Suku Kamoro yang dijual di pameran. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
ADVERTISEMENT
Papua tak hanya dikenal dengan destinasi wisatanya yang memukau seperti Raja Ampat. Akan tetapi, mutiara dari timur Indonesia ini juga dikenal akan ragam sukunya.
ADVERTISEMENT
Selain Suku Dani dan Suku Asmat, Papua masih memiliki suku besar lain yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi dan kebudayaannya yang unik.
Seperti halnya Suku Kamoro dengan kekayaan budayanya, antara lain ritual alam, upacara adat, tarian dan lain sebagainya. Salah satu suku asli Papua yang mendiami wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika ini, ternyata juga dikenal akan kemampuan seni ukirnya yang mumpuni.
Karya seni patung pahat Suku Kamoro yang dijual di pameran. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Bahkan, tradisi mengukir dengan memakai pahatan khusus ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Berbagai karya seni ukir Suku Kamoro pun dipamerkan lewat Pameran Budaya Suku Kamoro yang digelar pada 6-7 Desember 2019 di Dharmawangsa, Jakarta.
Menurut Founder Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Luluk Intarti, setiap ukiran atau patung yang dibuat memiliki korelasi dengan marga pada tiap Suku Kamoro.
ADVERTISEMENT
"Cuma biasanya di setiap kampung ada yang namanya Taparu atau kelompok marga, nah kelompok marganya punya korelasi dengan apa, kalau sama buaya nanti motif atau ada ciri khas buaya, kalau ada korelasinya kayak ikan, ada yang berbentuk ikan. Jadi punya totem atau simbol, simbolnya bisa hewan bisa tumbuhan. Ciri dari marga itu,” ujar Luluk saat ditemui kumparan beberapa waktu lalu.
Founder Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Luluk Intarti, Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Ia pun menambahkan, setiap karya seni yang dibuat juga bergantung dengan imajinasi sang pengrajin.
"Kita enggak bisa ngomong, kampung ini apa cirinya. Tapi, semua mirip cirinya, karena based on cerita rakyat terus nanti imajinasinya kayak apa," imbuhnya.
Luluk pun mengungkapkan masing-masing karya seni ini memiliki keunikan tersendiri, dan memiliki kisah di balik ukiran tersebut. Seperti salah satunya kisah dua saudara yang bertengkar karena sebuah telur burung.
Karya seni patung dengan cerita anak kembar dan siluman ular raksasa. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Konon, pada suatu waktu, ada seorang kakak beradik yang sedang berburu ke hutan karena mereka tidak bisa mendapat hewan buruan, tiba-tiba sang kakak melihat di atas pohon tinggi ada sarang burung.
ADVERTISEMENT
Sang kakak pun menyuruh adiknya untuk memanjat sulur pohon tersebut untuk mengambil telur burung tersebut.
“Adiknya kasih turun satu telur, kakaknya bilang ‘kenapa kamu kasih turun telur yang kecil di sana kamu ambil yang besar kan?’. Adiknya bilang ‘enggak itu yang besar saya kasih turun ke bawah untuk kamu’ akhirnya keduanya bertengkar. Kakaknya potong sulur pohon tersebut dan berkata mulai sekarang kamu tinggal di atas, saya tinggal di bawah,” cerita Luluk.
Wisatawan yang tengah melihat salah satu karya seni Suku Kamoro Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Lalu, sang adik menangis di atas pohon tersebut dan mengakui kesalahannya. Tak lama kemudia, ada dua ekor ular muncul hendak membantunya turun dari pohon tersebut dengan melilitkan badanya di pohon yang lain.
“Karena ularnya kecil dia enggak mampu dan akhirnya memanggil siluman ular naga dan melilit dua pohon ini dan akhirnya dia bisa turun,” imbuh Luluk.
ADVERTISEMENT
Luluk pun mengungkapkan, ada beberapa karya seni atau ukiran yang dibuat melalui proses ritual terentu. Salah satunya adalah ukiran yang bernama ‘mbitoro’. Ia pun menjelaskan, setiap melakukan sesuatu di Kamoro biasanya dilalui ritual-ritual tertentu.
