Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Skandal BLBI menghantui Indonesia lebih dari 20 tahun. Mereka yang terlibat—obligor dan debitur—menunggak utang dalam jumlah besar kepada negara, dan karenanya kini tengah dikejar-kejar pemerintah.
Pemerintah RI sampai mengingatkan, utang yang satu ini tak hilang begitu saja dengan kematian. Bila si pengutang mati, anak cucunya akan ganti diburu sampai utang lunas.
Obligor yang dimaksud Menkeu Sri Mulyani adalah orang yang memiliki bank dan menjaminkannya ke pemerintah untuk mendapatkan kucuran dana BLBI saat krisis moneter menghantam Indonesia pada 1997–1998. Sementara debitur ialah individu yang berutang pada bank yang dijaminkan ke pemerintah tersebut.
Kala itu, berbarengan dengan krisis keuangan Asia 1997, bank-bank di Indonesia memang tak mampu menyediakan uang bagi masyarakat. Nilai rupiah terhadap dolar AS anjlok drastis. Kas perbankan menipis. Banyak pengusaha mengalami kesulitan karena tak bisa meminjam uang ke bank untuk membayar utang-utang mereka. Kredit macet melambung hingga Rp 10,2 triliun.
Masyarakat pun khawatir menyimpan uang di bank. Mereka beramai-ramai menarik uang dari bank, membuat bank makin kolaps. Situasi ini tak menguntungkan karena negara butuh uang masyarakat di bank guna memutar roda perekonomian. Maka, Presiden Soeharto memerintahkan Bank Indonesia untuk membantu bank-bank yang sekarat.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lantas digelontorkan. Sedikitnya 48 bank menerima suntikan dana BLBI yang totalnya bernilai Rp 144,53 triliun. Masalahnya kemudian: beberapa pemilik bank menyelewengkan dan menggelapkan dana bantuan tersebut.
Negara dirugikan Rp 138 triliun. Ya, artinya hanya Rp 6 triliun—dari total Rp 144,53 triliun—dana BLBI yang digunakan dengan tepat. Ini tentu benar-benar keterlaluan. Dan lebih kelewatan lagi karena para konglomerat yang menjadi obligor BLBI malah kabur ke luar negeri.
Sebelum kabur, mereka bilang tak mampu melunasi utang dalam jangka waktu satu bulan seperti yang kala itu diminta Presiden BJ Habibie. Akhirnya, pemerintah menetapkan dana BLBI dapat dikembalikan dalam empat tahun.
Ketika Megawati menjabat, ia memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada obligor yang membayar tunai 30% dari total kewajibannya; sementara 70% sisanya dapat dibayar dengan memberikan sertifikat bukti hak aset kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Kebijakan tersebut direspons positif oleh para obligor. Mereka merasa lebih mudah membayar pinjaman dana BLBI dalam bentuk aset perusahaan ketimbang uang tunai. Setidaknya, 23 obligor kemudian membayar dalam batas waktu yang ditetapkan.
Jumlah itu hanya sedikit di antara yang banyak. Dan Kwik Kian Gie, Kepala Bappenas saat Megawati menjabat, menentang kebijakan pemberian SKL. Ia memandang SKL berbahaya dan bakal menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Kasus BLBI tak pernah tandas. Seiring waktu, borok kian terkuak. Misalnya, ada pejabat Bank Indonesia yang ternyata bersekongkol dengan para obligor. Sebagian dari mereka yang terlibat dijatuhi hukuman, sisanya melenggang bebas, termasuk Sjamsul Nursalim yang kini penyidikan kasusnya dihentikan oleh KPK .
Dalam kelindan intrik di dalamnya, kasus BLBI yang terentang sejak awal masa Reformasi nyaris mustahil dapat tuntas sempurna.
Akankah utang BLBI dibawa mati? Ataukah Satgas BLBI bentukan Jokowi punya strategi jitu untuk menangkap para obligor dan debitur kakap?
Simak Liputan Khusus “Berburu Triliunan Tunggakan BLBI” dengan berlangganan kumparan+