Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Perbedaan pendapat muncul saat pembicaraan itu masuk ke topik utama pertemuan. Ketua DPR Bambang Soesatyo tak langsung menyetujui permintaan Presiden Jokowi agar pengesahan RKUHP ditunda. Bamsoet—panggilan Bambang Soesatyo—beralasan pembahasan di Panitia Kerja sudah rampung. Sesuai aturan, RKUHP harus segera masuk ke pembahasan tingkat II di Rapat Paripurna DPR.
"Tata cara di DPR tidak bisa langsung ditunda, tapi tetap harus di paripurna," kata politisi Golkar itu dalam rapat konsultasi DPR dengan Presiden di Istana Negara, Senin, (23/9).
Namun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, menurut sumber kumparan yang mengetahui pertemuan itu, menimpali pernyataan Bamsoet. "Enggak bisa Pak. Kita harus mengikuti apa yang berlaku di DPR," ujarnya.
Keputusan Jokowi menunda pengesahan RKUHP diambil pekan sebelumnya. Sebab, ia melihat penolakan terhadap RKUHP di masyarakat mulai meluas. Mantan Wali Kota Solo ini menyampaikan keinginannya melalui telepon kepada Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, Kamis (19/9). Di hari yang sama, pemerintah dan Panja RUU KUHP baru sepakat melanjutkan pembahasan ke paripurna.
Yasonna kemudian menyampaikan pesan itu ke kolega separtainya di Fraksi PDIP DPR. Tapi DPR tak bisa menyetop pembahasan karena RUU KUHP sudah masuk ke tingkat II. Itu sebabnya Jokowi menggelar rapat konsultasi dengan pimpinan DPR untuk mencari jalan keluar.
Partai pendukung Jokowi yang menguasai mayoritas parlemen, menurut sumber kumparan, sebenarnya setuju pengesahan RKUHP ditunda. Tapi Jokowi khawatir pembahasan di paripurna DPR menjadi liar. Karena itu, ia menggelar rapat konsultasi untuk memastikan semua fraksi satu suara.
RKUHP bukan satu-satunya yang Jokowi minta untuk ditunda. Hal yang sama juga berlaku bagi sejumlah RUU lain yang banyak mendapat sorotan publik, semisal RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, serta RUU Mineral dan Batu Bara. Beberapa elemen masyarakat terang-terangan menolak klausul-klausul yang dianggap merugikan publik dalam rancangan beleid tersebut.
RUU-RUU itu masuk daftar proses legislasi yang pembahasannya dikebut DPR menjelang akhir masa jabatan pada akhir November mendatang. RKUHP, misalnya, kembali dibahas kurang dari enam bulan belakangan.
Menurut Maidina Rahmawati, Peneliti lembaga Institute Criminal of Justice, ketergesaan itu membuat pembahasan subtansi pasal menjadi tidak maksimal. "Jadi emang semangatnya kayak cuma biar jadi. Selesai," katanya.
Akibatnya, banyak bolong dalam proses pembahasan RKUHP . Aspirasi publik pun tidak diserap maksimal dalam perumusan aturan. Di situlah pangkal munculnya pasal-pasal yang kontroversial dalam RKUHP.
Maidina mencontohkan kembali munculnya pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Norma tersebut dikhawatirkan mengganggu kebebasan berekspresi di Indonesia. Terlebih, Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan agar pasal-pasal serupa tidak hidup lagi di kitab pidana.
"Berarti kan sudah clear, pasal-pasal yang mendukung kedudukan tidak setara antara aparat pemerintah dengan rakyatnya itu tidak relevan lagi buat masyarakat demokratis," kata Maidina.
Problem lain RKUHP yang mencuat adalah aturannya yang banyak masuk ke ranah privat. Pasal-pasal seperti ini, kata Maidina, memberi negara wewenang terlalu jauh mengontrol warganya. Baginya, RKUHP justru membawa aturan hukum mundur ke belakang.
Akibatnya, pasal tersebut menunjukkan kemunduran alih-alih kemajuan. "KUHP yang sekarang dia tidak menyasar ruang privat. Tapi RKUHP yang dirumuskan sekarang justru menyasar ruang privat juga," kata Maidina.
Menurutnya, pemerintah dan DPR terlalu fokus mengejar target agar KUHP bisa menjadi warisan periode jabatannya tapi mengabaikan kematangan substansi di dalamnya.
"Mereka kan punya target biar ini selesai terus akhirnya mereka mau menghasilkan apa. Padahal kalau kita lihat perumusannya banyak yang harus dikritisi," kata Maidina.
Masinton Pasaribu, anggota Komisi Hukum DPR, membantah RUU KUHP kejar tayang. Menurutnya, RUU itu sudah dibahas sejak 2015. Hanya saja, pembahasannya terjeda karena beberapa peristiwa politik, semisal Pilkada Serentak 20017 dan 2018, yang kemudian disusul Pemilu 2019.
