Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Aisyah, Wahyudi dan Tragedi Tanjung Priok 1984
9 April 2017 5:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Sejarah dibungkam, mayat bergelimpangan, keadilan dibengkokkan hingga suara-suara dipaksa diam untuk sebuah propaganda Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Ingatan masyarakat Indonesia masih segar akan satu peristiwa di tahun 1998 silam. Saat mahasiswa berdemontrasi besar-besaran di seluruh penjuru negeri menuntut presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Beberapa tampak setuju. 'Ada' kekuatan besar yang dipercaya dapat membangun bangsa. Tak jarang pula, banyak yang merasa, rezim ini adalah rezim yang mencekam.
Saat mereka menganggap hak menyatakan pendapat telah dibungkam. Keadilan yang mereka cari berakhir pada moncong senjata. Empat mahasiswa gugur. Puluhan korban dan aktivis hilang entah kemana.
Jauh sebelum itu, di Jakarta Utara, tepatnya Tanjung Priok, warganya pernah merasakan 'tangis darah' yang lebih dulu. Pada 12 September 1984 , Panglima Angkatan bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan beberapa bawahannya dianggap bertanggungjawab atas kabar tewasnya ratusan demonstran akibat pamflet di musala yang mereka pasang sendiri.
ADVERTISEMENT
Pamflet tersebut berisikan kecaman terhadap pemerintah atas keputusan azas tunggal Pancasila.
Kerusuhan bermula pada 7 September 1984, Bintara Pembina Desa (Babinsa) Koja, Sersan Satu Harmanu menyerukan pencopotan pamflet terkait isinya yang bermuatan kecaman terhadap pemerintah. Seruan itu didengungkannya di Musala Assa'adah.
Esok harinya Hermanu mengajak temannya S. Samin untuk mencopot pamflet. Sulit untuk dilepas, mereka akhirnya memutuskan menutupi pamflet tersebut dengan air 'comberan'.
Tiga hari berselang, warga melalui pengurus RW menuntut permintaan maaf Hermanu. Namun, dia menolak lantaran saat itu dirinya sedang menjalankan tugas.
Motor milik Hermanu dibakar dan berujung pada penangkapan empat warga pascakejadian itu. Keempatnya yaitu Ahmad Sahih, Sofwan bin Sulaiman, Syarifudin Rambe, dan Muhammad Nur. mereka ditahan di Kodim 050231.
ADVERTISEMENT
12 September 1984, warga bersama Amir Biki menuntut pembebasan keempat rekannya yang ditahan. Pada malam harinya, Biki beserta massa mendatangi Kodim dan Polsek untuk meng-ultimatum pemerintah agar membebaskan rekannya yang ditahan tersebut.
Tak digubris, kerumunan massa kemudian bergerak, satu kelompok menuju Kodim 0502, lainnya menuju Polres Jakarta Utara. Baku tembak dari aparat pun pecah, membubarkan dan menewaskan banyak demonstran.
Dipenjara, Disiksa, Hilang
Kekacauan ini rupanya masih membekas di benak Sri Aisyah. Sang suami, Wahyudi merupakan salah satu korban Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 yang terkena tembakan di bagian kaki. Wahyudi merupakan satu dari sekian banyak pada barisan demonstran Amir Biki yang masih berjuang mencari keadilan.
"Dia sempat hilang. Dipenjara, disiksa selama kurang lebih dua tahun. Dia sekarang stress," kata Aisyah saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com) di teras rumahnya yang tak beratap.
ADVERTISEMENT
Beragam versi menyebut angka yang berbeda dalam penentuan jumlah korban. Laporan Komnas HAM dalam hasil rapat paripurna 12 Juli 2000 menyebut 24 orang tewas dan 55 orang terluka. Sementara dari sisi yang berbeda, hasil investigasi tim pencari fakta Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok (SONTAK) dan pengakuan Aisyah menyebut kisaran angka 400 korban telah tewas dalam hujan peluru malam itu.
32 tahun sudah Aisyah mengejar keadilan untuk suami dan rekan-rekannya. Setelah peristiwa berdarah tersebut, Wahyudi dipenjara, bahkan disiksa. Dirinya tak mendapatkan keadilan yang dinantikannya hingga hari ini.
Aisyah mungkin yang paling menjadi korban dari korban. Bagaimana tidak, dirinya harus mengorbankan pekerjaan dan keluarganya. Persis hingga kini saat dirinya harus menghidupi keenam orang anaknya.
ADVERTISEMENT
Suaminya kini entah pergi kemana. Terkadang dia pulang untuk sekedar menengok, tak lama, menghilang lagi.
Pikiran suaminya begitu kacau balau setelah jeruji besi puluhan tahun lalu merenggut kebebasan menyatakan pendapatnya. Begitulah Zakiah (22), anak kedua dari Sri Aisyah bertutur di kediamannya yang sebagian rubuh akibat tuanya usia rumah yang berada di Gang Kosambi, Jalan Sungai Bambu, Jakarta Utara, Sabtu (8/4).
"Kalau saya harus mengingat peristiwa itu lebih dalam lagi saat ini, mungkin saya sudah kehilangan kewarasan saya," ujar ibu enam anak itu.
Hingga kini, bantuan hukum yang diberikan pula tak cukup kuat untuk memberi Aisyah harapan untuk melanjutkan kasus ini di pengadilan. Kasus Wahyudi, suami Aisyah kini mendapatkan bantuan hukum dari kontraS.
ADVERTISEMENT
Aisyah adalah segelintir dari ribuan orang yang tengah memperjuangkan hak dan keadilan bagi dirinya dan rekannya yang bernasib sama.