Ahli Hukum Kritisi PN Jakpus yang Tolak Gugatan 18 Korban Korupsi Bansos

28 Desember 2021 19:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara mengikuti sidang lanjutan kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara mengikuti sidang lanjutan kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan ganti rugi bansos yang diajukan 18 warga Jabodetabek untuk digabungkan dengan perkara korupsi eks Mensos Juliari Batubara dikritik. Alasan hakim bahwa locus delicti atau kejadian perkaranya yang tidak sesuai dengan gugatan pun menjadi hal yang disoroti.
ADVERTISEMENT
Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat, gugatan dari korban kepada Juliari lebih tepat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebagaimana domisili dari eks mensos itu. Sehingga gugatan tersebut tak bisa diakomodir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengkritisi putusan tersebut. Menurut Pohan, dalam sudut hukum acara pidana, keputusan hakim tersebut tidak tepat.
"Locus delicti itu apa bener hanya di satu tempat saja? tidak, locus itu bisa terjadi di beberapa tempat. Karena teori dalam menentukan lokasi tindak pidana saja juga berbeda-beda, misalnya tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat di mana perbuatan fisik dilakukan," kata Pohan dalam acara diskusi daring bertema 'Peluncuran Eksaminasi Putusan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Korban Korupsi Bansos' ditayangkan di YouTube ICW, Selasa (28/12).
Agustinus Pohan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dia mencontohkan seorang penembak memuntahkan peluru dari Tangerang, lalu korban yang ditembak ada di Jakarta Selatan. Menurut dia, maka pengadilan di dua wilayah itu sama-sama berwenang untuk mengadili kasus penembakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pohan pun menyinggung bahwa dalam KUHAP juga memungkinkan jika peradilan dilakukan di tempat di mana mayoritas saksi berada. Meski bukan di tempat kejadian atau domisili pihak tergugat.
"Sekalipun peristiwa pidananya di Tangerang tetapi saksi banyak tinggal di Bandung, bisa aja sidangnya di Bandung, demi apa? efisiensi, kalau enggak kan bikin repot orang. Ini namanya kewenangan relatif, tidak mutlak, bukan absolut," kata Pohan.
Contoh lainnya lagi, Pohan menyebut apabila persidangan akan digelar di suatu wilayah tapi wilayah tersebut mengalami banjir. Gedung pengadilan tak bisa digunakan, padahal tempat perkara dan domisili pihak-pihak terkait di daerah tersebut, tetap bisa dipindahkan ke daerah lain.
Caranya dengan MA memberikan kebijakan dengan memungkinkan diselenggarakan di tempat lain. Contoh-contoh tersebut jika dilihat dari KUHAP.
ADVERTISEMENT
Pohan kemudian mengambil sudut hukum acara perdata. Prinsipnya, kata dia, masalah locus delicti ini merupakan kewenangan relatif. Dia kembali mengambil contoh.
"Kalau kita mau cari contoh banyak orang bercerai itu sidangnya di pengadilan bukan di KTP dia, karena kadang KTP masih di Medan tapi dia sudah lama tinggal di Jakarta berdua, masa mau bercerai harus ke Medan? diajukan aja di Jakarta. Boleh enggak? boleh. Sepanjang tidak ada keberatan dari pihak lainnya," ucap Pohan.
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara usai menjalani sidang pembacaan putusan secara virtual di gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (23/8). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Diksi tak adanya keberatan dari pihak lain ini pun disinggung oleh Pohan. Sebab, dalam permohonan penggabungan perkara ini, pihak Juliari Batubara, diklaim oleh Pohan, tak pernah mengajukan keberatan.
"Nah ternyata juga, Pak Juliari sendiri tak pernah menyatakan keberatannya terhadap gugatan itu. Lah kok pengadilan yang keberatan, pihak tergugat aja enggak keberatan diem-diem aja, kok pihak pengadilan keberatan. Jadi ini mutlak menurut saya MA mesti memperbaiki," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Pohan mengatakan, penggabungan gugatan yang dilayangkan oleh 18 korban bansos ini menggunakan Pasal 98 dalam KUHAP dan Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). Dia kemudian mempertanyakan tafsir pengadilan atas Pasal 98 ini.
"Pertanyaannya pasal 98 ditafsir pengadilan, yang tadinya bertujuan membantu korban ini sepertinya membantu terdakwa, sepertinya begitu. Ini kok aneh. Pasal ini khusus memberikan keadilan bagi korban, menyeimbangkan," kata dia.
"KUHAP itu Heavy terhadap terdakwa, begitu banyak pasal melindungi terdakwa. Berapa pasal yang berikan perlindungan ke korban? sedikit sekali, itu pun disangkal oleh Pengadilan Jaksel (red: Jakpus). Tapi ya harus dihormati, nanti disangka saya melakukan tindak pidana," pungkas dia.
Gugatan ini terkait 18 warga Jabodetabek yang mengaku korban korupsi bansos. Mereka mengajukan ganti rugi dalam perkara Juliari ketika mantan Mensos itu masih disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Gugatan itu digabungkan dengan penuntutan yang dilakukan jaksa KPK.
ADVERTISEMENT
Mereka meminta ganti rugi total sebesar Rp 16 juta. Nilai tersebut berdasarkan nominal paket bansos sebesar Rp 300 ribu yang seharusnya diterima mereka.
Majelis hakim sempat memberikan akses bagi Tim Advokasi untuk melengkapi dokumen bahkan ikut sidang bersebelahan dengan JPU KPK. Namun, setelah itu, permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ditolak.
Sementara untuk Juliari, politikus PDIP itu divonis 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti menerima suap terkait pemilihan vendor bansos. Kini, mantan orang nomor satu di Kemensos itu telah resmi menjadi penghuni Lapas Klas 1 Tangerang.