"Apalagi di komisi III itu, rata-rata anggota-anggotanya yang jadi pengurus partai juga. DPP partai, DPD partai. Jadi, hal-hal begitu juga menjadi (halangan)," kata Masinton. Karena itu, penyelesaian RUU KUHP baru bisa dilakukan di sisa masa jabatan DPR Periode 2014-2019. "Dikebut lagi selesai pemilu," Masinton menambahkan.
Selain RKUHP, revisi UU Pemasyarakatan juga ditunda pengesahannya dalam rapat paripurna Selasa (24/9) ini.
"Untuk menurunkan tensi dan memenuhi keinginan aspirasi publik dan usulan presiden, maka 2 UU (RKUHP dan revisi UU Pemasyarakatan) sudah diputuskan ditunda. Penundaan itu juga harus sejalan dengan tata cara dan prosedur yang ada di parlemen. Seluruh fraksi-fraksi memahami tuntutan mahasiswa dan keinginan presiden, maka kita tunda," ujar Bamsoet dalam keterangan persnya.
Aturan ini dinilai publik cukup memanjakan narapidana koruptor karena memuat pasal yang mempermudah napi koruptor menerima remisi, misalnya. Selain itu juga memberi hak cuti kepada napi agar bisa mengunjungi keluarganya.
Regulasi lain yang awal pembahasannya dikebut tapi kemudian ditunda adalah RUU Pertanahan. Sejak draf RUU Pertanahan Juni 2019 keluar, pemerintah ngotot segera merampungkan pembahasan. Seorang politisi di koalisi pemerintah mengatakan, Jokowi awalnya merestui pengesahan RUU ini karena dianggap dapat memudahkan masuknya investasi.
Di awal September, dalam dua kesempatan berbeda, Wapres Jusuf Kalla dan Menteri ATR/BPN sama-sama ingin RUU Pertanahan disahkan sebelum masa jabatan DPR periode ini berakhir.
"Iya ingin secepatnya, kan sudah lama masalah ini. Karena kalau ditunda lagi bisa-bisa kembali lagi jadi nol lagi," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, 12 September 2019.
Ngebutnya pembahasan RUU Pertanahan sejak keluarnya draf bulan Juni terendus oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Dewi mencatat, draf RUU Pertanahan sejak Agustus hingga awal September setidaknya direvisi tujuh kali.
Yang mengkhawatirkan, draf RUU Pertanahan versi Juni 2019 itu jauh berbeda dibanding draf versi Desember 2018. Menurut Dewi, sepanjang 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria sering dilibatkan dalam proses pembahasan. Namun sejak pembahasan tahun 2019, pihaknya sudah tidak dilibatkan lagi.
"Kecuali kalau kami meminta audiensi dengan fraksi-fraksi di Komisi II," ujarnya.
Di sisi lain, berdasarkan penelusuran kumparan, sejak awal 2019 setidaknya DPR telah tiga kali mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan asosiasi pengusaha. Proses sepanjang tahun 2019 itulah yang menghasilkan draf RUU versi Juni 2019.
Menurut Dewi, draf RUU Pertanahan versi Juni ini memunculkan sejumlah pasal bermasalah yang bertentangan dengan UU Pokok Agraria 1960. Pasal-pasal tersebut dianggap terlalu memihak korporasi dan pengusaha.
Salah satu substansi yang disorot dari draf RUU adalah kembalinya asas domein verklaring. Domein verklaring adalah konsep yang dikenal dalam hukum agraria kolonial (Agrarische Wet), yakni suatu asas yang menetapkan bahwa suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak dapat membuktikan kepemilikan tanah itu.
Asas ini kembali hidup lewat kewenangan hak pengelolaan yang dimiliki negara. Hak pengelolaan tersebut diatur di pasal 42-45 draf RUU Pertanahan.
Menurut Dewi, kewenangan menerbitkan hak pengelolaan (HPL) memungkinkan negara mengambil tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya. Tanah yang direbut negara tadi akan dikelola oleh Lembaga Pengelolaan Tanah.
Masalahnya, tanah yang dirampas negara itu bisa dikuasakan, entah kepada pemerintah daerah maupun korporasi, lewat pemberian hak guna usaha (HGU) dan bahkan hak milik. .
"Sementara banyak tanah petani dan masyarakat adat belum terdaftar," Dewi menambahkan. Yang tak kalah mengkhawatirkan, menurutnya, RUU Pertanahan juga berisi pasal yang rentan mengkriminalisasi masyarakat.
Selain Dewi, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, juga menilai RUU Pertanahan akan merugikan masyarakat adat. Ia menyoroti pasal 5 di draf RUU Pertanahan yang mengatur tentang mekanisme pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan syarat pengakuan masyarakat hukum adat.
Menurut Abdon, pasal itu mempersulit pengakuan hak wilayah masyarakat adat. Sebab, pengakuan itu hanya dapat diberi oleh pemerintah daerah lewat peraturan daerah (Perda), tetapi juga dengan persetujuan menteri dalam negeri.
