Ahli Pidana soal Vonis Romy: Aneh, Penerima Suap Lebih Ringan Dibanding Pemberi

1 Mei 2020 19:52 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terpidana mantan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) K4, di Gedung KPK , Jakarta, Rabu (29/4). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana mantan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) K4, di Gedung KPK , Jakarta, Rabu (29/4). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
ADVERTISEMENT
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman Romahurmuziy jadi 1 tahun penjara masih menjadi polemik. Bukan hanya membuat Romy kemudian bebas demi hukum, tapi vonis itu dinilai tak logis secara hukum.
ADVERTISEMENT
Sebab, hukuman Romy selaku penerima suap justru lebih ringan dibanding pihak pemberi suap.
"Yang aneh dari Putusan PT DKI itu adalah hukuman penerima suap jadi lebih rendah dari penyuapnya," kata Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, kepada wartawan, Jumat (1/5).
"Bukan enggak lazim, tapi jadi enggak logis secara hukum," imbuh dia.
Terpidana mantan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy (tengah) keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) K4, di Gedung KPK , Jakarta, Rabu (29/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Romy sebelumnya divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinilai terbukti bersalah menerima suap dari dua orang terkait jual beli jabatan di Kementerian Agama.
Dengan pemotongan vonis menjadi 1 tahun penjara oleh PT DKI, hukuman Romy menjadi lebih ringan dibanding dua penyuapnya.
Keduanya ialah mantan Kakanwil Kementerian Jawa Timur, Haris Hasanudin, dan eks Kepala Kantor Kemenag Gresik, Muafaq Wirahadi. Haris dihukum 2 tahun penjara, sementara Muafaq dihukum 1,5 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Kasus keduanya sudah inkrah. Mereka sudah dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan.
Gandjar menjelaskan, ada setidaknya empat alasan kenapa ancaman pidana maksimal bagi penerima suap lebih berat dibanding penyuap.
Pertama, pejabat penerima suap merupakan kejahatan penyalahgunaan jabatan. Hal itu menjadi alasan pemberatan pidana.
Kedua, penerima mempunyai opsi menolak suap. "Apalagi kalau tahu ancaman pidananya jauh lebih berat ketimbang penyuap," ujar dia.
Ketiga, penegak hukum bisa hanya menjerat pemberi suap bila penerima suap menolak.
Keempat, bila hanya ada pemberi, maka yang terjadi ialah percobaan penyuapan. "Tapi UU memisahkan menyuap dan menerima suap sebagai kejahatan berdiri sendiri-sendiri," ujar Gandjar.
Terdapat empat alasan yang jadi pertimbangan Majelis Banding PT DKI memotong hukuman Romy. Salah satunya soal uang Rp 250 juta yang diterima Romy.
ADVERTISEMENT
Romy dinilai sudah meminta Sekretaris DPW PPP Jatim, Norman Zein Nahdi alias Didik, mengembalikannya. Tetapi uang tersebut kemudian malah dipakai Didik untuk keperluan pribadi dalam pencalonan sebagai anggota DPR Dapil Jatim III.
Hal itu dinilai Majelis Banding tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada Romy. Meski Romy tetap terbukti menerimanya.
Terpidana mantan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy keluar dari Rumah Tahanan (Rutan) K4, di Gedung KPK , Jakarta, Rabu (29/4). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Gandjar menilai hal itu bukan merupakan pertimbangan untuk meringankan hukuman. Sebab, Romy tetap terbukti menerima suap.
"Perintah mengembalikan melalui Didik sama sekali bukan pertimbangan meringankan," ujarnya.
Dengan vonis 1 tahun penjara, Romy terhitung bebas sejak 29 April 2020. Sebab, ia sudah menjalani hukuman selama itu.
Meski demikian, kasusnya belum inkrah. KPK masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
ADVERTISEMENT
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.