Aktivis Perempuan Aceh Minta Polisi Tak Gunakan Qanun untuk Hukum Pesulap Hijau

28 Oktober 2022 15:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pesulap Hijau di Aceh diduga perkosa pasiennya modus pengobatan alternatif. Foto: Dok. LBH Banda Aceh
zoom-in-whitePerbesar
Pesulap Hijau di Aceh diduga perkosa pasiennya modus pengobatan alternatif. Foto: Dok. LBH Banda Aceh
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aktivis perempuan Aceh yang tergabung dalam Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), meminta polisi tidak menggunakan Qanun Jinayah dalam proses hukum Pesulap Hijau atau dukun cabul di Kabupaten Pidie.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Eksekutif RPuK, Badriah A Taleb, mengatakan proses hukum terhadap Bakhtiar (46) pelaku pemerkosaan tersebut tidak adil jika hanya dijerat dengan menggunakan Qanun Jinayah.
"Seharusnya kepolisian tidak menggunakan Qanun Jinayah dalam memproses hukum Bakhtiar, karena ini tidak berlaku adil bagi korban," katanya, Jumat (28/10).
Menurut Badriah, kini sudah ada UU RI Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 9 Mei lalu. UU tersebut lebih cocok digunakan untuk proses hukum terhadap dukun cabul tersebut.
"Dalam UU tersebut lebih komprehensif dan sangat detail dalam mengatur dan mendefinisikan berbagai jenis dan modus praktik kekerasan seksual, dan juga hukumannya lebih tinggi," ujarnya.
Dijelaskan Badriah, dalam kasus ini Bakhtiar bisa dikenakan Pasal 6C UU TPKS. Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang.
ADVERTISEMENT
Memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
"Pada UU TPKS, hukumannya tidak dipisah hanya pidana penjara atau pidana denda, tetapi hakim bisa menggabung kedua hukuman tersebut. UU ini juga mengatur pemulihan fisik dan non fisik terhadap korban yang melibatkan berbagai instansi terkait," tuturnya.
Sementara Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat berbeda, hanya mengatur tentang hukuman terhadap pelaku tanpa memikirkan upaya yang perlu dilakukan untuk pemulihan korban.
"Apalagi kalau pelaku hanya dikenai hukuman cambuk, yang kita tahu sesaat setelah hukuman dia bisa kembali lagi ke lingkungannya dan itu berdampak terhadap trauma korban," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Badriah berharap seharusnya polisi menggunakan UU TPKS dalam menangani kasus tersebut untuk menjamin adanya pemulihan terhadap korban sekaligus menghukum pelaku dengan hukuman lebih berat.
Sementara itu, Kapolres Pidie AKBP Padli, mengatakan pelaku dikenakan pasal 48 Jo pasal 52 yang diatur dalam qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pemerkosaan diancam dengan cambuk paling sedikit 125 kali.
“Paling banyak 175 kali atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak 1.750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan, atau paling lama 175 bulan,” katanya.
Padli mengungkapkan, dalam kasus ini penyidik Satreskrim Polres Pidie tidak dapat menerapkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS).
ADVERTISEMENT
Merujuk UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA, dalam hal ini penerapan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 mengatur 10 pidana utama antara lain Khamar (miras), Maisir (judi), Khlawat, Ikhtilat, Zina, Pelecehan Seksual, Liwath, Musahaqah, Pemerkosaan, Qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina),
Pada pasal 71 disebutkan, saat qanun ini mulai berlaku semua peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan hukum jinayat dan peraturan pelaksanaannya masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan qanun.
“Dalam hal ada perbuatan jarimah sebagaimana diatur dalam qanun ini dan diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), atau ketentuan pidana di luar KUHP, yang berlaku adalah aturan Jarimah dalam qanun ini,” pungkasnya.