"Jadi dibuat aturannya karena rumit, mahal, dan berbelit-belit, sehingga memang masyarakat adat tidak akan mungkin membiayai hanya untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak wilayahnya," kata Abdon.
Di detik-detik akhir, dalam rapat kerja Senin (23/9), DPR dan Pemerintah pecah kongsi. Sejumlah fraksi di Komisi II memutuskan meminta pemerintah menunda pengesahan RUU Pertanahan di sisa masa periode DPR 2014-2019. Sebab, banyak pasal di RUU Pertanahan yang bermasalah.
Rapat kerja itu mestinya mengagendakan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan ke sidang paripurna esok harinya. Anggota Panitia Kerja RUU Pertanahan, Firman Soebagjo, mengakui draf terakhir RUU Pertanahan masih bermasalah.
Proses legislasi RUU Pertanahan tidak mulus-mulus amat. Sejumlah fraksi di Komisi II memang menentang draf RUU tersebut. Dan yang paling getol menolak justru berasal dari partai Presiden Jokowi sendiri yaitu, PDIP.
Menurut anggota panja asal PDIP Arif Wibowo, partainya menolak keras RUU Pertanahan karena bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Bahkan, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri langsung menginstruksikan kadernya di DPR untuk melobi fraksi lain agar RUU itu tidak jadi disahkan.
Sikap keras PDIP itu juga tercermin dalam dokumen Pandangan Akhir Fraksi PDIP Terhadap RUU Pertanahan. Isinya, Fraksi PDIP menolak melanjutkan pembahasan RUU Pertanahan ke paripurna.
Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil menganggap batalnya pengesahan RUU Pertanahan hanya dilatari masalah komunikasi. Ia yakin RUU ini akan disahkan di periode DPR mendatang, meski beberapa poin di dalam RUU mesti didiskusikan ulang.
"Mudah-mudahan tahun depan UU ini bisa dibahas kembali oleh dewan. Mudah-mudahan bisa di-carry over," kata Sofyan.
Akhirnya RUU Pertanahan batal disahkan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR, Selasa (24/9). Bertetapatan dengan momen itu, demonstrasi besar-besaran elemen masyarakat digelar menyikapi sejumlah RUU kontroversial. Beberapa RUU ditunda pengesahannya.
Namun, DPR juga sukses menggolkan beberapa RUU kilat. Yang paling mendapat kritik adalah revisi UU KPK karena dianggap sebagian kalangan melemahkan Lembaga Antirasuah. DPR cuma butuh lima hari untuk melakukan revisi UU KPK.
Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, menilai pembahasan kilat di akhir periode jabatan menunjukan buruknya manajemen pembahasan RUU. Di sisi lain, ia berpendapat hal itu juga patut dicurigai.
"Ini bukan kejar target, ada pertimbangan lain. Karena pilihan RUU yang mereka ingin sahkan, RUU yang krusial dan banyak disorot publik," katanya Lucius.
Ia menduga, ada agenda yang ingin disusupkan dalam RUU yang buru-buru disahkan DPR dan pemerintah. Terlebih, dalam kasus pembahasan revisi UU KPK, pembahasannya sangat tidak transparan.
"Ada agenda yang sejak lama mereka perjuangkan tapi kesulitan menemukan momentum. momentum itu muncul justru ketika mereka berada di akhir periode," ujar Lucius.
Menurutnya, DPR seharusnya tidak hanya menggenjot produktivitas legislasi, tapi juga tetap menjaga kualitas pembahasan RUU. Caranya, kata dia, dengan mendorong transparansi dan partisipasi publik dalam perumusan UU. Hal itu justru tidak tampak dalam penyusunan beberapa peraturan.
"Nampak jelas kepentingan masyarakat luas tidak cukup dipertimbangkan DPR, malah ada klausul yang merugikan orang," papar Lucius.
Tabiat DPR seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali. DPR periode 2009-2014 di akhir masa jabatan juga pernah mengeluarkan UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah secara kilat. Dua beleid itu mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD.
Imbasnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat presiden saat itu harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke pemilihan langsung. "Jadi ada kecenderungan yang sama," kata Lucius.
Ia khawatir, penundaan pengesahan sejumlah RUU hanya siasat DPR dan pemerintah. Pasalnya, UU Pembentukan peraturan Perundang-Undangan memungkinkan sebuah RUU dilanjutkan pembahasannya di DPR periode selanjutnya.
Bukan tidak mungkin, DPR periode selanjutnya justru ingin mempertahankan pasal-pasal yang selama ini dianggap bermaslaah. Apalagi, Formappi mencatat ada 321 anggota DPR periode saat ini yang akan kembali menjabat di periode selanjutnya. Jumlah itu lebih dari 50 persen dari total anggota DPR mendatang.
"Ada substansi yang ingin dipertahan kan DPR dan pemerintah. Jadi saya khawastir ini hanya penundaan soal waktu, bukan perubahan substansi," ucap Lucius.