Ahli di MK Sebut Pilkada Banjarbaru Malapraktik Pemilu yang Sempurna

7 Februari 2025 16:07 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Sidang gugatan Pilkada Banjarbaru memasuki pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon, Koordinator Lembaga Studi Visi Nusantara Kalimantan Selatan Muhamad Arifin dan tim kuasa hukumnya, menghadirkan tiga ahli di persidangan.
ADVERTISEMENT
Ahli pertama yakni Pengajar Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Dalam pandangannya, Pilkada Banjarbaru merupakan bentuk malapraktik yang sempurna. Hal itu bukan tanpa sebab.
Di Pilkada Banjarbaru, hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja usai pasangan calon lainnya didiskualifikasi oleh KPUD. Namun, usai diskualifikasi itu, KPU tidak memperbaharui surat suara sehingga paslon tersebut tetap masuk di surat suara.
Suara yang masuk kepada calon didiskualifikasi itu, oleh KPU dianggap tidak sah. KPU Kota Banjarbaru tidak menerapkan sistem paslon melawan kotak kosong. Hal ini yang dinilai oleh Titi sebagai malapraktik pemilu.
"Mencermati penyelenggaraan Pilkada di Kota Banjarbaru di mana Pilkada hanya diikuti satu paslon tanpa ada opsi kolong kosong sebagai ekspresi ketidaksetujuan pada calon tunggal, serta terjadinya pemaksaan untuk menghitung suara sah hanya terhadap suara pemilih yang memilih pasangan calon tunggal saja dapat dilihat sebagai bentuk malapraktik pemilu yang terjadi secara sempurna," kata Titi Anggraini saat memberikan kesaksian di MK, Jumat (7/2).
ADVERTISEMENT
"Di dalamnya terdapat manipulasi aturan, manipulasi pemilih dan manipulasi suara pemilih. Mahkamah Konstitusi sudah semestinya melakukan koreksi atas apa yang terjadi tersebut, kalau tidak kita semua secara terbuka telah membiarkan terjadinya otokrasi tertutup atau close autocracy, dan dengan pemilihan langsung yang sekadar menjadi simbol untuk mengukuhkan kekuasaan yang sewenang wenang," sambungnya.
Titi Anggraini berpose usai melaksanakan podcast A1 saat berkunjung ke kantor Kumparan di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (9/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ahli lainnya, Bambang Eka Cahya Widodo yang merupakan dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga menilai hal yang serupa. Menurut dia, Keputusan KPU yang melanjutkan pemilihan tanpa menetapkan kotak kosong dalam pemilihan itu patut dipersoalkan.
Terlebih, kata dia, KPU yang tidak mengakui suara pemilih kepada calon yang sudah didiskualifikasi, telah menjadikan suara masyarakat tidak bernilai.
"Jika dikaitkan dengan fakta bahwa keputusan menetapkan pilihan rakyat terhadap calon yang sudah didiskualifikasi sebagai suara tidak sah mengakibatkan rakyat pemilih di Pilwalkot Banjarbaru tidak lagi memiliki alternatif pilihan yang sah secara hukum," ucapnya di momen yang sama.
ADVERTISEMENT
"Keputusan tersebut tidak menghormati suara rakyat yang genuine yang sudah diberikan dengan benar menjadi tidak bernilai dan menjadi sampah," sambungnya.
Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip pemilihan umum langsung yang bebas, rahasia, jujur dan adil.
"Suara rakyat menjadi tidak bebas memilih karena hanya tersedia satu pilihan pemilu menjadi tidak adil karena suara yang tidak setuju dan pada calon yang tersisa tidak terakomodasi. Menjadi pertanyaan di sini KPU melayani siapa sebenarnya?" ucapnya.
"Sebab kalau dibilang melayani rakyat menggunakan hak pilih nyatanya hak pilih yang digunakan secara benar dan bertanggung jawab justru tidak mempunyai nilai di mata KPU sebagai penyelenggara," sambungnya.
Kemudian, alasan KPU yang menyatakan tidak mencetak surat suara ulang karena tidak cukup waktu dinilai bukan prioritas.
ADVERTISEMENT
"KPU sebenarnya bisa menetapkan tahapan pemungutan dan perhitungan suara ditunda akibat terganggunya sebagian tahapan akibat gangguan lainnya," ujarnya.
"Sehingga pilwalkot Banjarbaru bisa saja dilaksanakan sebagai pemilu lanjutan dan percetakan surat suara yang terlambat bisa dikategorikan sebagai gangguan lainnya yang mengakibatkan kapan penyelenggaraan pemilu terganggu pasal 112 ayat 1 dan 2, dengan demikian KPU tidak perlu mengorbankan hak pilih masyarakat yang sudah menggunakan hak pilihnya dengan benar," sambung dia.
Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar atau Uceng ditemui di University Club UGM, Rabu (10/7/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Hal serupa juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar. Dia menilai, Pilkada seharusnya diikuti oleh dua pasangan calon. Apa yang terjadi di Banjarbaru, dinilainya, bukan merupakan pemilihan.
"Harus diingat bahwa yang namanya pemilu itu adalah pemilihan, harus ada yang dipilih. Kalau kandidatnya cuma satu, nggak ada pilihan tuh. Itu penetapan namanya kalau cuma satu. Pemilihan itu adalah ada pilihan selain pilihan sekurang-kurangnya dua," kata dia di kesempatan yang sama.
ADVERTISEMENT