Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ahli UGM Kritik Kasus Pemerkosaan di Brebes yang Berujung Damai
17 Januari 2023 19:11 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Kabar mengejutkan datang dari Brebes, Jawa Tengah. Kasus pemerkosaan anak 15 tahun yang dilakukan oleh enam pemuda berakhir dengan mediasi alias damai.
ADVERTISEMENT
Kasus pemerkosaan itu menimpa remaja putri pelajar SMP pada Desember 2022. Remaja itu dicekoki miras kemudian diperkosa seorang pemuda kenalannya dan 5 teman pemuda itu.
Setelah dimediasi sebuah LSM, kasus diselesaikan dengan damai, pelaku membayar kompensasi kepada korban. Mediasi dilakukan tanpa melibatkan polisi. Korban kini sudah diungsikan ke Jakarta.
Menanggapi kasus ini, pakar hukum pidana UGM M Fatahillah Akbar, SH, LLM, menilai kasus ini tetap harus diproses secara hukum.
"Kalau dia adalah kekerasan seksual bahkan perkosaan itu di dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memang tidak diatur secara implisit, tetapi dalam penjelasan umumnya itu, dalam penjelasan umum poin keempat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu dikatakan perkara tindak pidana seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali pelakunya anak," kata Akbar melalui sambungan telepon, Selasa (17/1).
ADVERTISEMENT
"Jadi jika dia dilakukan apalagi oleh orang dewasa, seperti dalam kasus ini, dia harus diproses secara hukum," tegasnya.
Menurut Akbar, mekanisme peradilan ini juga untuk melindungi korban. Dia mengatakan ketika korban kejahatan melaporkan kasus, maka bukan merupakan pencemaran nama baik.
"Jadi kalau ada kekerasan seksual dia harus melaporkan walaupun memang korban memang tidak mudah dalam melaporkan, tetapi paling tidak dia bisa menghubungi para pihak seperti psikolog atau psikiater," kata Akbar.
Akbar menjelaskan, kekerasan seksual jelas bukan delik aduan, kekerasan seksual yang masuk delik aduan di UU TPKS itu hanyalah yang bersifat pelecehan seksual nonfisik.
"Tapi kalau dia kekerasan seksual fisik apalagi perkosaan, nah itu delik biasa. Bahkan kita melakukan pembiaran adanya perbuatan pidana pun bisa menjadi perbuatan pidana juga begitu. Jadi, ya harus tetap dilaporkan pada intinya," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Ketika kasus telah dimediasi dan kesepakatan damai ditandatangani, maka tetap bertentangan dengan hukum. Menurut Akbar, itu tidak memenuhi klausa yang halal dan batal demi hukum.
"Tidak perlu dilaksanakan. Jadi bisa tetap dilaporkan," katanya.
SP3 Kasus di Kemenkop
Akbar juga mengomentari tentang penghentian penyidikan atau SP3 kasus dugaan kekerasan seksual di Kemenkop. Sebelumnya, empat pegawai Kemenkop diduga terlibat kekerasan seksual kepada seorang pegawai honorer.
"Ya itu kan pernah Polres itu sudah lama sebenarnya SP3-nya itu. Jadi Polresta Bogor yang menangani kasus itu mengatakan SP3 karena telah terjadi perdamaian dia menikahkan pelaku dan korban," kata Akbar.
"Nah kemudian saya memang mengusulkan salah satunya adalah kita praperadilankan saja SP3-nya. Karena perdamaian antara para pelaku, apalagi dalam kasus kekerasan seksual itu bukan alasan SP3. Karena SP3 itu hanya kalau misalnya dia bukan perbuatan pidana bukti tidak cukup ataupun ada alasan penghapus penuntutan. Nah, ini kan buktinya cukup, bahkan mereka sempat ditahan, ya berarti kan buktinya cukup," paparnya.
ADVERTISEMENT
Namun, SP3 tersebut diujipraperadilankan dan dinyatakan SP3 sah. Menurut Akbar, praperadilan itu salah karena SP3 kasus kekerasan seksual berdasarkan perdamaian seharusnya dibatalkan karena tidak memenuhi kaidah hukum acara pidana.
"Harusnya dia dibatalkan. Nah, kasus seperti itu, kasus di Kemenkop itu, seakan-akan membenarkan kasus kekerasan seksual oleh 6 orang ini. Seakan-akan perdamaian itu dapat menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Padahal di UU TPKS 12 tahun 2022 itu ditegaskan tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan melalui luar proses peradilan," ungkap Akbar.