Karya seni patung pahat Suku Kamoro yang dijual di pameran. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
“Seperti yang saya bilang tadi, ada korelasi sama hewan, tumbuhan atau alam. Jadi misalnya dia mau tebang pohon, pohon itu rohnya punya korelasi dengan marga tertentu, maka dia harus panggil orang dari marga itu untuk potong pohon itu. Permisi ke leluhurnya, sambil disebutkan tujuannya apa, baru boleh dilakukan penebangan. Baru setelah ditebang, dibuat gambaran motif. Jadi ini biasanya tertentu, seperti Mbitoro harus izin leluhur,” papar Luluk.
Mbitoro sendiri merupakan salah satu karya seni yang dipamerkan sekaligus dijual dalam pameran tersebut. Patung setinggi 4-5 meter itu sendiri dijual dengan harga sekitar Rp 25 juta.
ADVERTISEMENT
Meski terbilang cukup mahal, Luluk pun mengungkapkan seluruh karya seni yang terjual di pameran tersebut akan dialokasikan untuk pelestarian budaya dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Mbitoro, karya seni patung pahat Suku Kamoro yang dijual seharga Rp 25 juta. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Selain itu, setiap ukiran atau pahatan tersebut juga akan disortir sesuai dengan klasifikasi yang ada. Biasanya, kayu besi atau kayu ulin menjadi bahan dasar dari pembuatan karya seni tersebut. Kayu tersebut dipilih karena dianggap memiliki bahan yang kuat.
“Halus tidaknya, punya cerita rakyat apa, dari sisi imajinasinya dia (seniman), bahan baku yang dipakai, pewarnaan, komposisinya sudah pas apa belum,” imbuh Luluk.
kumparan pun sempat berbincang dengan salah satu masyarakat asli Suku Kamoro sekaligus pengrajin bernama Daniel Eduardus Matameka yang berasal dari Timika dan salah satu karya yang dibuatnya diberi nama wemawe.
Salah satu pengrajin sekaligus penari dari Suku Kamoro, Daniel Eduardus Matameka. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
“Dia posisi duduk (orang), dia punya topi, semua ini kita semua pakai motifnya dari makanan khas Kamoro macam ikan, karaka (kepiting). Kalau ini kita bikin sehari saja,” cerita Daniel.
ADVERTISEMENT
Daniel pun mempelajari seni ukir dari sang ayah sejak usia 15 tahun.
Dalam pameran ini juga terdapat berbagai macam seni ukir seperti wemawe, mbitoro, pekoro plate, yamate tikiri, upao, hingga etae atau noken. Dengan total 150 pieces anyaman dan ukiran.
Kadisparbud Pemkab Mimika, Muhammad Thoha. Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
Sementara itu, menurut Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata, Pemerintah Kabupaten Mimika, Muhammad Thoha, pameran kebudayaan ini diharapkan bisa mengenalkan Suku Kamoro seluas-luasnya.
“Melalui kegiatan ini dapat mengangkat harkat dan martabat Suku Kamoro, suku asli kami di Mimika, melalui seni pahat, ukir, tari dan sebagainya. Kami harapkan akan ada event ini bisa diadakan secara berkala dan terjadwal,” pungkas Thoha.
Luluk pun mengungkapkan, bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat Suku Kamoro terdapat culture tour di mana mereka diajak untuk tinggal selama beberapa hari di sana.
Salah satu karya seni Suku Kamoro Foto: Gitario Vista Inasis/kumparan
“Mereka diajak untuk tinggal di perkampungan, di tengah-tengah masyarakat Kamoro. Menginapnya di homestay kita, bisa 3 hari 2 malam dan di-extend. Mulai dari manggul sagu, kita ke hutan manggrove cari keraka (kepiting) merasakan kehidupan masyarakat Kamoro seperti apa," tutur Luluk.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi kamu yang tertarik untuk mengikuti tur wisata tersebut kamu harus merogoh kocek cukup dalam sekitar Rp 22-23 juta, maksimum enam orang. Sudah termasuk biaya makan, penginapan, dan transportasi di sana.