Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Akar Kebencian terhadap Rohingya adalah Politik Kolonialisme Inggris
11 Desember 2023 16:54 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Inggris merupakan negara yang pernah menjajah Myanmar. Cerita tentang etnis Rohingya pun bisa dilacak dari kolonialisme Inggris di negara tersebut. Ada sejarah panjang di balik alasan militer Myanmar mengusir etnis Rohingya hingga terkatung-katung seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Semua bermula pada 1826. Kala itu, Inggris berhasil mencaplok wilayah Myanmar termasuk Arakan (Sekarang: Rakhine). Di wilayah tersebut, ada komunitas Muslim yang dikenal sebagai Rohingya. Arakan sendiri secara geografis berada di Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Bangladesh.
Salah satu kebijakan Inggris adalah memanfaatkan etnis Rohingya sebagai pekerja perkebunan maupun pertambangan. Inggris juga memanfaatkan etnis Rohingya sebagai tentara bayaran untuk melawan pemberontakan Myanmar. Sebagai gantinya, Inggris menjanjikan sebuah wilayah nasional muslim untuk Rohingya.
Dalam imajinasi Inggris, mereka ingin menjadikan wilayah Myanmar sebagai bagian dari India. Hal tersebut lalu terwujud pada 1886, Myanmar jadi sebuah provinsi dengan ibu kota di Yangoon.
Berdasarkan catatan History Maps, Masyarakat tradisional Burma berubah drastis akibat penyatuan itu. Sebab, monarki runtuh beserta adanya pemisahan agama dan negara.
ADVERTISEMENT
Nah, janji Inggris tentang wilayah nasional muslim dianggap penting oleh etnis Rohingya. Ini ada kaitannya dengan sejarah yang lebih lampau lagi mengenai Kerajaan Arakan. Dulu, kerajaan tersebut berdiri pada abad ke-9 dan mencapai puncak kejayaan pada abad ke-15. Namun pada abad ke-18, kerajaan Arakan ditaklukan oleh Kerajaan Burma.
Menurut Tathagata Dutta, seorang kandidat PhD Ilmu Sejarah di Tufts University, ada sejumlah bukti historis tentang pemanfaatan etnis Rohingya sebagai tentara pro Inggris. Salah satunya terjadi pada 1942 atau ketika Jepang mulai masuk ke Myanmar.
Dalam kolom di The Wire berjudul ‘The Rohingya Crisis Is Another Colonial Legacy’ (2019), Tathagata menyebut Inggris bahkan mempersenjatai warga sipil Rohingya untuk mengusir Jepang dari Arakhan. Kala itu, etnis Rohingya berpihak ke Inggris. Sementara warga Buddha justru bersekutu dengan Jepang untuk mengusir Inggris dari negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Tathagata merujuk sebuah surat tertanggal 4 April 1944. Surat itu ditulis Kapten S de Glanville, petugas urusan sipil yang bertanggung jawab atas Jalur Bukit Arakan. Dalam surat itu, Kapten S de Glanville mengaku kepada Brigadir RS Wilkie dari Angkatan Darat Inggris telah menyemangati warga Rohingya untuk mengambil alih wilayah.
Masih berdasarkan surat itu, pemerintah kolonial Inggris juga membentuk kelompok operasi rahasia. Kelompok ini melakukan aksi gerilya untuk menghalau Jepang. Caranya dengan membantu pengintaian.
Menurut Thagata, operasi rahasia mempersenjatai penduduk sipil Rohingya sangat destruktif. Hal itulah yang kemudian mengusik penduduk beragama Buddha. Maka, saat Jepang datang, tentara kemerdekaan Burma balik membantai muslim di Arakan.
Sebagai pembalasan, ketika Inggris maju untuk merebut kembali Arakan pada paruh kedua tahun 1942 dan 1943, kaum Muslim Arakan menjarah dan membalas dendam ke umat Buddha.
ADVERTISEMENT
Sejak 1982, Rohingya adalah etnis yang terbuang. Mereka berstatus stateless alias tak memiliki kewarganegaraan. Myanmar tak sudi mengakui mereka sebagai rakyatnya. Cerita tentang diskriminasi hingga pengusiran pun melekat di setiap detak napas orang Rohingya.
Eksodus besar-besaran terjadi pada 2017 di Rakhine. Desa etnis Rohingya dibakar habis-habisan oleh militer. Mereka akhirnya mengungsi ke berbagai negara, termasuk salah satunya ke Indonesia.